Pembaca
yang budiman, Nabi shalallallahu alaihi wasallam lahir di tahun yang
dikenal oleh Bangsa Arab sebagai Tahun Gajah. Tahun itu disebut tahun
gajah karena ada peristiwa penyerbuan pasukan gajah dari Yaman yang
dipimpin oleh Abrahah yang ingin menghancurkan Ka’bah di Makkah.
Bagaimana kisahnya?
Dahulu
Yaman dikuasai oleh seorang gubernur berkebangsaan Habasyah
(Ethiopia) yang beragama Nashrani. Namanya adalah Abrahah. Bagaimana
mungkin seorang gubernur Ethiopia berkuasa di negeri arab (Yaman)?
Penjelasannya harus kita kembalikan pada kisah Ashabul Ukhdud
(orang-orang yang dikorbankan di parit).
Allah
berfirman tentang Ashahbul Ukhud ini:
قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ (4) النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ (5) إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ (6) وَهُمْ عَلَى مَا يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ (7) وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ (8
“Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (Al Buruj: 4-8).
Dahulu
di Yaman terjadi penyiksaan terhadap orang-orang Nashrani. Raja Yaman
yang musyrik yang bernama Dzu Nuwas menyiksa dan membunuh orang-orang
Nashrani dengan memasukkan mereka ke dalam parit besar yang berapi.
Jumlah korban pembantaian ini mencapai sekitar dua puluh ribu orang.
Di antara orang Nashrani ini ada yang bernama Daus Dzu Tsa’laban
melarikan diri ke negeri Syam untuk menemui Kaisar Romawi yang ketika
itu juga beragama Nashrani. [1]
Kaisar
Romawi ini kemudian mengirimkan surat kepada An Najasyi, raja
Ethiopia yang juga beragama Nashrani. Kaisar meminta agar An Najasyi
mengirimkan pasukan untuk menghukum Dzu Nuwas yang sudah berlaku
zhalim kepada orang-orang Nashrani di Yaman.
Kenapa
dia meminta Ethiopia yang bertindak?
Kenapa
tidak berangkat sendiri ke Yaman?
Hal
ini karena letak Ethiopia yang begitu dekat dengan Yaman, tinggal
menyeberangi laut Merah, maka sampailah pasukan Ethiopian ke negeri
Yaman.
An
Najasyi kemudian mengirimkan dua panglima perang terbaiknya yaitu
Aryat dan Abrahah. Tanpa kesulitan mereka kemudian melibas habis
pasukan Dzu Nuwas lalu menjadikan Yaman sebagai sebuah koloni yang
berada di bawah kekuasaan Ethiopian.
Setelah
menang, Aryat dan Abrahah, dua panglima Ethiopian ini kemudian saling
berebut kekuasaan. Masing-masing mengklaim merekalah yang berhak
untuk menjadi gubernur jenderal di Yaman. Akhirnya perebutan
kekuasaan itu diselesaikan dengan duel satu lawan satu bagaikan
pertandingan dua gladiator. Dikisahkan bahwa di pertandingan tersebut
Aryat lebih mendominasi. Dia bahkan bisa menebaskan pedangnya
sehingga hidung Abrahah terpotong. [2]
Walaupun
lebih mendominasi dalam duel tersebut, sial bagi Aryat, ‘Ataudah
seorang budak loyalis Abrahah ikut serta dalam pertandingan tersebut
lalu berhasil membunuh Aryat. Jadilah Abrahah sebagai pemenang
pertandingan tersebut walaupun dengan cara yang curang, dengan
dibantu oleh budaknya tadi. [3]
Ketika
mendengar apa yang terjadi di antara panglima-panglimanya ini, An
Najasyi, emperor Ethiopia murka. Dia pun berjanji akan menginjak
Yaman untuk menghukum Abrahah dan menginjak ubun-ubun Abrahah. Namun
bukan Abrahah namanya kalau tidak cerdas. Untuk meredam kemarahan An
Najasyi, maka Abrahah mengirimkan berbagai macam hadiah yang membuat
senang hati An Najasyi. Dia juga mengirimkan tanah Yaman yang
disertai rambut ubun-ubunnya. Dengan demikian An Najasyi tak perlu
berangkat ke Yaman. Cukup dengan menginjak tanah dan ubun-ubun yang
dia kirimkan. [4]
Selain
itu, untuk meredam kemarahan An Najasyi, Abrahah juga menjanjikan
akan membangun sebuah gereja yang indah di kota Shan’a, ibukota
Yaman, Karena tahu bahwa rajanya ini adalah raja seorang Nashrani
yang taat, maka cara melobinya pun dengan membangun gereja yang
indah. Cerdas bukan? [5]
Abrahah
pun kemudian membangun sebuah gereja yang sangat besar di kota Shan'a,
bangunannya tinggi sekali lagi dipenuhi dengan berbagai ukiran dan
pahatan; orang-orang Arab menamainya Al-Qullais. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa bangsa Arab menyebutnya gereja sebagai Al-Qullais
karena bangunannya demikian tinggi sehingga menyebabkan qolansuwah
(peci) yang dipakai seorang laki-laki akan terjatuh ketika mendongak
untuk melihat puncak gereja tersebut. [6] Tapi bisa jadi Al-Qullais
itu berasal dari bahasa Yunani kuno “ekklēsía” yang bermakna
gereja. [7]
Untuk
pembangunan Al-Qullais, Abrahah mengirimkan surat kepada Kerajaan
Habasyah dan Kekaisaran Romawi di Bizantium untuk mengirimkan batu
pualam, para tukang dan ahli bangunan serta mozaik-mozaik penghias
gereja. Gereja itu juga dibangun dari batu berwarna warni hijau,
kuning, putih dan hitam. Batu-batu ini dibawa dari reruntuhan istana
Ratu Saba’ yang berasal dari Ma’rib. Tangga gereja tersebut
terbuat dari batu pualam, sedangkan pintu-pintunya dibuat dari
perunggu. Dinding-dindingnya dihiasi dengan ornament mozaik-mozaik
yang indah berbentuk salib. Di masa itu, sesuai dengan tradisi
Nashrani, salib tidak boleh diletakkan pada sesuatu yang bisa
dipijak. Oleh karena itu, salib hanya digantungkan di dinding.
Gereja juga dihiasi dengan ukiran-ukiran kayu dan juga gading yang
indah, dan dilengkapi pula dengan hiasan-hiasan yang terbuat dari
emas serta batu-batu berharga.[8]
Abrahah
kemudian menginstruksikan agar bangsa Arab menziarahi dan memuliakan
gereja ini seperti mereka memuliakan Ka’bah di kota Makkah. Tentu
orang-orang Arab sangat murka dengan perintah Abrahah ini. Bagaimana
mungkin mereka memuliakan gereja buatan seorang Jenderal penjajah
dari Ethiopia untuk kemudian meninggalkan baitullah yang ada di Kota
Makkah?
Akhirnya
puncak kemarahan itu tampak dari tindakan salah seorang Arab dari
suku Quraisy. Orang ini pergi ke gereja tersebut. Kemudian pada malam
hari dia buang hajat di dalam gereja, lalu kembali ke tempat asalnya.
Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ada seorang pemuda dari kalangan
Quraisy memasuki gereja besar di Yaman itu, lalu ia membakarnya,
sedangkan di hari itu cuaca sangat panas, maka dengan mudahnya gereja
itu terbakar hingga rata dengan tanah. Juru kunci gereja ini pun
melaporkan apa yang terjadi kepada Abrahah. Marahlah Abrahah. Dia pun
ingin membalas perlakuan bangsa Arab dengan menghancurkan rumah
ibadah mereka, yaitu Ka’bah di kota Makkah.[9]
Abrahah
kemudian bersiap-siap menghimpun bala tentaranya dalam jumlah yang
sangat besar. Lalu ia berangkat dengan pasukannya itu dengan maksud
agar tiada seorang pun yang dapat menghalang-halangi niatnya. Selain
dari itu ia membawa seekor gajah yang sangat besar. Gajah itu disebut
sebagai Mahmud. Gajah tersebut sengaja dikirim oleh Raja An Najasyi
kepadanya untuk tujuan tersebut. Bahkan menurut pendapat lain, selain
Mahmud, masih ada delapan gajah lainnya; dan menurut pendapat yang
lainnya lagi dua belas ekor gajah. Gajah tersebut akan dijadikan
sebagai sarana untuk merobohkan Ka'bah. Rencananya mereka akan
mengikat semua sisi Ka'bah dengan rantai, lalu mengikatkannya pada
leher gajah, maka gajah akan menariknya dan tembok Ka'bah akan runtuh
seketika. [10]
Ketika
orang-orang Arab mendengar keberangkatan Abrahah dengan pasukannya
yang bergajah itu, maka mereka merasakan adanya bahaya yang amat
besar akan menimpa diri mereka. Dan mereka merasakan bahwa sudah
merupakan kewajiban mereka untuk membela rumah Allah dan mengusir
orang-orang yang bermaksud jahat terhadapnya. Maka bangkitlah seorang
lelaki dari kalangan penduduk Yaman yang terhormat dan terbilang
sebagai pemimpin mereka untuk mengadakan perlawanan terhadap Abrahah.
Orang tersebut bernama Dzu Nafar. Dzu Nafar kemudian menyerukan
kepada kaumnya dan orang-orang Arab lainnya untuk memerangi Abrahah
dan berjihad melawannya demi mempertahankan Baitullah. Ajakan Dzu
Nafar itu mendapat sambutan dari bangsa Arab. Mereka pun kemudian
berperang melawan Abrahah dipimpin oleh Dzu Nafar, tetapi pada
akhirnya Dzu Nafar kalah. Hal ini karena Allah ingin agar orang-orang
bisa menyaksikan kekuasaan Allah dalam melindungi rumah-Nya. Dzu
Nafar kemudian ditawan. Abrahah kemudian memberinya amnesti dan
membiarkannya pergi.[11]
Dan
ketika perjalanan Abrahah sampai di tanah orang-orang Khats'am, ia
dihalangi oleh Nufail ibnu Habib Al Khats'ami bersama kaumnya, yang
memeranginya selama dua bulan. Tetapi pada akhirnya Abrahah berhasil
mengalahkan mereka dan menawan Nufail ibnu Habib; pada mulanya
Abrahah bermaksud untuk mengeksekusi Nufail, akan tetapi kemudian dia
berubah pikiran. Abrahah lalu memberikannya amnesti dan membawanya
serta ke Makkah sebagai penunjuk jalan menuju negeri Hijaz untuk
menghancurkan Ka’bah. [12]
(bersambung)
**********
CATATAN KAKI:
[1]
Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri et al., Al Misbah Al Munir fi Tahdzib
Tafsir Ibni Katsir, (Riyadh: Darussalam, 2013), hlm. 1582.
[2]
Inilah yang kemudian menyebabkan Abrahah disebut sebagai Al Asyram,
Abrahah yang hidungnya terpotong.
[3]
Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri et al., Al Misbah Al Munir fi Tahdzib
Tafsir Ibni Katsir, (Riyadh: Darussalam, 2013), hlm. 1582
[4]
Ibid., hlm. 1583.
[5]
Ibid.
[6]
Ibid., 1583.
[7]
Ekklesia adalah bahasa Yunani untuk gereja. Artinya asalnya adalah
kumpulan kebaktian. Dia memiliki arti yang sama dengan Synagog. Hanya
saja kemudian Synagog dipergunakan untuk kaum Yahudi, adapun Ekklesia
dipergunakan untuk menunjukkan tempat ibadah kaum Nasrani. Lihat
Scripture: History and Interpretation, Bergant, 2008.
[8]
Muhammad bin Abdillah Al Azraqi, Akhbaru Makkah wa ma Ja’a minal
Atsaar, (Beirut: Darul Andalus, t.t), hlm. 136.
[9]
Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri et al., Al Misbah Al Munir fi Tahdzib
Tafsir Ibni Katsir, (Riyadh: Darussalam, 2013), hlm. 1583.
[10]
Ibid.
[11]
Ibid.
[12]
Ibid.
------------------------------------------------