artikel pilihan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Tampilkan postingan dengan label Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Tampilkan semua postingan

LANDASAN DISYARIATKANYA QURBAN

LANDASAN DISYARIATKANYA QURBAN


Pertanyaan Kelima dari Fatwa Nomor 5179

Pertanyaan: Apakah ada perintah untuk berqurban dalam Alquran dan apa ayatnya?

Jawaban: Diriwayatkan dari Qatadah, Atha' dan Ikrimah bahwa maksud dari kata shalat dan menyembelih dalam firman Allah Ta'ala Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.(1) Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. adalah shalat Idul Adha dan menyembelih qurban. Dan yang benar bahwa maksudnya adalah Allah Ta'ala memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk mempersembahkan shalat-shalat fardhu maupun sunnah dan qurbannya semata-mata untuk Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, berdasarkan firman Allah Ta`ala kepada Rasulullah Shallalahu 'Alaihi wa Sallam:

 قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ * لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah: "Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)" [QS. Al-An'am: 162-163]
Adapun sunnah berqurban telah diriwayatkan melalui perkataan dan perbuatan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Bukanlah suatu kemestian seluruh hukum (harus) diterangkan secara rinci dalam Alquran akan tetapi cukup untuk menjadi sebuah hukum ketika ada riwayat dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, berdasarkan firman Allah Ta'ala


وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.." [QS. Al-Hasyr: 7]
Dan firman Allah Ta`ala


وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ 
"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka..." [QS An-Nahl: 44]
Juga dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:


مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
"Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah" [QS An-Nisa: 80]
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang senada.


Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.



__________________________

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta'
Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa
  • Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz  (Ketua)
  • Abdurrazzaq `Afifi  (Wakil Ketua)
  • Bakar Abu Zaid Abdul (Anggota)
  • Aziz Alu asy-Syaikh  (Anggota)
  • Shalih al-Fawzan (Anggota)
  • Abdullah bin Ghadyan  (Anggota)



Pertanyaan Kelima dari Fatwa Nomor 5179

Pertanyaan: Apakah ada perintah untuk berqurban dalam Alquran dan apa ayatnya?

Jawaban: Diriwayatkan dari Qatadah, Atha' dan Ikrimah bahwa maksud dari kata shalat dan menyembelih dalam firman Allah Ta'ala Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.(1) Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. adalah shalat Idul Adha dan menyembelih qurban. Dan yang benar bahwa maksudnya adalah Allah Ta'ala memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk mempersembahkan shalat-shalat fardhu maupun sunnah dan qurbannya semata-mata untuk Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, berdasarkan firman Allah Ta`ala kepada Rasulullah Shallalahu 'Alaihi wa Sallam:

 قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ * لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah: "Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)" [QS. Al-An'am: 162-163]
Adapun sunnah berqurban telah diriwayatkan melalui perkataan dan perbuatan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Bukanlah suatu kemestian seluruh hukum (harus) diterangkan secara rinci dalam Alquran akan tetapi cukup untuk menjadi sebuah hukum ketika ada riwayat dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, berdasarkan firman Allah Ta'ala


وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.." [QS. Al-Hasyr: 7]
Dan firman Allah Ta`ala


وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ 
"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka..." [QS An-Nahl: 44]
Juga dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:


مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
"Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah" [QS An-Nisa: 80]
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang senada.


Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.



__________________________

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta'
Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa
  • Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz  (Ketua)
  • Abdurrazzaq `Afifi  (Wakil Ketua)
  • Bakar Abu Zaid Abdul (Anggota)
  • Aziz Alu asy-Syaikh  (Anggota)
  • Shalih al-Fawzan (Anggota)
  • Abdullah bin Ghadyan  (Anggota)


BOLEHKAH PUASA SYAWAL SEBELUM MENGQADHA' RAMADHAN?

BOLEHKAH PUASA SYAWAL SEBELUM MENGQADHA' RAMADHAN?



PERTANYAAN

Apakah diperbolehkan seseorang puasa enam hari di bulan Syawal bagi orang yang masih mempunyai tanggungan hutang puasa Ramadhan yang belum dia qadha'?
Karena saya mendengar sebagian orang membolehkanya dan berkata bahwasanya 'Aisyah radhiyallahu 'anha dahulu tidaklah mengqadha' hutang puasa ramadhannya kecuali di bulan Sya'ban, dan yang nampak bahwa beliau radhiyallahu 'anha dahulu melakukan puasa enam hari di bulan Syawal sebagaimana diketahui karena semangatnya dalam melakukan kebaikan.



*****

JAWABAN



 بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله، وصلى الله وسلم على رسول الله، وعلى آله وأصحابه ومن اهتدى بهداه

Adapun dalam masalah ini maka yang lebih kuat dalam pandangan kami adalah tidak boleh untuk berpuasa sunnah sebelum menunaikan kewajibannya yaitu qadha' puasa Ramadhan dikarenakan 2 hal:

1.) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian dia ikuti dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal maka seperti berpuasa setahun penuh.
Bagi orang-orang yang memiliki hutang puasa di bulan Ramadhan yang belum ditunaikan, maka belum dikatakan mengikuti Ramadhannya dengan puasa Syawal, karena dia belum menunaikan seluruh Ramadhan dan masih punya sebagian hutang puasa Ramadhan, maka tidak dikatakan orang yang mengikuti Ramadhannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, sampai dia menunaikan tanggungan atau hutang puasa Ramadhan.

Maka jika ada seorang laki-laki yang memiliki hutang puasa Ramadhan karena safar atau sakit, kemudian Allah menyembuhkanya maka dia mulai untuk membayar hutang puasa Ramadhan dahulu baru kemudian dia puasa enam hari Syawal jika memungkinkan baginya jika dia membayarnya di bulan Syawal. 

Begitu juga wanita yang tidak berpuasa karena haidhnya atau nifasnya, maka dia memulai puasanya dengan menunaikan hutang puasa yang dia miliki, kemudian baru melakukan puasa enam hari di bulan Syawal. Adapun jika dia memulai langsung dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ini tidak dibenarkan dan tidak pantas.


-----------

2.) Bahwasanya hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan, dan bahwa yang wajib itu lebih didahulukan untuk mulai melaksanakannya dan bersegera daripada yang sunnah.

Allah 'Azza wa jalla mewajibkan bagi laki-laki puasa Ramadhan dan juga mewajibkan bagi wanita untuk puasa Ramadhan, maka tidaklah tepat jika dia memulai dengan yang sunnah sebelum dia melakukan yang wajib, maka dari sini diketahui tidak ada sisi kebenaran dari fatwa yang membolehkan puasa enam hari di bulan Syawal sebelum dia membayar hutang puasa Ramadhan.
Justru yang dia lakukan adalah memulai puasanya dengan yang wajib baginya yaitu puasa untuk membayar hutang puasa Ramadhan, jika ada sisa hari di bulan tersebut dan memungkinkan untuk berpuasa enam hari di bulan Syawal maka hendaklah dia lakukan, kalau tidak maka dia meninggalkanya. 

Karena hukumnya sunnah alhamdulillah, adapun dia membayar hutang puasa Ramadhan adalah wajib, maka baginya untuk memulainya dengan yang wajib sebelum melaksanakan yang sunnah, dan kehati-hatian itu ditempuh karena dua perkara yang telah disebutkan :

Yang pertama adalah bahwasanya Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "kemudian dia mengikutinya dengan puasa enam hari dibulan Syawal".
Maka bagi yang masih ada tanggungan hutang puasa di bulan Ramadhan tidak tepat untuk dikatakan mengikuti Ramadhan dengan puasa enam hari, karena dia masih belum menyelesaikannya, maka seperti dia berpuasa di pertengahan Ramadhan, seolah-olah dia melakukan puasa -Syawal- tersebut diantara hari-hari Ramadhan, dia tidak menjadikannya mengikuti Ramadhan.

Perkara yang kedua : Hal yang wajib lebih didahulukan dan lebih berhak untuk ditunaikan daripada yang sunnah. Oleh karena itu telah datang dari hadits yang shahih bahwa : 
"Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan, tunaikan hak-hak Allah karena Allah adalah yang paling berhak untuk ditunaikan hak-haknya, Maha suci Allah dan maha tinggi".

Adapun perkataan dari 'Aisyah: Maka 'Aisyah dahulu mengakhirkan puasa sampai di bulan Sya'ban dia berkata radhiyallahu 'anha: dikarenakan kesibukannya melayani Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. 

Jika dia mengakhirkan perkara yang wajib demi kesibukannya melayani Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka lebih-lebih lagi perkara yang sunnah.

Maka bisa disimpulkan bahwa dalam perbuatan 'Aisyah radhiyallahu 'anha tidaklah menjadi dalil dalam kebolehan mendahulukan puasa Syawal terhadap qadha' Ramadhan, karena dia mengakhirkan membayar hutang puasa Ramadhan disebabkan sibuknya dalam melayani Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka lebih pantas lagi dia mengakhirkan puasa enam hari di bulan Syawal.
Kemudian jika dia radhiyallahu 'anha melakukanya dan mendahulukan puasa enam hari di bulan syawal, maka perbuatannya bukanlah dalil dari apa-apa yang menyelisihi dhahir nash .


Diterjemahkan dari Fatwa Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baz rahimahullah.
Link terkait : https://binbaz.org.sa





PERTANYAAN

Apakah diperbolehkan seseorang puasa enam hari di bulan Syawal bagi orang yang masih mempunyai tanggungan hutang puasa Ramadhan yang belum dia qadha'?
Karena saya mendengar sebagian orang membolehkanya dan berkata bahwasanya 'Aisyah radhiyallahu 'anha dahulu tidaklah mengqadha' hutang puasa ramadhannya kecuali di bulan Sya'ban, dan yang nampak bahwa beliau radhiyallahu 'anha dahulu melakukan puasa enam hari di bulan Syawal sebagaimana diketahui karena semangatnya dalam melakukan kebaikan.



*****

JAWABAN



 بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله، وصلى الله وسلم على رسول الله، وعلى آله وأصحابه ومن اهتدى بهداه

Adapun dalam masalah ini maka yang lebih kuat dalam pandangan kami adalah tidak boleh untuk berpuasa sunnah sebelum menunaikan kewajibannya yaitu qadha' puasa Ramadhan dikarenakan 2 hal:

1.) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian dia ikuti dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal maka seperti berpuasa setahun penuh.
Bagi orang-orang yang memiliki hutang puasa di bulan Ramadhan yang belum ditunaikan, maka belum dikatakan mengikuti Ramadhannya dengan puasa Syawal, karena dia belum menunaikan seluruh Ramadhan dan masih punya sebagian hutang puasa Ramadhan, maka tidak dikatakan orang yang mengikuti Ramadhannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, sampai dia menunaikan tanggungan atau hutang puasa Ramadhan.

Maka jika ada seorang laki-laki yang memiliki hutang puasa Ramadhan karena safar atau sakit, kemudian Allah menyembuhkanya maka dia mulai untuk membayar hutang puasa Ramadhan dahulu baru kemudian dia puasa enam hari Syawal jika memungkinkan baginya jika dia membayarnya di bulan Syawal. 

Begitu juga wanita yang tidak berpuasa karena haidhnya atau nifasnya, maka dia memulai puasanya dengan menunaikan hutang puasa yang dia miliki, kemudian baru melakukan puasa enam hari di bulan Syawal. Adapun jika dia memulai langsung dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ini tidak dibenarkan dan tidak pantas.


-----------

2.) Bahwasanya hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan, dan bahwa yang wajib itu lebih didahulukan untuk mulai melaksanakannya dan bersegera daripada yang sunnah.

Allah 'Azza wa jalla mewajibkan bagi laki-laki puasa Ramadhan dan juga mewajibkan bagi wanita untuk puasa Ramadhan, maka tidaklah tepat jika dia memulai dengan yang sunnah sebelum dia melakukan yang wajib, maka dari sini diketahui tidak ada sisi kebenaran dari fatwa yang membolehkan puasa enam hari di bulan Syawal sebelum dia membayar hutang puasa Ramadhan.
Justru yang dia lakukan adalah memulai puasanya dengan yang wajib baginya yaitu puasa untuk membayar hutang puasa Ramadhan, jika ada sisa hari di bulan tersebut dan memungkinkan untuk berpuasa enam hari di bulan Syawal maka hendaklah dia lakukan, kalau tidak maka dia meninggalkanya. 

Karena hukumnya sunnah alhamdulillah, adapun dia membayar hutang puasa Ramadhan adalah wajib, maka baginya untuk memulainya dengan yang wajib sebelum melaksanakan yang sunnah, dan kehati-hatian itu ditempuh karena dua perkara yang telah disebutkan :

Yang pertama adalah bahwasanya Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "kemudian dia mengikutinya dengan puasa enam hari dibulan Syawal".
Maka bagi yang masih ada tanggungan hutang puasa di bulan Ramadhan tidak tepat untuk dikatakan mengikuti Ramadhan dengan puasa enam hari, karena dia masih belum menyelesaikannya, maka seperti dia berpuasa di pertengahan Ramadhan, seolah-olah dia melakukan puasa -Syawal- tersebut diantara hari-hari Ramadhan, dia tidak menjadikannya mengikuti Ramadhan.

Perkara yang kedua : Hal yang wajib lebih didahulukan dan lebih berhak untuk ditunaikan daripada yang sunnah. Oleh karena itu telah datang dari hadits yang shahih bahwa : 
"Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan, tunaikan hak-hak Allah karena Allah adalah yang paling berhak untuk ditunaikan hak-haknya, Maha suci Allah dan maha tinggi".

Adapun perkataan dari 'Aisyah: Maka 'Aisyah dahulu mengakhirkan puasa sampai di bulan Sya'ban dia berkata radhiyallahu 'anha: dikarenakan kesibukannya melayani Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. 

Jika dia mengakhirkan perkara yang wajib demi kesibukannya melayani Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka lebih-lebih lagi perkara yang sunnah.

Maka bisa disimpulkan bahwa dalam perbuatan 'Aisyah radhiyallahu 'anha tidaklah menjadi dalil dalam kebolehan mendahulukan puasa Syawal terhadap qadha' Ramadhan, karena dia mengakhirkan membayar hutang puasa Ramadhan disebabkan sibuknya dalam melayani Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka lebih pantas lagi dia mengakhirkan puasa enam hari di bulan Syawal.
Kemudian jika dia radhiyallahu 'anha melakukanya dan mendahulukan puasa enam hari di bulan syawal, maka perbuatannya bukanlah dalil dari apa-apa yang menyelisihi dhahir nash .


Diterjemahkan dari Fatwa Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baz rahimahullah.
Link terkait : https://binbaz.org.sa



HUKUM MENGQODHO' PUASA SYAWAL

HUKUM MENGQODHO' PUASA SYAWAL


Pertanyaan: 

Ada seorang perempuan berpuasa enam hari bulan Syawal setiap tahun. Suatu kali dia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan bulan Ramadan dan baru bersuci setelah bulan Ramadan. Kemudian setelah bersuci dia mengkada puasa Ramadan. Apakah setelah mengkada puasa Ramadan dia juga wajib mengqada puasa Syawal walaupun bukan di bulan Syawal atau dia hanya wajib mengkada puasa Ramadan? Apakah puasa enam hari bulan Syawal harus dilakukan secara kontinu atau tidak?

Jawaban: 
Puasa enam hari bulan Syawal hukumnya sunah, bukan wajib. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
 "Barangsiapa berpuasa Ramadan kemudian melanjutkannya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka pahalanya sama dengan puasa setahun penuh." Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya (Nomor bagian 15; Halaman 389).

Hadis tersebut menunjukkan bahwa melakukan puasa Syawal boleh berturut-turut atau selang-seling karena lafal hadis bersifat mutlak.

Menyegerakan puasa Syawal adalah lebih afdal. Hal itu berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta''ala, Berkata Musa,
قَالَ هُمْ أُولاءِ عَلَى أَثَرِي وَعَجِلْتُ إِلَيْكَ رَبِّ لِتَرْضَى ٨٤
 "Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Tuhanku, agar supaya Engkau rida (kepadaku)."(Q.S Thohaa 84)
 dan berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi yang menunjukkan keutamaan menyegerakan perbuatan baik. Puasa Syawal tidak wajib dilakukan secara kontinu, tetapi lebih afdal dilakukan secara kontinu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
"Amalan yang paling disukai Allah adalah yang dilakukan secara istikamah (terus-menerus) walaupun hanya sedikit." (HR. Muslim no. 783).
Puasa Syawal tidak disyariatkan untuk dikada setelah bulan Syawal karena puasa Syawal adalah amalan sunah yang waktunya sudah berlalu, baik karena ada uzur atau tanpa uzur. Allahlah pemberi taufik.

Dijawab oleh Asy Syaikh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah
Sumber : www.alifta.net

Pertanyaan: 

Ada seorang perempuan berpuasa enam hari bulan Syawal setiap tahun. Suatu kali dia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan bulan Ramadan dan baru bersuci setelah bulan Ramadan. Kemudian setelah bersuci dia mengkada puasa Ramadan. Apakah setelah mengkada puasa Ramadan dia juga wajib mengqada puasa Syawal walaupun bukan di bulan Syawal atau dia hanya wajib mengkada puasa Ramadan? Apakah puasa enam hari bulan Syawal harus dilakukan secara kontinu atau tidak?

Jawaban: 
Puasa enam hari bulan Syawal hukumnya sunah, bukan wajib. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
 "Barangsiapa berpuasa Ramadan kemudian melanjutkannya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka pahalanya sama dengan puasa setahun penuh." Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya (Nomor bagian 15; Halaman 389).

Hadis tersebut menunjukkan bahwa melakukan puasa Syawal boleh berturut-turut atau selang-seling karena lafal hadis bersifat mutlak.

Menyegerakan puasa Syawal adalah lebih afdal. Hal itu berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta''ala, Berkata Musa,
قَالَ هُمْ أُولاءِ عَلَى أَثَرِي وَعَجِلْتُ إِلَيْكَ رَبِّ لِتَرْضَى ٨٤
 "Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Tuhanku, agar supaya Engkau rida (kepadaku)."(Q.S Thohaa 84)
 dan berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi yang menunjukkan keutamaan menyegerakan perbuatan baik. Puasa Syawal tidak wajib dilakukan secara kontinu, tetapi lebih afdal dilakukan secara kontinu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
"Amalan yang paling disukai Allah adalah yang dilakukan secara istikamah (terus-menerus) walaupun hanya sedikit." (HR. Muslim no. 783).
Puasa Syawal tidak disyariatkan untuk dikada setelah bulan Syawal karena puasa Syawal adalah amalan sunah yang waktunya sudah berlalu, baik karena ada uzur atau tanpa uzur. Allahlah pemberi taufik.

Dijawab oleh Asy Syaikh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah
Sumber : www.alifta.net

MENYEMBELIH HEWAN KURBAN UNTUK AYAH DAN KAKEK SETIAP TAHUN

MENYEMBELIH HEWAN KURBAN UNTUK AYAH DAN KAKEK SETIAP TAHUN



Pertanyaan

Saya memiliki seorang sepupu yang biasa menyembelih hewan kurban untuk ayah dan kakeknya setiap tahun. 
Saya telah menasihatinya berulang kali, tetapi ia mengatakan, "Saya telah bertanya tentang masalah ini dan mereka menjawab bahwa perbuatan tersebut hukumnya boleh." 
Kami mohon fatwanya, apakah perkataan ini benar atau tidak?

Jawaban

Apabila ia menyembelih hewan kurban pada hari raya Idul Adha untuk ayah dan kakeknya, maka itu hukumnya boleh, atau menyembelih hewan dengan maksud bersedakah untuk keduanya kepada orang-orang fakir kapan pun waktunya, maka itu juga dibolehkan karena sedekah daging, uang, makanan atau harta lainnya bermanfaat untuk orang yang sudah meninggal atau yang masih hidup. 
Semua bentuk sedekah tersebut bermanfaat untuk orang yang sudah meninggal atau yang masih hidup. 
Ada riwayat dari Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam bahwasanya "Nabi pernah ditanya tentang seorang lelaki yang bersedekah untuk ibunya yang sudah meninggal dunia. 
Apakah ibunya tersebut akan mendapat pahala. Ia menjawab, "Ya." 
Di dalam Shahih Muslim rahimahullah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, 
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
"Jika anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakannya."(Nomor bagian 6; Halaman 386).

Kesimpulannya, menurut konsensus kaum Muslimin, sedekah dan doa untuk orang yang sudah meninggal itu bermanfaat. 
Apabila ia menyembelih hewan tersebut dengan niat bersedekah untuk ayah, kakek atau untuk anggota keluarga yang lain atau ia menyembelih hewan kurban pada hari raya Idul Adha untuk mereka sebagai bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka itu hukumnya boleh. 
Namun, ia tidak boleh menyembelihnya dengan mengkhususkan hari atau bulan tertentu selain hari raya Idul Adha kecuali jika ia ingin mencari waktu-waktu yang lebih utama, seperti bulan Ramadan dan tanggal sembilan Dzulhijah. 
Orang yang menyembelih dan yang sudah meninggal sama-sama mendapatkan pahala, sesuai dengan keikhlasannya kepada Allah dan kebaikan hartanya. 
Adapun jika ia bermaksud untuk beribadah atau mendekatkan diri kepada orang yang meninggal sebagaimana orang-orang yang menyembelih hewan dengan niat beribadah kepada penghuni kubur, matahari, bulan atau jin, maka itu termasuk syirik besar karena seseorang tidak boleh beribadah kepada orang lain dengan menyembelih hewan, bernazar atau ibadah yang lain kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla, 

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ(*)لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah: "Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam", tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (Q.S Al-An'am 162-163)
dan berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ(*) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ 
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berqurbanlah.  (QS. Al Kautsar: 1-2).
Serta berdasarkan sabda Nabi Muhammad `Alaihi ash-Shalatu wa as-Salam
"Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah."(HR. Muslim dalam kitab ash-Shahih). 
Orang yang menyembelih hewan untuk jin, penghuni kubur atau untuk makhluk yang lain seperti berhala dan bintang dengan mengharap syafaat dari mereka, berkeyakinan bahwa mereka dapat memberi manfaat, menyembuhkan penyakit atau yang lainnya, maka itu termasuk kemungkaran dan syirik. 
Demikian pula orang yang menyembelih hewan untuk ayah dan kakeknya dengan berkeyakinan bahwa mereka dapat memberi manfaat, menyembuhkan penyakit atau dapat mendekatkan derajatnya di sisi Allah dengan sembelihan tersebut, maka itu sama seperti orang yang menyembelih hewan untuk matahari, bulan, dan bintang dan semua itu termasuk syirik. 
Kita memohon kepada Allah semoga terbebas dari hal tersebut.



----------------------------------------


*Dikutip dari alifta.net dari fatwa Syaikh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah

Sumber : alifta.net


Pertanyaan

Saya memiliki seorang sepupu yang biasa menyembelih hewan kurban untuk ayah dan kakeknya setiap tahun. 
Saya telah menasihatinya berulang kali, tetapi ia mengatakan, "Saya telah bertanya tentang masalah ini dan mereka menjawab bahwa perbuatan tersebut hukumnya boleh." 
Kami mohon fatwanya, apakah perkataan ini benar atau tidak?

Jawaban

Apabila ia menyembelih hewan kurban pada hari raya Idul Adha untuk ayah dan kakeknya, maka itu hukumnya boleh, atau menyembelih hewan dengan maksud bersedakah untuk keduanya kepada orang-orang fakir kapan pun waktunya, maka itu juga dibolehkan karena sedekah daging, uang, makanan atau harta lainnya bermanfaat untuk orang yang sudah meninggal atau yang masih hidup. 
Semua bentuk sedekah tersebut bermanfaat untuk orang yang sudah meninggal atau yang masih hidup. 
Ada riwayat dari Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam bahwasanya "Nabi pernah ditanya tentang seorang lelaki yang bersedekah untuk ibunya yang sudah meninggal dunia. 
Apakah ibunya tersebut akan mendapat pahala. Ia menjawab, "Ya." 
Di dalam Shahih Muslim rahimahullah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, 
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
"Jika anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakannya."(Nomor bagian 6; Halaman 386).

Kesimpulannya, menurut konsensus kaum Muslimin, sedekah dan doa untuk orang yang sudah meninggal itu bermanfaat. 
Apabila ia menyembelih hewan tersebut dengan niat bersedekah untuk ayah, kakek atau untuk anggota keluarga yang lain atau ia menyembelih hewan kurban pada hari raya Idul Adha untuk mereka sebagai bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka itu hukumnya boleh. 
Namun, ia tidak boleh menyembelihnya dengan mengkhususkan hari atau bulan tertentu selain hari raya Idul Adha kecuali jika ia ingin mencari waktu-waktu yang lebih utama, seperti bulan Ramadan dan tanggal sembilan Dzulhijah. 
Orang yang menyembelih dan yang sudah meninggal sama-sama mendapatkan pahala, sesuai dengan keikhlasannya kepada Allah dan kebaikan hartanya. 
Adapun jika ia bermaksud untuk beribadah atau mendekatkan diri kepada orang yang meninggal sebagaimana orang-orang yang menyembelih hewan dengan niat beribadah kepada penghuni kubur, matahari, bulan atau jin, maka itu termasuk syirik besar karena seseorang tidak boleh beribadah kepada orang lain dengan menyembelih hewan, bernazar atau ibadah yang lain kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla, 

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ(*)لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah: "Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam", tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (Q.S Al-An'am 162-163)
dan berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ(*) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ 
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berqurbanlah.  (QS. Al Kautsar: 1-2).
Serta berdasarkan sabda Nabi Muhammad `Alaihi ash-Shalatu wa as-Salam
"Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah."(HR. Muslim dalam kitab ash-Shahih). 
Orang yang menyembelih hewan untuk jin, penghuni kubur atau untuk makhluk yang lain seperti berhala dan bintang dengan mengharap syafaat dari mereka, berkeyakinan bahwa mereka dapat memberi manfaat, menyembuhkan penyakit atau yang lainnya, maka itu termasuk kemungkaran dan syirik. 
Demikian pula orang yang menyembelih hewan untuk ayah dan kakeknya dengan berkeyakinan bahwa mereka dapat memberi manfaat, menyembuhkan penyakit atau dapat mendekatkan derajatnya di sisi Allah dengan sembelihan tersebut, maka itu sama seperti orang yang menyembelih hewan untuk matahari, bulan, dan bintang dan semua itu termasuk syirik. 
Kita memohon kepada Allah semoga terbebas dari hal tersebut.



----------------------------------------


*Dikutip dari alifta.net dari fatwa Syaikh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah

Sumber : alifta.net
adv/http://halaqah.tauhid.or.id/|

Artikel Pilihan

artikel pilihan/carousel

Arsip Artikel Per Bulan



Facebook

fb/https://www.facebook.com/Tauhid.or.id



Kids

Konten khusus anak & download e-book




Course