Beliau adalah Abul Qasim Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdimanaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin bin Mudhar bin Nizar bin Maad bin Adnan bin Udad bin Al Muqawwim bin Naahur bin Tayrah bin Ya'rub bin Yasyjub bin Naabit bin Ismail bin Ibrahim Khalilurrahman bin Tarih (yang dikenal dengan nama Azar) bin Nahur bin Saru’ bin Ra’u bin Falikh bin Aybir bin Syalikh bin bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh (alaihis salam) bin Lamk bin Mutusyalkh bin Akhnukh -- yaitu Nabi Idris keturunan Nabi Adam yang pertama menjadi nabi dan yang menulis dengan pena -- bin Yarda bin Mahlil bin Qainan bin Yanisy bin Syits bin Adam alaihissalam.
Nasab ini disebutkan oleh Muhammad bin Ishak bin Yasar Al-Madani di salah satu riwayatnya. Nasab Rasulullah sampai Adnan disepakati oleh para ulama, sedangkan setelah Adnan terjadi perbedaan pendapat. [1]
Di dalam Shahih Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ“Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari anak keturunan Ismail. Allah telah memilih suku Quraisy dari bangsa Kinanah. Allah pula telah memilih bani Hasyim dari suku Quraisy, dan memilih diriku dari bani Hasyim.” (HR. Muslim)
Siapa Quraisy?
Quraisy adalah kabilah yang terkemuka di kalangan Arab. Nama Quraisy diambil dari leluhur kabilah mereka yaitu An-Nadhr bin Kinanah yang dikenal dengan julukan Quraisy. Ibnu Hisyam mengatakan,
النَّضْرُ: قُرَيْشٌ، فَمَنْ كَانَ مِنْ وَلَدِهِ فَهُوَ قُرَشِيٌّ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ وَلَدِهِ فَلَيْسَ بِقُرَشِيٍّ“An Nadhr adalah Quraiys. Maka barang siapa yang merupakan anak keturunannya, maka ia adalah seorang Qurasyi. Sedangkan yang bukan anak keturunannya, maka bukanlah seorang Qurasyi.”[2]
Keluarga Besar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
Keluarga besar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lebih dikenal dengan sebutan Al-Usrah Al-Hasyimiyyah, nisbah kepada kakek beliau, Hasyim bin 'Abdu Manaf. Hasyim adalah orang yang bertindak sebagai penanggung jawab atas as siqayah (penyediaan air minum) dan ar rifadah (penyediaan makanan) terhadap para jamaah haji. Hasyim dikenal sebagai orang yang hidup dalam kondisi yang baik dan memiliki martabat tinggi. Hasyim-lah orang pertama yang menyediakan makanan berupa tsarid [3] kepada para jama'ah haji di Makkah.
Nama asli Hasyim adalah 'Amru. Dia dijuluki sebagai Hasyim, hal ini dikarenakan pekerjaannya yang meremuk-remukan roti, di dalam bahasa Arab disebut sebagai hasyim. Hasyim pula orang pertama yang mencanangkan program dua kali rihlah (bepergian) bagi kaum Quraisy, yaitu rihlatus syitaa' (perjalanan musim dingin) dan rihlatush shaif (perjalan musim panas).[4]
Allah kabarkan tentang kebiasaan ini di dalam Al Qur’an,
(لإيلافِ قُرَيْشٍ (١)إِيلافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ (٢“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. (Al Quraisy: 1-2)
Abdul Muttalib Alias Syaibah
Hasyim lalu menurunkan kakek Rasulullah yang dikenal dengan nama Abdul Mutthalib. Ada kisah yang menarik tentang Abdul Mutthalib dan hubungannya dengan ayahnya, Hasyim. Dahulu Hasyim pergi ke kota Syam untuk berdagang. Ketika sampai di kota Yatsrib (Madinah) dia menikah dahulu dengan Salma binti 'Amru, dari Bani ‘Adi bin An-Najjar. Hasyim pun tinggal bersama isterinya untuk beberapa waktu kemudian berangkat ke kota Syam. Saat ditinggalkan, istrinya sedang mengandung seorang bayi. Di perjalanan itu, Hasyim meninggal di kota Ghaza di wilayah Palestina. [5]
Di Yatsrib, Salma pun melahirkan seorang anak laki-laki. Salma memberinya nama Syaibah karena adanya rambut putih di kepalanya. Dalam bahasa Arab “syaibah” artinya orang yang sudah beruban. Salma lalu membesarkan putranya di Yatsrib. Tidak seorang pun di antara keluarga Hasyim di Makkah yang tahu tentang dirinya.
Ketika Syaibah menginjak usia sekitar tujuh atau delapan tahun, Al-Muththalib, saudara laki-laki Hasyim mendengar berita tentang diri Syaibah lantas dia pergi mencarinya. Ketika bertemu dan melihatnya, berlinanglah air matanya, lalu dipeluknya dengan dan dinaikkannya ke atas tunggangannya, ingin dibawanya kembali ke Makkah. Syaibah menolak hingga diizinkan dahulu oleh ibunya. Al-Muththalib kemudian meminta persetujuan ibunya agar mengizinkannya membawa serta keponakannya tersebut tetapi Salma menolak permintaan tersebut. [6]
Al-Muththalib lalu mengatakan kepada Salma,
إنما يمضي إلى ملك أبيه، وإلى حرم الله"Hanya saja dia akan dibawa kepada kekuasaan bapaknya, menuju Tanah Haram Allah".
Akhirnya Salma pun mengizinkan putranya dibawa. Syaibah lalu dibonceng oleh pamannya, Al-Muththalib dengan menunggangi keledai miliknya. [7]
Ketika melihat Al Mutthalib membawa seorang anak di belakangnya, orang-orang di Makkah mengira bahwa dia sedang membawa budaknya.
Mereka mengatakan, “Inilah Abdul Mutthalib (budak milik Al-Mutthalib)… Inilah Abdul Mutthalib (budak milik Al-Mutthalib)…”
Karena inilah Syaibah, kakek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian lebih dikenal dengan panggilan Abdul Mutthalib.
Jadi, Abdul Mutthalib pada hakekatnya bukanlah nama asli kakek beliau. Nama aslinya adalah Syaibah. Hanya saja dia dipanggil Abdul Mutthalib (budaknya si Mutthalib) karena kesalahpahaman orang-orang di Makkah yang mengira bahwa dia adalah budaknya Al Mutthalib.
Syaibah yang sekarang dikenal dengan nama Abdul Mutthalib kemudian tinggal bersama pamannya Al-Mutthalib. Sampai akhirnya Al Mutthalib meninggal di Radman, Yaman dan kekuasaannya kemudian digantikan oleh keponakannya tadi yaitu Abdul Muththalib.
Dia pun menerapkan kebijakan yang sama kepada kaumnya seperti apa yang dilakukan oleh leluhurnya. Bahkan Abdul Mutthalib berhasil melebihi mereka. Dia mendapatkan kedudukan dan martabat di hati kaumnya yang belum pernah dicapai oleh leluhurnya terdahulu. Abdul Mutthalib sangat dia dicintai dan dihormati di tengah-tengah mereka.[8]
Dia pun menerapkan kebijakan yang sama kepada kaumnya seperti apa yang dilakukan oleh leluhurnya. Bahkan Abdul Mutthalib berhasil melebihi mereka. Dia mendapatkan kedudukan dan martabat di hati kaumnya yang belum pernah dicapai oleh leluhurnya terdahulu. Abdul Mutthalib sangat dia dicintai dan dihormati di tengah-tengah mereka.[8]
Upaya Kudeta Terhadap Kepemimpinan Abdul Mutthalib
Ketika Al-Muththalib meninggal dunia, Naufal (adik Al-Mutthalib) melangkahi kekuasaan Abdul Mutthalib, bahkan berusaha mengambil tampuk kekuasaan tersebut. Abdul Mutthalib lalu meminta pertolongan para pemuka Quraisy untuk membantunya melawan sang paman. Namun mereka menolak sembari berkata, "Kami tidak akan ikut campur dalam pertikaian antara engkau dan pamanmu."
Akhirnya Abdul Mutthalib pun menyurati paman-pamannya dari pihak ibunya yang berasal dari Bani An-Najjar dengan rangkaian bait-bait sya'ir yang berisi ungkapan memohon bantuan mereka. Pamannya, Abu Sa'ad bin 'Adiy bersama delapan puluh pengendara kuda kemudian berangkat menuju kota Makkah. Setelah mereka sampai di Abthah, mereka disambut oleh Abdul Mutthalib yang langsung mempersilakan agar mereka mampir di rumahnya terlebih dahulu.
Abu Sa’ad dan pasukannya menolak. Dia mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan mampir ke rumahmu sampai aku menemui Naufal!"
Abu Sa’ad dan pasukannya lalu mencari Naufal, dan menemukannya sedang berada di Hijr Isma’il, bersama para sesepuh Quraisy. Abu Sa'ad langsung menghunus pedangnya lalu berkata, “Demi Pemilik rumah ini (Ka'bah)! Jika tidak engkau kembalikan kewenangan anak saudara perempuanku maka aku akan pedang ini akan memenggalmu."
Naufal langsung berkata, "Aku kembalikan!"
Ucapannya ini disaksikan oleh para sesepuh Quraisy tersebut. Kemudian barulah dia mampir ke rumah Abdul Muththalib dan tinggal di sana selama tiga hari. Selama di sana, Abu Sa’ad melakukan umrah terlebih dahulu, barulah kemudian pulang ke Yatsrib.
Setelah kejadian tersebut, Naufal pun membuat perjanjian dengan Bani Abdi Syams bin Abdi Manaf untuk menandingi Bani Hasyim.
Setelah melihat pertolongan yang diberikan oleh Bani An-Najjar, Suku Khuza'ah tergerak juga untuk menjadi pendukung Abdul Mutthalib. Mereka mengatakan, “Kami juga ikut andil melahirkannya seperti kalian, bahkan kami justru lebih berhak untuk menolongnya". Hal ini lantaran ibu dari Abdi Manaf berasal dari Khuza’ah.
Orang-orang Khuza’ah ini kemudian memasuki Darun Nadwah dan menyatakan dukungan mereka kepada Bani Hasyim untuk melawan Bani Abdi Syams dan Naufal. Persekutuan inilah yang kemudian menjadi sebab penaklukan Makkah sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.[9]
(bersambung)
**********
CATATAN KAKI:
[1] Abdul Ghani Al-Maqdisi, Muktashar Siratin Nabi, tahqiq Khalid bin Abdurrahman, Riyadh: Sulaiman Ar-Rajihi Foundation, 1424 H, hlm. 35-36.
[2] Ibnu Hisyam, As Sirah An Nabawiyah, tahqiq Musthafa As-Saqa’, Mesir: Musthafa Al-Babi Al-Halabi, 1955, jilid 1 hlm. 93.
[3] Ats-Tsarid yaitu semacam roti yang diremuk dan direndam dalam kuah daging. Lihat Mu’jam Al-Lughoh Al-Arabiyah Al-Muasharah, hlm. 314.
[4] Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiqul Makhtum, (Beirut: Darul Hilal, t.t.) hlm. 40.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid. hlm. 41.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
------------------------------------------------