Dalam Al-Qur`an Al-Karim, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَالْفَجْرِ. وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” [Al-Fajr: 1]
Setelah menyebutkan sejumlah ucapan ulama tafsir tentang ayat di atas, seorang mufassir ternama, lbnu Jarir rahimahullâh, dalam Tafsir-nya, menyimpulkan bahwa “malam yang sepuluh” tersebut adalah malam sepuluh Dzulhijjah berdasarkan kesepakatan para ulama tafsir tentang hal tersebut.[1]
Ibnu Katsir rahimahullâh juga menguatkan hal tersebut sembari berkata, “Yang
dimaksud dengan “malam yang sepuluh” adalah sepuluh Dzulhijjah sebagaimana
perkataan Ibnu ‘Abbâs, Ibnu AzZubair, Mujahid, dan ulama salaf (terdahulu) dan
khalaf (belakangan) selain mereka ….”
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman pula,
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ.لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَات
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan ….” [Al-Hajj: 27-28]Menurut lbnu Katsir rahimahullâh, yang dimaksud dengan “hari-hari yang telah ditentukan” dalam ayat di atas adalah sepuluh hari Dzulhijjah. Beliau menukil hal tersebut dari Ibnu ‘Abbâs, Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallâhu ‘anhumâ, Mujâhid, Qatâdah, ‘Athâ`, Sa’îd bin Jubair, Al-Hasan, Adh-Dhahhâk, ‘Athâ` Al-Khurasâny, dan lbrahim An-Nakha’iy, serta merupakan pendapat Madzhab Asy-Syâfi’iy dan yang masyhur dari Ahmad –semoga Allah merahmati mereka seluruhnya-.
Berdasarkan keterangan-keterangan dari dua ayat di atas, bisa
disimpulkan bahwa sepuluh hari Dzulhijjah merupakan hari-hari yang memiliki
fadhilah yang sangat besar bagi kaum muslimin.
Selain itu, bila kita memperhatikan berbagai ibadah yang
disyariatkan pada sepuluh hari Dzulhijjah ini, akan tampak dengan jelas
berbagai keistimewaan sepuluh hari tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullâh berkata,
“Yang tampak adalah bahwa keistimewaan sepuluh hari Dzulhijjah adalah karena
(hari-hari itu merupakan) tempat berkumpulnya pokok-pokok ibadah, yaitu shalat,
puasa, shadaqah dan haji, yang hal tersebut tidaklah terjadi pada (hari-hari)
lain.”[2]
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga
telah menjelaskan keutamaan sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Hal tersebut
dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ. فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِيْ سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَلاَ الْجِهَادُ فِيْ سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
“Tiada suatu hari pun yang amal shalih pada hari-hari itu lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari ini. (Para sahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, tidak pula (dilebihi oleh) jihad di jalan Allah?’ Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘(Ya), tidak (pula) jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun dari hal tersebut.’.” [3]
Hadits di atas merupakan hadits pokok yang menjelaskan
keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijjah yang mengandung beberapa pelajaran, di
antaranya:
Pertama, menunjukkan keutamaan beramal kebaikan pada sepuluh hari
awal Dzulhijjah sehingga keutamaan beramal pada hari-hari tersebut tidak
terkalahkan oleh amalan apapun pada selain hari-hari itu, termasuk amalan jihad
di jalan Allah yang tidak mengakibatkan seseorang mati syahid karenanya. Oleh
karena itulah, para ulama salaf sangat mengagungkan hari-hari Dzulhijjah ini.
Abu Utsman An-Nahdy[4] rahimahullâh berkata, “Sesungguhnya mereka (sahabat
dan tabi’in) mengagungkan tiga sepuluh: sepuluh (hari) terakhir dari Ramadhan,
sepuluh (hari) awal dari Dzulhijjah, dan sepuluh (hari) awal dari Muharram.”[5] Oleh karena itu, ini adalah suatu nikmat dan anugerah
Allah kepada kaum muslimin agar mereka memanfaatkan sepuluh hari Dzulhijjah
tersebut dengan sebaik mungkin.
Kedua, keterangan bahwa amalan shalih pada sepuluh hari pertama
Dzulhijjah lebih utama daripada amalan shalih yang bukan pada hari-hari
tersebut menunjukkan bahwa segala amalan shalih pada sepuluh hari tersebut
pahalanya dilipatgandakan.
Ketiga, frasa “amal shalih” yang dimaksud adalah sebuah konteks
umum yang meliputi segala jenis amalan shalih, baik amalan shalih yang syariat
dan tuntunannya dalam bulan Dzulhijjah telah tetap, seperti pelaksanaan haji,
puasa ‘Arafah, hari An-Nahr (‘Idul Adha), berqurban, berpuasa, dan memperbanyak
takbir, maupun amalan shalih yang merupakan hal yang disyariatkan atas setiap
muslim pada segala keadaan, seperti ibadah-ibadah wajib, ibadah sunnah, shalat
malam, membaca Al-Qur`an, menyambung silaturahmi, dan berbakti kepada orang
tua.
Keempat, dalam hal memperbandingkan antara sepuluh hari awal
Dzulhijjah dan sepuluh malam akhir Ramadhan, terjadi silang pendapat di
kalangan ulama tentang yang paling utama antara keduanya.
Ibnul Qayyim menukil dari gurunya, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullâh,
bahwa Syaikhul Islam menyatakan, “Fashlul khithâb ‘pendapat yang
menuntaskan perselisihan’ adalah bahwa malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan
lebih utama daripada malam-malam sepuluh (hari) awal Dzulhijjah karena
Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam hal menunaikan
ibadah pada malam-malam tersebut dengan kesungguhan yang tidak beliau lakukan
terhadap malam-malam lain, sedangkan hari-hari sepuluh awal Dzulhijjah lebih
utama daripada hari-hari sepuluh terakhir Ramadhan berdasarkan hadits Ibnu
‘Abbâs ini dan sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, ‘Hari yang paling agung di
sisi Allah adalah hari An-Nahr’[6] serta keutamaan yang datang dalam hari ‘Arafah[7].”[8]
Demikian pula keterangan Al-Mubarakfury rahimahullâh[9].
Dari Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim rahimahullâh juga
menukil jawaban yang semakna, dengan redaksi yang lebih ringkas, sembari
menyifatkan jawaban itu sebagai jawaban yang sangat memuaskan lagi mencukupi.
Beliau juga menyatakan bahwa siapa saja yang menjawab bukan dengan rincian
beliau, ia tidak mungkin membawakan argumen yang benar.[10]
Namun, Ibnu Rajab rahimahullâh memandang bahwa
pendapat di atas adalah pendapat yang jauh dari kebenaran. Bagi beliau,
hadits-hadits tentang lebih utamanya sepuluh hari awal Dzulhijjah berlaku umum
untuk malam dan siang hari[11].
Wallâhu A’lam.
______________________________
[1] Jâmi’ul Bayân 12/559.
[2] Fathul Bâry 2/460.
[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 969, Abu Dâwud no.
2438, At-Tirmidzy no. 756 (lafazh hadits adalah milik beliau), dan Ibnu Mâjah
no. 1727.
[4] Beliau adalah Abdurrahman bin Mull, salah seorang ulama
tabi’in yang wafat pada tahun 95 H.
[5] Diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr Al-Marwazy
dalam Ash-Shalâhsebagaimana
dalam Ad-Durr
Al-Mandzûr 8/502 karya As-Suyuthy. Baca pulalah Lathâ’if Al-Ma’ârif hal.
31 karya Ibnu Rajab (cet. Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsiyah).
[6] Takhrîj-nya akan disebutkan.
[7] hadits tentang keutamaan hari ‘Arafah akan disebutkan.
[8] Demikian nash ucapan Ibnu Taimiyah yang dinukil oleh
muridnya, Ibnul Qayyim, dalam Tahdzîb As-Sunan 6/315.
[9] Bacalah kitab beliau, Tuhfatul Ahwâdzy, pada
penjelasan hadits no. 506 dari Sunan At-Tirmidzy (Abwâb Ash-Shiyâm Bab fi
Amal fi Ayyâm At-Tasyrîq).
[10] Bacalah Badâ`i’ul Fawâ`id 3/683.
[11] Bacalah keterangan beliau dalam Lathâ`if Al-Ma’ârif hal.
282.
_______________________