Pada
artikel sebelumnya, kita telah paparkan tentang latar belakang
munculnya pasukan gajah serta mengapa Abrahah ingin menghancurkan
Ka’bah. Ketika perjalanan Abrahah sampai di dekat Ath Thaif, maka
para penduduk Thaif keluar menyambut pasukan Abrahah dengan keramahan
karena takut Abrahah akan menghancurkan rumah berhala mereka yang
mereka sebut dengan Al Lata. Mereka pun memuliakan Abrahah, bahkan
mengirimkan Abu Rigal sebagai penunjuk jalan bagi pasukan tersebut.
Ketika
perjalanan Abrahah sampai di Al Mughmas, suatu tempat yang cukup
dekat dengan Makkah, ia pun singgah beristirahat. Di saat itu pasukan
Abrahah merampas ternak penduduk Makkah yang digembalakan di sana,
baik berupa unta dan yang selainnya. Dan di antara ternak unta yang
dirampas terdapat dua ratus ekor unta milik Abdul Muttalib, pimpinan
suku Quraiys dan juga kakek Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Abrahah
lalu mengutus Hunathah Al Himyari ke Makkah dan memerintahkan
kepadanya untuk mengundang orang Quraisy yang paling terhormat. Dan
Abrahah menyuruhnya menyampaikan kepada suku Quraisy bahwa dia datang
bukan untuk memerangi mereka, terkecuali jika mereka
menghalang-halanginya dari Baitullah. Maka datanglah Hunathah ke
Makkah, lalu diantar ke rumah Abdul Mutthalib ibnu Hasyim, lalu ia
menyampaikan kepadanya apa yang dikatakan oleh Abrahah. Maka Abdul
Mutthalib mengatakan kepadanya, "Demi Allah, kami tidak berniat
untuk memerangi Abrahah. Apalagi kami juga tidaklah memiliki kekuatan
untuk itu. Ini adalah Baitullah Al Haram dan merupakan rumah yang
dibangun oleh kekasih-Nya, yaitu Ibrahim. Apabila Allah
mempertahankannya, sudah wajar karena ia adalah rumah-Nya yang
disucikan. Dan jika Dia membiarkan antara bait-Nya. dan Abrahah, maka
tiada kemampuan bagi kami untuk mempertahankannya." Hunathah
berkata kepada Abdul Muttalib, "Kalau begitu, marilah engkau
pergi bersamaku untuk menemuinya." Maka Abdul Mutthalib
berangkat bersama Hunathah .
Ketika
Abrahah melihat Abdul Muttalib, maka dia pun memuliakannya. Memang
sosok Abdul Mutthalib sangat tampan. Abrahah pun turun dari
singgasananya, lalu duduk bersama Abdul Mutthalib di hamparan
permadani. Abrahah berkata kepada penerjemahnya untuk menanyakan
kepada Abdul Mutthalib tentang apa keperluannya hingga datang
menghadap. Abdul Mutthalib berkata kepada penerjemah Abrahah,
"Sesungguhnya aku datang untuk keperluanku sendiri. Sudilah
kiranya raja untuk mengembalikan dua ratus ekor unta milikku yang
telah dirampas olehnya."
Abrahah
terkejut dan mengatakan kepada penerjemahnya,
“Katakanlah
kepadanya bahwa esungguhnya pada mulanya ketika aku melihatmu, aku
merasa kagum dengan penampilan dan kewibawaanmu. Tetapi setelah
engkau berbicara kepadaku, kesanku menjadi sebaliknya; apakah engkau
berbicara kepadaku hanya mengenai dua ratus ekor unta yang telah
kurampas darimu? Sedangkan engkau meninggalkan bait-mu yang merupakan
agamamu dan agama nenek moyangmu, padahal aku datang untuk
merobohkannya, lalu mengapa engkau tidak berbicara kepadaku
mengenainya?"
Abdul
Mutthalib menjawab,
إِنِّي أَنَا رَبُّ الْإِبِلِ، وَإِنَّ لِلْبَيْتِ رِبًّا سَيَمْنَعُهُ
"Sesungguhnya aku adalah pemilik unta itu dan sesungguhnya bait itu ada Pemiliknya sendiri yang akan mempertahankannya darimu."
Abrahah
berkata, "Dia tidak akan dapat mencegahku dari merobohkannya."
Abdul
Mutthalib berkata, "'Kalau begitu, terserah engkau."
Di
saat itu hadir pula para pembesar Arab, mereka kemudian ingin
menyogok Abrahah dengan sepertiga harta Tihamah , akan tetapi Abrahah
tidak mengabulkan tawaran mereka. Abdul Mutthalib kembali ke Makkah
dan menemui orang-orang Quraisy, lalu memerintahkan kepada mereka
agar keluar dari Makkah dan berlindung di atas puncak-puncak bukitnya
karena takut akan serangan bala tentara Abrahah. Setelah itu Abdul
Mutthalib pergi ke Ka'bah dan memegang pegangan pintu Ka'bah,
sedangkan di belakangnya ikut beberapa orang dari kaum Quraisy.
Mereka semuanya berdoa kepada Allah dan meminta pertolongan
kepada-Nya dari serangan Abrahah dan bala tentaranya. Abdul Mutthalib
dalam doanya itu mengatakan seraya memegang pegangan pintu Ka'bah:
Ya Allah, sesungguhnya seseorang itu diharuskan membela ternak unta miliknya, maka belalah kepemilikan-Mu.
Janganlah sekali-kali Engkau biarkan salib dan kekuasaan mereka selamanya menang atas tempat-Mu ini.
Setelah
itu Abdul Mutthalib melepaskan pegangan pintu Ka'bah, lalu ia bersama
orang-orang Quraisy lainnya keluar menuju ke daerah perbukitan, lalu
berlindung di puncak-puncaknya.
GAJAH
YANG MEMBANGKANG
Keesokan
harinya Abrahah bersiap-siap untuk memasuki kota Makkah, lalu
menyiapkan gajahnya yang diberi nama Mahmud dan ia menyiapkan pula
bala tentaranya. Setelah semuanya siap, maka mereka mengarahkan
gajahnya menuju ke arah Makkah, tetapi sebelum itu Nufail bin Habib
datang dan berdiri di dekat gajah, lalu berkata, "Hai Mahmud,
duduklah kamu dan kembalilah dengan tenang menuju ke tempat asal
kedatanganmu, karena sesungguhnya engkau berada di negeri Allah yang
disucikan," setelah itu melepaskan telinga gajah Mahmud, yang
dipeganginya saat ia membisikinya.
Maka
gajah itu duduk, dan Nufail lari dengan kencangnya menuju ke daerah
perbukitan dan berlindung di puncaknya. Mereka memukuli gajah itu
supaya berdiri, akan tetapi gajah itu membangkang dan tidak mau
berdiri. Lalu mereka memukul kepalanya dengan kapak agar bangkit, dan
mereka menggesekkan tombak mereka ke kulit sang gajah agar mau
berdiri, tetapi gajah itu tetap menolak. Kemudian mereka
mengarahkannya ke negeri Yaman, dan ternyata tanpa sulit gajah itu
bangkit dengan sendirinya, lalu berlari kecil menuju ke arah itu.
Kemudian mereka mencoba untuk mengarahkannya ke negeri Syam, dan
gajah itu menuruti perintahnya; mereka coba mengarahkannya ke timur,
maka gajah itu mengikuti perintah. Tetapi bila diarahkan ke Makkah,
gajah itu diam dan duduk.
BURUNG
YANG DATANG BERBONDONG-BONDONG
Dan
Allah mengirimkan kepada mereka sejumlah besar burung dari arah laut.
Tiap-tiap ekor membawa tiga buah batu. Satu di paruh dan yang dua
dicengkeram oleh masing-masing dari kedua kakinya; batu itu sebesar
kacang. Tiada seorang pun dari mereka yang terkena batu itu melainkan
pasti binasa. Tapi tidak seluruh pasukan terkena batu itu.
Akhirnya
pasukan lari tunggang langgang sambil mencari Nufail bin Habib untuk
menunjukkan kepada mereka jalan pulang. Ketika itu Nufail berada di
atas bukit bersama orang-orang Quraisy dan orang-orang Arab Hijaz
lainnya, menyaksikan apa yang ditimpakan oleh Allah Subhanahu
wata’ala kepada tentara bergajah itu sebagai azab dari-Nya. Dan
ketika menyaksikan pemandangan itu Nufail berkata:
أينَ المَفَرُّ? والإلهُ الطَّالب والأشرمُ المغلوبُ غَيْرُ الْغَالِبْ
Adakah tempat untuk berlari, ketika Allah yang memburu mencari, Al Asyram telah dikalahkan, kemenangannya tidaklah di tangan
Pasukan
Abrahah kemudian melarikan diri, sedangkan anggota tubuh mereka
rontok satu demi satu, dan di setiap jalan mereka mati
bergelimpangan. Sedangkan Abrahah, tubuhnya terkena oleh batu itu,
lalu mereka membawanya lari bersama mereka, dan tubuhnya rontok
sedikit demi sedikit, hingga sampailah mereka bersamanya di San'a,
sedangkan keadaan Abrahah seperti anak burung yang baru menetas. Dan
Abrahah masih belumlah mati kecuali setelah jantungnya keluar dari
dadanya yang terbelah.
Allah
subhanahu wata’ala mengabadikan kisah ini di dalam surat Al Fiil,
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ“Apakah engkau tidak memperhatikan bagaimana Rabb-mu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daunyang dimakan ulat.” (Al Fil: 1-5)
Di
tahun yang sama dengan peristiwa gajah inilah kemudian Nabi kita yang
mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan.
Wallahu
a’lam bisshawab.
**********
REFERENSI:
Al
Mubarakfuri, Shafiyyurrahman, et al., 2013, Al Misbah Al Munir fi
Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, Riyadh: Darussalam.
------------------------------------------------