Para pembaca yang
budiman, mengenal bangsa Arab cukup penting bagi kita yang ingin memperdalam
sirah nabawiyah, terutama bagaimana keadaan mereka di masa jahiliyah. Dengan
mengetahui keburukan yang terjadi di masa jahiliyah, kelak kita akan dapat
menganalisa bagaimana peran dakwah beliau dalam mengubah itu.
Menurut bahasa,
'Arab artinya padang pasir, tanah gundul dan gersang yang tiada air dan
tanamannya. Keadaan alam jazirah Arab adalah gurun yang kering dan tandus.
Sebutan dengan istilah ini sudah diberikan sejak dahulu kala kepada jazirah
Arab, sebagaimana sebutan yang diberikan kepada suatu kaum yang disesuaikan
dengan daerah tertentu, lalu mereka menjadikannya sebagai tempat tinggal. [1]
Jazirah Arab dibatasi oleh:
- Bagian barat: Laut Merah dan gurun Sinai
- Bagian timur: Teluk Arab dan sebagian besar negara Iraq bagian selatan
- Bagian selatan: Laut Arab yang bersambung dengan Samudera Hindia
- Bagian utara: Negeri Syam dan sebagian kecil dari negara Iraq,
Adapun di dalamnya,
Jazirah Arab hanya dikelilingi gurun dan pasir di segala sudutnya. Kondisi seperti
inilah yang membuat jazirah Arab seperti benteng pertahanan yang kokoh, yang
tidak memperkenankan bangsa asing untuk menjajah, mencaplok dan menguasai penghuninya.
Oleh karena itu
kita bisa melihat penduduk jazirah Arab yang hidup merdeka dan bebas dalam
segala urusan semenjak zaman dahulu. Sekalipun begitu mereka tetap hidup
berdampingan dengan dua kerajaan super power saat itu, yaitu Romawi dan Persia yang serangannya tak mungkin bisa
dihadang andaikan tidak ada benteng pertahanan alami yang kuat seperti itu.
Jazirah Arab yang mencakup area seluas satu juta
sampai satu juta tigaratus mil persegi ini memiliki letak
yang sangat strategis
sejak zaman dahulu. Sebelah barat Laut merupakan pintu masuk
ke benua Afrika, sebelah timur laut merupakan kunci untuk masuk ke benua Eropa
dan sebelah timur merupakan pintu masuk bagi bangsa ajam (bangsa non-Arab),
timur tengah dan timur dekat, terus membentang ke India dan Cina. Setiap benua
mempertemukan lautnya dengan Jazirah Arab dan setiap kapal laut yang berlayar
tentu akan bersandar di pelabuhan-pelabuhan
Arab. Oleh karena posisi yang strategis inilah jazirah Arab menjadi pusat
pertukaran barang dagangan, pertukaran peradaban, agama dan kebudayaan. [2]
Kaum-kaum Arab
Para ahli sejarah
membagi kaum-kaum Arab menjadi tiga bagian, yaitu:
Arab Ba’idah,
yaitu kaum Arab terdahulu yang tidak mungkin sejarahnya bisa dilacak secara
rinci dan lengkap, seperti kaum 'Ad, Tsamud, Thasm, Judais, 'Imlaq dan lain-lainnya.
Arab ‘Aaribah,
yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ya'rib bin Yasyjub bin
Qahthan, atau disebut pula Arab Qahthaniyah. Arab ‘Aaribah ini
berasal dari negeri Yaman.
Arab Musta'ribah,
yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan nabi Isma'il ‘alaihissalaam,
yang disebut pula Arab 'Adnaniyah. [3]
AGAMA BANGSA
ARAB
Sebelum diutusnya
Rasulullah, kebanyakan bangsa Arab masih mengikuti dakwah Nabi Ismail
'alaihissalam dan menganut agama yang dibawanya. Beliau meneruskan dakwah ayahnya,
Ibrahim 'alaihissalam, yaitu menyembah Allah dan mentauhidkan-Nya. Untuk
beberapa lama mereka akhirnya mulai lupa banyak hal tentang apa yang pernah
diajarkan kepada mereka. Sekalipun begitu, tauhid dan beberapa syiar agama
Ibrahim masih tersisa pada mereka.
Sampai kemudian dari
kalangan bangsa Arab ada seseorang yang bernama ‘Amr bin Luhai, pemimpin Bani
Khuza'ah. Dia adalah seorang yang suka bersedekah dan juga bersemangat mengurusi masalah agama. Suatu
saat ‘Amr bin Luhai mengadakan perjalanan ke Syam. Di sana dia melihat penduduk
Syam yang menyembah berhala dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik
serta benar. Sebab menurutnya, Syam adalah tempat para rasul dan kitab. Maka
dia pulang sambil membawa berhala yang bernama Hubal dan meletakkannya di dalam
Ka'bah. Setelah itu, ‘Amr bin Luhai pun mengajak penduduk Makkah untuk
menjadikan sekutu bagi Allah. Orang-orang Hijaz pun banyak yang mengikuti
penduduk Makkah karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka'bah dan penduduk
tanah suci.
Selain Hubal,
berhala lain yang mereka sembah adalah Manat, yang ditempatkan di Musyallal di
tepi laut Merah dekat Qudaid. Kemudian mereka membuat Lata di Thaif dan Uzza di
Wadi Nakhlah. Ketiga berhala tersebut merupakan berhala mereka yang paling agung. Setelah itu kemusyrikan semakin menyebar dan merebak pula berhala-berhala
di setiap penjuru
jaziarah Arab. [4]
Bagaimana bentuk ibadah mereka kepada para
berhala?
Di antara bentuk peribadahan mereka kepada
berhala antara lain:
- Mereka berkumpul di sekitar berhala, kemudian
meminta pertolongan tatkala menghadapi kesulitan, beristighotsah dan berdoa
agar berhala-berhala itu memenuhi kebutuhan mereka, dengan penuh keyakinan
bahwa berhala-berhala itu bisa memberikan syafa'at di sisi Allah dan mewujudkan
apa yang mereka kehendaki.
- Mereka menunaikan haji dan thawaf mengelilingi
berhala, merunduk dan sujud di hadapannya.
- Mereka mendekatkan diri kepada berhala mereka
dengan berbagai bentuk ibadah; mereka menyembelih dan berkorban untuk berhala
tersebut dan dengan menyebut nama berhala.
- Mereka juga mengkhususkan sebagian dari makanan
dan minuman yang mereka pilih untuk disajikan kepada berhala, dan juga
mengkhususkan bagian tertentu dari hasil panen dan binatang ternak mereka.
- Mereka menetapkan adanya bahirah, as
saaibah, al washilah dan al ham. [5]
Said bin Al Musayyab rahimahullah menyebutkan
makna keempat ritual ini:
Al bahirah ialah unta betina yang air susunya tidak boleh diperah oleh seorang
pun karena dikhususkan hanya untuk berhala mereka saja.
As saibah ialah ternak unta yang dibiarkan bebas demi berhala-berhala mereka,
dan tidak boleh ada seorang pun yang mempekerjakannya serta memuatinya dengan
sesuatu pun.
Al wasilah ialah unta betina yang dilahirkan oleh induknya sebagai anak pertama,
kemudian anak keduanya betina pula. Mereka menjadikannya sebagai unta saibah,
dibiarkan bebas untuk berhala-berhala mereka, jika antara anak yang pertama dan
yang kedua tidak diselingi dengan jenis jantan.
Sedangkan al ham ialah unta pejantan yang berhasil menghamili beberapa ekor unta betina
dalam jumlah yang tertentu. Apabila telah mencapai bilangan yang ditargetkan,
maka mereka membiarkannya hidup bebas dan membebaskannya dari semua pekerjaan, tidak
lagi dibebani sesuatu pun.
Berkenaan dengan hal tersebut, Allah menurunkan
ayat,
ما جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلا سائِبَةٍ، وَلا وَصِيلَةٍ، وَلا حامٍ، وَلكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ، وَأَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُونَ"Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahirah, sa'ibah, washilah dan hami. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti". (Al Maidah: 103). [6]
Bangsa Arab berbuat
seperti itu terhadap berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan bahwa hal
itu bisa mendekatkan mereka kepada Allah, menjadikan mereka sebagai perantara antara mereka dan
Allah, serta meminta syafa'at kepada mereka,
sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur'an,
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاّ لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". (Az Zumar:3).
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ"Dan, mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) manfaat, dan mereka berkata: 'mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami disisi Allah". (Yunus: 18). [7]
Mengundi Nasib
Selain menyembah
berhala, orang-orang Arab juga mengundi nasib dengan sesuatu yang disebut al
azlam atau anak panah yang tidak ada bulunya. Azlam merupakan tiga
buah anak panah, pada salah satunya bertuliskan kata 'lakukanlah', pada yang
kedua bertuliskan 'jangan kamu lakukan', sedangkan pada yang ketiganya tidak
terdapat tulisan apa pun.
Jika telah diundi, lalu keluarlah panah yang
bertuliskan kata perintah, maka orang yang bersangkutan mengerjakannya; atau
jika yang keluar kata larangan, maka ia meninggalkannya. Jika yang keluar
adalah anak panah yang kosong, maka ia mengulangi undiannya lagi.[8]
Percaya kepada Peramal dan Dukun
Bangsa Arab juga menyakini kebenaran berita-berita
dari para kahin (peramal), arraf (dukun), ahli
nujum (ahli ilmu perbintangan).
Kaahin atau peramal adalah orang
yang suka memberikan informasi tentang hal-hal yang akan terjadi di masa depan,
mengaku-aku dirinya mengetahui rahasia-rahasia. Di antara para peramal ini, ada
yang mendakwa dirinya punya
bawahan dari kalangan jin yang memberikan informasi kepadanya.
Adapun Arraf (dukun) adalah orang yang
bisa mengetahui lokasi barang yang dicuri, atau barang yang hilang. Arraf
juga mengklaim bisa mengetahui posisi orang yang tersesat.
Sedangkan ahli nujum (astrolog) adalah orang
yang mengamati keadaan bintang dan benda-benda langit lainnya, lalu dia
menghitung perjalanan dan waktu peredarannya, agar dengan begitu dia bisa mengetahui
berbagai keadaan di dunia dan peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi di masa
depan.[9]
Ath Thiyarah
Di kalangan mereka
juga beredar kepercayaan ath thiyarah yaitu merasa bernasib sial atau meramal
nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya atau apa saja.
Pada mulanya mereka
mendatangi seekor burung atau kijang, lalu mengusirnya. Bila burung
atau kijang itu mengambil arah kanan, maka mereka jadi bepergian ke tempat yang
hendak dituju dan hal itu dianggap sebagai pertanda baik. Jika burung atau
kijang itu mengambil arah kiri, maka mereka tidak berani bepergian dan mereka
meramal hal itu sebagai tanda kesialan. Mereka juga menganggaosial jika di
tengah jalan bertemu burung atau hewan tertentu.[10]
SISA-SISA AJARAN NABI IBRAHIM ALAIHISSALAAM
Meski mengadopsi berbagai pemahaman dan ritual
yang menyimpang, akan tetapi ajaran Nabi Ibrahim
masih tersisa pada mereka dan belum ditinggalkan sama sekali, seperti
pengagungan terhadap baitullah (ka'bah), thawaf, haji, umrah, wukuf di 'Arafah dan lain-lain.
Akan tetapi mereka
menambahkan hal-hal yang baru dalam
ibadah haji seperti membuat aturan bagi orang yang datang dari luar tanah haram
bila mereka datang dan berthawaf untuk pertama kalinya maka mereka mengenakan
pakaian para penduduk makkah. Apabila mereka tidak mendapatkannya, maka kaum
laki-laki harus thawaf dalam keadaan telanjang. Sementara wanita juga harus menanggalkan
seluruh pakaiannya kecuali pakaian rumah yang longgar, kemudian baru berthawaf
dan melantunkan :
اليوم يبدو بعضه أو كله ... وما بدا منه فلا أحله"Hari ini tampak sebagian atau seluruhnya
Apa yang nampak itu tiadalah ia perkenankan" [11]
Demikianlah gambaran umum tentang keadaan bangsa Arab Jaahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah shallalahu
aliahi wasallam.
(Bersambung)
CATATAN KAKI:
[1] Shafiyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul
Makhtum, hlm. 9
[2] Ibid., hlm. 8-9.
[3] Ibid., hlm. 10.
[4] Ibid., hlm. 27.
[5] Ibid., hlm. 28.
[6] Lihat Tafsir Ibnu Katsir terhadap surat Al
Maidah ayat 103.
[7] Shafiyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, hlm. 29.
[8] Tafsir Ibnu Katsir terhadap surat Al Maidah
ayat 3.
[9] Shafiyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul
Makhtum, hlm. 30.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm. 31.
------------------------------------------------