Alhamdulillah, Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian
Agama, telah menetapkan bahwa 1 Dzulhijjah 1438 jatuh pada Rabu, 23 Agustus
2017, yang sekaligus menandakan bahwa hari Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1438,
bertepatan dengan hari Jum’at, 1 September 2017.
Hari Id tersebut, yang bertepatan dengan hari Jum’at,
sungguh adalah karunia dan nikmat Allah yang sangat besar. Namun, hukum
pelaksanaan shalat Jum’at dipertanyakan pada hari tersebut.
Tentang simpulan pembahasan dalam masalah apabila hari Id
bertepatan dengan hari Jum’at, terdapat silang pendapat di kalangan ulama:
Pendapat pertama, kewajiban Jum’at tidaklah gugur terhadap
siapa saja yang telah menghadiri shalat Id. Ini adalah pendapat Imam Malik, Abu
Hanifah, Ibnul Mundzir, dan Ibnu Hazm. Ibnu Qudâmah menyebutnya sebagai
pendapat kebanyakan ahli fiqih.
Pendapat kedua, shalat Jum’at tetap wajib dan hanya
digugurkan untuk siapa saja yang telah menghadiri shalat Id di antara
orang-orang yang tinggal di lembah, badu, dan semisalnya. Ini adalah pendapat
Imam Asy-Syâfi’iy dan salah satu riwayat dari Imam Malik.
Pendapat ketiga, siapa saja yang telah menyaksikan shalat
Id, gugur terhadapnya kewajiban menghadiri shalat Jum’at. Namun, imam masjid
tetap wajib menegakkan shalat Jum’at agar shalat ini dihadiri oleh siapa saja
yang ingin hadir. Ini adalah pendapat Asy-Sya’by, An-Nakha’iy, Al-‘Auzâ’iy, dan
Ahmad bin Hanbal. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menguatkan pendapat ini seray
menyebut bahwa ini adalah pendapat Umar,
Utsman, Ibnu Mas’ûd, Ibnu ‘Abbâs, Ibnuz Zubair, dan kalangan shahabat
yang lain. Tidaklah diketahui bahwa ada dari kalangan shahabat yang menyelisihi
mereka.
Insya Allah, yang terkuat di antara tiga pendapat di atas
adalah pendapat ketiga. Selain terhitung sebagai pendapat yang tidak dikenal
bahwa ada di antara kalangan shahabat yang menyelisihinya, hadits-hadits dan
atsar-atsar para shahabat juga lebih menguatkannya.
Di antara hadits-hadits tersebut adalah riwayat Iyâs bin Abi
Ramlah Asy-Syâmy bahwa beliau berkata,
شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ سَأَلَ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا؟ قَالَ: نَعَمْ صَلَّى الْعِيدَ أَوَّلَ النَّهَارِ، ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ: ” مَنْ شَاءَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ“Saya menyaksikan Mu’âwiyah bertanya kepada Zaid bin Arqam, ‘Apakah, bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, engkau menyaksikan dua Id berkumpul?’ (Zaid) menjawab, ‘Iya. Beliau melaksanakan shalat Id pada awal siang, kemudian memberi keringanan pada (shalat) Jum’at dengan berkata, ‘Siapa saja yang hendak menegakkan (shalat) Jum’at hendaknya dia menegakkan (shalat) Jum’at tersebut.’.”
[Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, An-Nasâ`iy,
Ibnu Mâjah, dan selainnya. Iyâs bin Abi Ramlah Asy-Syâmy adalah seorang rawi
yang majhûl, tetapi bisa dikuatkan dengan riwayat Abu Hurairah yang akan
datang. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Shahîh Sunan Abi Dâwud seraya
menyebut bahwa hadits ini dishahihkan juga oleh Ibnul Madîny, Al-Hakim, dan
Adz-Dzahaby]
Hadits lain adalah dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu
bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا
عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
“Telah bertemu dua Id pada hari kalian ini. Siapa saja yang
berkehendak (untuk tidak menghadiri shalat Jum’at), (shalat Id-nya) telah
mencukupinya dari (shalat) Jum’at. Namun, kami (tetap) akan menegakkan (shalat)
Jum’at.”
[Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Mâjah, dan selainnya.
Sanadnya bagus maka dishahihkan oleh Al-Albâny dalam Shahîh Sunan Abi Dâwud.
Namun, Ad-Dâraquthny dan Ahmad bin Hanbal menganggap bahwa yang kuat pada
hadits adalah riwayat mursal]
Juga dari Abu ‘Ubaid bahwa beliau berkata, “Saya menghadiri
shalat Id bersama Utsman bin Affan, sedang waktu itu adalah hari Jum’at.
(Utsman) melaksanakan shalat Id sebelum khutbah, kemudian berkata,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ العَوَالِي فَلْيَنْتَظِرْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya pada hari ini telah berkumpul dua Id untuk kalian. Oleh karena itu, siapa saja di antara penduduk ‘awâlî (pelosok kota) yang ingin menunggu (pelaksanaan shalat) Jum’at, silakan menunggu. Akan tetapi, siapa saja yang ingin kembali, telah kuizinkan untuknya.’.”
[Diriwayatkan oleh Malik, Al-Bukhâry dalam Shahîh-nya, dan selainnya]
Demikianlah pendapat terkuat dan difatwakan oleh Ulama
Al-Lajnah Ad-Dâ`imah seperti dalam fatwa no. 2140 yang ditandatangani oleh
Syaikh Abdul Aziz Ibnu Bâz, Syaikh Abdullah Al-Ghudayyân, dan Syaikh Abdullah
bin Qa’ûd, serta dalam fatwa no. 21160 pada 8 Dzulqa’dah 1420 H yang
ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz Âlu Asy-Syaikh, Syaikh Abdullah
Al-Ghudayyân, Syaikh Bakr Abu Zaid, dan Syaikh Shalih Al-Fauzân.
Namun, kami perlu mengingatkan akan tiga hal:
- Pertama, siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at, boleh melaksanakan shalat Zhuhur di rumahnya. Akan tetapi, kalau dia menghadiri shalat Jum’at, hal tersebut tentu lebih afdhal dan lebih selamat dari silang pendapat ulama dalam masalah ini.
- Kedua, tidaklah kita mengetahui, dari uraian para ulama, bahwa ada yang mengharamkan penegakan shalat Jum’at.
- Ketiga, sebagian manusia menyangka bahwa, bila shalat Id bertepatan dengan hari Jum’at, seseorang boleh tidak mengerjakan shalat Jum’at juga tidak mengerjakan shalat Zhuhur. Padahal, tidak ada di antara kalangan ulama yang berpendapat seperti ini, kecuali, Athâ` bin Abi Rabâh. Setelah menyebutkan bahwa ‘Athâ` memiliki dua pendapat dalam masalah ini, Ibnu Abdil Barr sangat mengingkari pendapat ini dan menegaskannya sebagai pendapat yang kerusakannya sangat jelas, ditinggalkan, dan tidak dipakai.
Wallahu A’lam.
Rujukan pokok untuk pembahasan di atas:
Majmû’ Fatâwâ Syaikhul Islam 24/210-213
Al-Mughny 2/358-359 karya Ibnu Qudâmah
At-Tamhîd 10/268-271 karya Ibnu Abdil Barr
Al-Ausath 4/289-291 karya Ibnul Mundzir
Bidâyah Al-Mujtahid 1/496-497 karya Ibnu Rusyd (cetakan
Dârus Salâm)
Al-Muhallâ 5/89 karya Ibnu Hazm
Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 27/209
Fatawa Al-Lajnah Ad-Dâ`imah 8/179-181
------------------------------------------------