artikel pilihan


ADAB TERHADAP AL-QUR'AN (Bagian Ke-1)


Allah ta’ala berfirman,

ذَٰلِكَۖ وَمَن يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [QS Al Hajj : 32]
Di antara syiar-syiar agama Allah subhanahu wa ta'ala adalah Al-Qur’an Al-Karim karena ia merupakan kalam Allah subhanahu wa ta'ala sehingga harus dimuliakan dan dihormati. Di antara adab terhadap Al Qur’an adalah:


1.) Meyakini Bahwa Al-Qur’an adalah:
  • Kalamullah, Firman/Wahyu Allah subhanahu wa ta'ala.
  • Diturunkan melalui perantaraan Malaikat Jibril 'alaihissalam kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam bahasa Arab yang dapat dipahami dengan jelas.
Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala,

وَإِنَّهُۥ لَتَنزِيلُ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٩٢ نَزَلَ بِهِ ٱلرُّوحُ ٱلۡأَمِينُ ١٩٣ عَلَىٰ قَلۡبِكَ لِتَكُونَ مِنَ ٱلۡمُنذِرِينَ ١٩٤ بِلِسَانٍ عَرَبِيّٖ مُّبِينٖ
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” [QS. Asy-Syu’araa’ : 192-195]. 

*****

2.) Menolak Keyakinan bahwa Al Qur’an adalah Makhluk

Al-Imam Ar-Rabi’ (Sahabat dan Murid Al-Imam As-Syafi'i) berkata:

سمعت الشافعي رحمه الله تعالى يقول : القرآن كلام الله عز وجل غير مخلوق ، ومن قال مخلوق فهو كاف
Aku mendengar Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: ”Al-Qur’an itu adalah Kalamullah subhanahu wa ta'ala, bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan bahwasannya ia adalah makhluk maka ia telah kafir” [Asy-Syari’ah oleh Al-Imam Al-Ajurri hal. 59; Maktabah Al-Misykah]

*****

3.) Tidak Boleh ada Keraguan Terhadap Al Qur’an yang Merupakan Pedoman Hidup bagi Orang yang Beriman dan Petunjuk bagi Orang yang Bertaqwa

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

الٓمٓ ١ ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢
”Alif laam miim. Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” [QS. Al Baqarah: 1-2]
Ayat di atas sekaligus bantahan terhadap keyakinan bahwa:
  • “Al Qur’an perlu direvisi” atau
  • “Al Qur’an tidak universal dan tidak relevan untuk setiap waktu dan tempat” dan ungkapan-ungkapan yang semisal dengannya dari berbagai bentuk keraguan atau keyakinan yang menyimpang terhadap Al Qur’an.

*****

4.) Tidak Menyentuh Al Qur’an Kecuali dalam Keadaan Suci

Orang yang berhadats (hadats besar seperti wanita yang sedang haid, nifas, dan junub atau hadats kecil seperti orang yang sehabis kentut atau kencing dan belum bersuci.) tidak boleh menyentuh mushaf seluruhnya atau sebagiannya. Inilah pendapat Jumhur (mayoritas) para Ulama. Dalil dari hal ini adalah firman Allah ta'ala,

لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلۡمُطَهَّرُونَ
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” [QS. Al Waqi’ah: 79]
Begitu pula sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu,

لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
“Janganlah menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.” [HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih]
Lihat kitab Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, Al-Imam Al-Qurthubi dalam penjelasan tafsir surat Al-Waqi'ah ayat 79 diatas.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun menyentuh mushaf maka pendapat yang benar wajib berwudhu sebelum menyentuh mushaf sebagaimana pendapat jumhur (mayoritas ulama). Inilah pendapat yang diketahui dari para sahabat, seperti Sa’ad, Salman, dan Ibnu Umar” (Majmu’ Al Fatawa, 21/288)


*****

5.) Tidak Membawa Al-Qur'an ke Tempat yang Kotor dan Najis

Komite Tetap Kajian Ilmiah Dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia ditanya, "Salah seorang diantara kami membawa mushaf di sakunya dan kadang-kadang ia masuk ke dalam WC dengan itu. Apa hukumnya? Tolong beri kami faedah."
Jawaban:
الحمد لله وحده والصلاة والسلام على رسوله وآله وصحبه . وبعد .
“Membawa mushaf di dalam saku adalah boleh. Dan tidak boleh bagi seseorang untuk masuk ke dalam kamar mandi sambil membawa mushaf. Sebaliknya, hendaklah ia meletakkan mushaf itu di tempat yang layak sebagai bentuk pemuliaan terhadap Kitab Allah ta'ala dan penghormatan kepadanya. Akan tetapi, jika terpaksa untuk masuk ke dalam kamar mandi sambil membawanya karena takut ada yang mencurinya jika diletakkan di luar, maka boleh baginya untuk membawanya masuk karena darurat.”
[Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, soal II dari no. 2245]

Bagaimana dengan Handphone yang didalamnya terdapat aplikasi Al Qur’an?

Di dalam kitab Fiqh An Nawazil fil ‘Ibadah, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan pertama, tahun 1433 H, hal. 96-98, Syaikh Prof. Dr. Kholid bin ‘Ali Al Musyaiqih menjelaskan: “Handphone yang memiliki aplikasi Al Qur’an atau berupa soft file, tidak dihukumi seperti hukum mushaf Al Qur’an (di mana harus dalam keadaan bersuci ketika ingin menyentuhnya, -pen). Handphone seperti ini boleh disentuh meskipun tidak dalam keadaan thoharoh (bersuci). Begitu pula HP ini bisa dibawa masuk ke dalam kamar mandi karena aplikasi Al Qur’an di dalamnya tidaklah seperti mushaf. Ia hanya berupa aplikasi yang ketika dibuka barulah nampak huruf-hurufnya, ditambah dengan suara jika di play. Aplikasi Al Qur’an tersebut akan tampak, namun jika beralih ke aplikasi lainnya ia akan tertutup. Yang jelas aplikasi tersebut tidak terus ON (ada atau nyala). Bahkan dalam HP tersebut bukan hanya ada aplikasi Al Qur’an saja, namun juga aplikasi lainnya.

Ringkasnya, HP tersebut dihukumi seperti mushaf ketika aplikasinya dibuka dan ayat-ayat Al Qur’an terlihat. Namun lebih hati-hatinya, aplikasi Al Qur’an dalam HP tersebut tidak disentuh dalam keadaan tidak suci, cukup menyentuh bagian pinggir HP-nya saja. Wallahu a’lam.”


*****

6.) Memuliakan Al Qur’an dengan Meletakkan Mushaf Al Qur’an pada Tempat yang Selazimnya

Al Imam Al Qurthubi berkata dalam Tafsirnya, menukil ucapan At Turmudzi Al Hakim Abu Abdillah di dalam Nawadir Al Ushul:

“Diantara bentuk memuliakan Al-Qur’an adalah:
  • Apabila ia meletakan Al-Qur'an janganlah ia biarkan dalam keadaan berserakan;
  • Jangan meletakan sesuatu di atas Al-Quran berupa kitab-kitab ilmiyah atau selainya, sehingga posisinya lebih tinggi diatas Al-Qur'an.
  • Tidak Menulis Al-Qur'an di atas tanah dan dinding sebagaimana hal ini dilakukan pada masjid-masjid yang ada belakangan ini.”
Dari Abu Darda’ radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


إذا زخرفتم مساجدكم و حليتم مصاحفكم فاالدبار عليكم
“Jika kalian sudah bermegah-megahan dengan masjid kalian dan kalian telah menghias-hiasi mushaf kalian maka kebinasaan (akan menimpa) atas kalian.” [HR. Hakim]
Dari Muhammad bin Az-Zubair berkata aku mendengar Umar bin Abdul Aziz bercerita: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melewati sebuah tulisan di atas tanah, maka beliau berkata kepada seorang pemuda dari Hudzail: “Apa ini?”, Ia berkata: “Tulisan dari Kitab Allah yang ditulis orang Yahudi.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


لعن الله من فعل هذا لا تضعوا كتاب الله إلا موضعه
“Semoga laknat Allah menimpa orang yang melakukan perbuatan ini, janganlah kalian meletakkan Kitab Allah melainkan pada tempatnya.”
Muhammad bin Az Zubair berkata: “Umar bin Abdul Aziz pernah melihat anaknya menulis Al Qur’an pada sebuah dinding maka beliaupun memukulnya.” ( Al Jami' li Ahkam Al Qur’an Juz 1 hal 28-30, Dar Ihya At Turats Al Arabiy, Beirut Libanon 1405 H/1985 M ).

Bagaiman dengan kaligrafi/stiker Al Qur’an yang digantung, ditempel di dinding rumah atau kendaraan?

Di dalam kitab As-Sihr wa Asy-Syu’udzah, terbitan Darul Qosim, 67-69, Syaikh Prof. DR. Sholeh Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya:
“Apakah boleh seorang muslim menggantungkan ayat kursi, ayat lainnya atau berbagai macam do’a di lehernya atau di rumah, mobil, dan ruang kerjanya dalam rangka “ngalap berkah” dan meyakini bahwa dengan menggantungnya setan pun akan lari?”
Jawaban beliau hafizhahullah:
“Tidak boleh seorang muslim menggantungkan ayat kursi dan ayat Al Qur’an lainnya atau berbagai do’a yang syar’i di lehernya dengan tujuan untuk mengusir setan atau untuk menyembuhkan diri dari penyakit. Inilah pendapat yang tepat dari pendapat para ulama yang ada. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menggantungkan tamimah (jimat) apa pun bentuknya, dan ayat yang digantung semacam itu termasuk tamimah.”
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam Kitab At-Tauhid menjelaskan bahwa tamimah adalah segala sesuatu yang digantungkan pada anak-anak dengan tujuan untuk melindungi mereka dari ‘ain (pandangan hasad). Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya jampi-jampi, jimat, dan pelet adalah syirik”. [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud. (Hadits ini dishahihkan oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi)]
Sedangkan menggantungkan ayat Al-Qur’an di leher atau bagian badan lainnya tidak diperbolehkan menurut pendapat yang kuat dari pendapat para ulama. Alasannya karena keumuman larangan menggantungkan tamimah. Dan menggantungkan ayat seperti itu termasuk bagian dari tamimah.

Alasan kedua, larangan ini dimaksudkan untuk menutup pintu dari hal yang lebih parah yaitu menggantungkan jimat yang bukan dari ayat Al-Qur’an. Alasan ketiga, menggantungkan ayat semacam ini juga dapat melecehkan dan tidak menghormati ayat suci Al-Qur’an (seperti di bawa ke toilet dan tempat yang kotor apalagi anak-anak terkhusus bayi yg tidak diketahui secara pasti kapan pipis dan "pup" nya. pen)

Adapun menggantungkan ayat Al-Qur’an pada selain anggota badan seperti pada mobil, tembok, rumah, atau kantor dengan tujuan untuk “ngalap berkah” dan ada juga yang bertujuan untuk mengusir setan, maka saya tidak mengetahui kalau ada ulama yang membolehkannya. Perbuatan semacam ini termasuk menggunakan tamimah yang terlarang. Dan alasan kedua, perbuatan semacam ini termasuk pelecehan pada Al-Qur’an. Juga alasan ketiga, hal semacam ini tidak ada pendahulunya (tidak ada salafnya). Para ulama di masa silam tidaklah pernah menggantungkan ayat Al Qur’an di dinding untuk tujuan “ngalap berkah” atau menghindarkan diri dari bahaya. Yang mereka lakukan malah menghafalkan Al Qur’an di hati-hati mereka (bukan sekedar dipajang, pen). Mereka menulis ayat Al Qur’an di mushaf-mushaf, mereka mengamalkan dan mengajarkan pelajaran hukum dari berbagai ayat. Yang mereka lakukan adalah mentadabburi ayat Al-Qur’an sebagaimana perintah Allah.


*****


Bersambung ke Artikel Bagian Ke-2
ADAB TERHADAP AL-QUR'AN (Bagian Ke-2)

____________________________

Ditulis Oleh Ustadz Feri Zaid Gultom
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar

adv/http://halaqah.tauhid.or.id/|

Artikel Pilihan

artikel pilihan/carousel

Arsip Artikel Per Bulan



Facebook

fb/https://www.facebook.com/Tauhid.or.id



Kids

Konten khusus anak & download e-book




Course