Dalam Al-Qur`an Al-Karim, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي
نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ
وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ.
“Dan berdzikirlah
kepada Rabb-mu pada dirimu
dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak menjaharkan suara,
pada pagi dan petang, serta janganlah kamu termasuk sebagai orang-orang yang
lalai.” [Al-A’râf: 205]
Dalam ayat yang mulia ini, terdapat sejumlah adab dan etika
berkaitan dengan dzikir kepada Allah Ta’âlâ.Berikut uraiannya.
Pertama:
dalam ayat di atas, termaktub perintah untuk berdzikir kepada Allah. Telah
berlalu, pada tulisan sebelumnya, berbagai perintah untuk berdzikir beserta
keutamaan berdzikir kepada Allah dan besarnya anjuran dalam syariat untuk hal
tersebut. Seluruh hal tersebut memberikan pengertian akan pentingnya arti
berdzikir dalam kehidupan seorang hamba.
Kedua:
firman-Nya, “Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu pada
dirimu,” mengukir sebuah etika yang patut dipelihara dalam berdzikir
kepada llahi, yaitu dzikir hendaknya dalam diri dan tidak dijaharkan. Yang
demikian itu lebih mendekati pintu ikhlas, lebih patut dikabulkan, dan lebih
jauh dari kenistaan riya. Ibnul Qayyim rahimahullâh menyebut
dua penafsiran frasa “pada dirimu”:
- Bermakna dalam hatimu.
- Bermakna dengan lisanmu sebatas memperdengarkan diri sendiri.
Namun, penafsiran kedualah yang lebih tepat berdasarkan dalil
kelanjutan ayat “… dan dengan tidak menjaharkan suara,” sebagaimana
yang akan diterangkan.
Ketiga:
firman-Nya, “dengan merendahkan diri,” mengandung etika
indah yang patut mewarnai seluruh ibadah, yaitu hendaknya dzikir dilakukan
dengan merendahkan diri kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Hal yang
demikian lebih mendekati makna ibadah yang mengandung pengertian merendah
dan menghinakan diri serta tunduk dan bersimpuh di hadapan-Nya. Dengan
menjaga etika ini, seorang hamba akan lebih mewujudkan hakikat penghambaan dan
lebih mendekati kesempurnaan rasa tunduk kepada Allah Jallat
‘Azhamatuhu. Kapan saja seorang hamba berpijak di atas kaidah ini dalam
seluruh ibadahnya, niscaya ia akan semakin mengenal jati dirinya sebagai
seorang hamba yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan, sebagai seorang hamba
yang harus bersikap tawadhu dan membuang segala kecongkakan.
Keempat:
firman-Nya, “Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu … dan rasa
takut,”maksudnya adalah berdzikirlah kepada Rabb-mu dalam
keadaan khawatir bila terdapat kekurangan pada amalanmu dan dalam keadaan takut
bila amalanmu tertolak atau tidak diterima. Etika ini adalah ketentuan tetap
yang mesti dipelihara oleh setiap muslim dan muslimah dalam melaksanakan setiap
ibadah.
Sangatlah banyak keterangan dari Al-Qur`an dan hadits yang
mengingatkan etika agung yang banyak dilalaikan oleh sejumlah manusia ini. Di
antara keterangan tersebut adalah firman Allah Jalla Jalâluhu yang
menjelaskan keadaan orang-orang beriman yang bersegera menuju kebaikan,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ
مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ.
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ.
“Dan orang-orang yang
memberikan apa-apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena
mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat
kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” [Al-Mu`minûn: 60-61]
Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bertanya kepada
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallamtentang firman-Nya “Dan
orang-orang yang memberikan apa-apa yang telah mereka berikan dengan hati yang
takut …,” “Apakah yang dimaksud adalah orang yang berzina, mencuri,
dan meminum khamar?” Maka Nabi n menjawab,
لاَ يَا بِنْتَ
الصِّدِّيْقِ وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُوْمُ وَيُصَلِّي وَيَتَصَدَّقُ وَهُوَ
يَخَافُ أَنْ لاَ يُقْبَلُ مِنْهُ
“Bukan, wahai putri
Ash-Shiddiq, melainkan yang dimaksud adalah orang yang berpuasa, menunaikan
shalat, dan bersedekah, tetapi ia khawatir bila (amalan)nya tidak diterima.” [1]
Kelima:
firman-Nya, “dan dengan tidak menjaharkan suara,” juga
merupakan etika yang patut diperhatikan karena berdzikir dengan tidak
mengeraskan suara akan lebih mendekati khusyu’ serta lebih indah dalam benak
dan pikiran. Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa, dalam sebuah perjalanan,
terdapat sekelompok shahabat yang menjaharkan suaranya kala berdoa maka
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada mereka,
أَيُّهَا النَّاسُ
ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا
غَائِبًا، إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا، وَهُوَ مَعَكُمْ
“Wahai sekalian
manusia, kuasailah diri-diri kalian dan
rendahkanlah suara kalian karena sesungguhnya kalian tidaklah berdoa kepada
yang tuli tidak pula kepada yang tidak hadir. Sesungguhnya kalian berdoa kepada
Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat, dan Dia bersama dengan kalian.” [2]
Ath-Thabary rahimahullâh berkata, “Hadits
(di atas) menunjukkan makruhnya menjaharkan suara ketika berdoa dan berdzikir.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dari kalangan shahabat dan tabi’in.”[3]
Dalam hadits Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu,
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ
مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ
عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلَاةِ
“Ketahuilah bahwa
setiap orang di antara kalian bermunajat kepada Rabb-nya maka janganlah sekali-sekali sebagian di antara
kalian mengganggu sebagian yang lain, jangan pula sebagian di antara kalian
mengangkat suaranya terhadap sebagian yang lain dalam membaca,” -atau
beliau berkata-, “… dalam shalat.” [4]
Keenam:
hendaknya dzikir itu dilakukan dengan hati dan lisan, bukan dengan hati saja.
Etika ini dipetik dari firman-Nya “… dan dengan tidak menjaharkan
suara.” Menjaharkan sesuatu berarti mengangkat dan
mengumumkan suara. Oleh karena itu, ayat ini adalah nash bahwa dzikir itu
dilakukan dengan lisan, tetapi tidak dijaharkan. Demikian simpulan keterangan
sejumlah ahli tafsir mengenai ayat ini.
Ketujuh:
firman-Nya “… pada pagi dan petang,” menunjukkan keutamaan
berdzikir pada dua waktu ini: pagi dan petang. Keistimewaan berdzikir pada dua
waktu ini dikarenakan banyaknya ketenangan dan kesempatan pada waktu tersebut,
serta kebanyakan urusan kehidupan manusia berada di antara keduanya, sedang
para malaikat naik mengangkat amalan hamba pada dua waktu ini. Oleh karena itu,
di antara rahmat Allah dan kemurahan-Nya, kita dianjurkan untuk memperbanyak
dzikir pada pagi dan petang serta dijanjikan berbagai keutamaan dengan
mengamalkan berbagai dzikir yang dituntunkan pada dua waktu itu. Insya Allah,
pada tulisan yang akan datang, akan dijelaskan berbagai dzikir yang dituntunkan
untuk dibaca pada pagi dan petang.
Kedelapan:
pada akhir ayat diterangkan, “… serta janganlah kamu termasuk sebagai
orang-orang yang lalai,” yaitu janganlah engkau termasuk sebagai
orang-orang yang dilupakan dan dipalingkan dari berdzikir kepada Allah sebab
Allah Ta’âlâ telah mengingatkan,
وَلَا تَكُونُوا
كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ.
“Dan janganlah kalian
seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah maka Allah menjadikan mereka lupa
terhadap diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” [Al-Hasyr: 19]
Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan sifat
orang yang beriman,
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ
اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ
وَالْآصَالِ. رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ
وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ
الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ.
“Bertasbih kepada Allah
di masjid-masjid, yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut
nama-Nya di dalamnya, pada pagi dan petang, laki-laki
yang tidak dilalaikan oleh perniagaan tidak pula oleh jual beli dari berdzikir
kepada Allah, (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka
takut terhadap suatu hari yang (pada hari itu) hati dan penglihatan menjadi
guncang.” [An-Nûr: 36-37]
Allah Subhânahu mengabarkan bahaya
terhadap orang-orang yang berpaling dari dzikir,
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ
ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ.
“Barangsiapa yang
berpaling dari dzikir (Allah) Yang
Maha Pemurah (Al-Qur`an), Kami mengadakan syaithan (yang menyesatkan) baginya
maka syaithan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” [Az-Zukhruf: 36]
لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ
وَمَنْ يُعْرِضْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا.
“Agar Kami memberi
cobaan kepada mereka padanya. Dan barangsiapa yang berpaling dari dzikir
kepada Rabb-nya, niscaya dia
akan dimasukkan oleh-Nya ke dalam adzab yang amat berat.” [Al-Jinn: 17]
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ
ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
أَعْمَى.
“Dan barangsiapa yang
berpaling dari dzikir kepada-Ku, sesungguhnya penghidupan yang sempit baginya
dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” [Thâhâ: 124]
Seluruh nash ayat di atas memberikan pesan dan pelajaran agar
seorang hamba tidak pernah putus dari dzikir, walaupun dzikir yang dia lakukan
hanya sedikit.
Kesembilan:
dari keterangan-keterangan yang berkaitan dengan ayat yang tertera pada awal
pembahasan, nampaklah kesalahan yang sering dilakukan oleh sejumlah kaum
muslimin yang berdzikir secara berjamaah dan diiringi oleh suara keras.
Sesungguhnya hal tersebut adalah sebuah kemungkaran dan bid’ah dalam agama yang
tidak pernah dituntunkan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan
para shahabatnya. Etika yang tercatat dalam agama kita adalah apa-apa yang
telah kami terangkan. Tiada nukilan sah yang menunjukkan adanya syariat
berdzikir secara berjamaah, bahkan yang tercatat dalam perjalanan umat ini
adalah bahwa bid’ah pertama yang muncul dalam bab ibadah adalah bid’ah dzikir
berjama’ah yang dilakukan oleh sekelompok manusia di Kûfah pada masa Abdullah
bin Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu, sedang Abdullah bin Mas’ûd telah
mengingkari hal tersebut dan menganggapnya sebagai bid’ah dalam agama yang
tidak pernah diamalkan oleh Nabi dan para shahabatnya. Demikianlah keterangan
para ulama dalam buku-buku yang menjeiaskan tentang firqah-firqah (sekte-sekte)
yang menyimpang dari ajaran Islam yang lurus.
Semoga Allah Ta’âlâ memberi hidayah kepada
kita semua menuju jalan yang lurus serta menjaga kita dari fitnah dunia dan
kesesatan. Wallâhu A’lam.
[1] Dikeluarkan oleh Ahmad, At-Tirmidzy, Ibnu Jarîr,
Al-Hâkim, dan Al-Baghawy sebagaimana dalam Silsilah Al-Ahâdits
Ash-Shahîhah karya Al-Albâny.
[2] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari hadits Abu
Musa Al-Asy’ary radhiyallâhu ‘anhu.
[3] Sebagaimana dinukil dalam Fath Al-Bâry 9/189.
[4] Dikeluarkan oleh Ahmad 3/94, Abu Dawud no. 1332,
An-Nasâ`iy dalam Al-Kubrâ`5/32, Ibnu Khuzaimah no. 1162, ‘Abd bin
Humaid no. 883, Al-Hâkim 1/454, Al-Baihaqy 3/11 dan dalam Syu’ab Al-Imân 2/543,
serta Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhîd 23/318. Dianggap
shahih di atas syarat Asy-Syaikhain oleh Syaikh Muqbil
sebagaimana dalam Ash-Shahîh Al-Musnad Mimmâ Laisa Fî Ash-Shahîhain.
------------------------------------------------
------------------------------------------------