Ikhlas bukan sebuah kata asing di telinga
kita. Kita sering mendengarnya. Tentu walaupun kata serapan ikhlas sudah
menjadi bagian dari bahasa Indonesia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ikhlas
maknanya adalah bersih hati; tulus hati. Mengikhlaskan memberikan atau
menyerahkan dengan tulus hati; merelakan : Kami telah mengikhlaskan
kepergiannya; Dia telah mengikhlaskan tanahnya untuk pembangunan rumah sakit.
Dari pengertian di atas, ikhlas dalam Bahasa
Indonesia bermakna tulus; rela; tanpa pamrih.
Hanya saja, ikhlas yang menjadi pembahasan di
sini adalah istilah syar’i sehingga harus dipahami pula dengan maknanya yang
syar’i agar tidak terjadi kesalahpahaman akan maknanya yang dimaksud.
Ikhlas (الإخلاص) tersusun dari huruf asal kha
(خ),
lam (ل) dan
shad (ص) yang berarti bersih dan
murninya sesuatu.
وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ
“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” [An Nahl : 66]
أخلص لله دينه (akhlasha lillahi diinahu) maknanya adalah
memurnikannya –memurnikan agama hanya untuk Allah-.
Adapun
makna Ikhlas menurut istilah syar’i, Al Imam
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
إفراد الحق سبحانه بالقصد في الطاعة. وقيل: تصفية الفعل عن ملاحظة المخلوقين
“Mengesakan tujuan ketaatan hanya untuk Yang Maha Benar. Dan ada yang mengatakan Membersihkan perbuatan dari perhatiannya makhluk” [Madarijus Salikin 2/91]
Maka,
ikhlas yang diinginkan oleh Allah ta’ala dan diterimanya amalan seseorang
sangat tergantung padanya adalah : Mengesakan Allah dan menjadikanNya hanya
satu-satunya yang menjadi tujuan dan maksud di dalam seluruh ketaatan,
membersihkan dan memurnikannya dari tujuan untuk dipuji dan disanjung makhluk
dan hanya memaksudkannya untuk ber-taqarrub mendekatkan diri kepada Allah ta’ala
yang tiada sekutu bagiNya.
Karena itu
para ulama sepakat bahwasanya ikhlas adalah amalan hati yang paling penting,
pembeda antara tauhid dan kesyirikan. Amalan seseorang tidak akan diterima
kecuali dilakukan dengan keikhlasan. Allah memerintahkan hamba-hambanya untuk
ikhlas di dalam banyak ayat.
Allah ta’ala berfirman:
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
“Maka beribadahlah kepada Allah dengan mengikhlashkan agama hanya untukNya” [Az Zumar: 2]Dan Allah ta’ala berfirman :
قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama hanya untukNya” [Az Zumar: 11]
Dan Allah ta’ala berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar mereka beribadah hanya kepada Allah dengan mengikhlaskan agama hanya untukNya” [Al Bayyinah : 5]
Maka
perkara terpenting bagi seorang seorang hamba ketika dia beramal ibadah adalah
memperbaiki dan membenahi apa yang menjadi niat dia ketika beribadah tersebut.
Apakah niatnya ikhlas karena Allah, ataukah karena selain Allah? Seseorang itu
akan mendapatkan ganjaran dari amalannya sesuai apa yang menjadi niatnya. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( إنّمَا الأَعْمَالُ بالنِّيّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امرِىءٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هجرته إلى الله ورسوله ، فهجرته إلى الله ورسوله ، ومن كانت هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصيبُهَا ، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكَحُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَرَ إِلَيْه ))
“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.” [Muttafaqun ‘alaihi]Ketika seseorang itu beramal ibadah dengan niat ikhlas mengharapkan keridhaan Allah, mematuhi perintah Allah dan RasulNya, maka dia pun akan mendapatkan keridhoan Allah Ta’ala. Akan tetapi ketika dia beramal ibadah dengan niat mendapatkan dunia maka mustahil dia akan mendapatkan ridho Allah. Balasan terbesar yang bisa dia dapatkan adalah apa yang menjadi niat dan tujuannya dari perkara dunia.
Dengan
kata lain, seseorang yang beramal akan tetapi tidak dengan ikhlas, maka Allah
tidak akan menerima amalannya.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( قَالَ الله تَعَالَى : أنَا أغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ . رواه ((مسلم
“Aku sama sekali tidak butuh terhadap amalan-amalan kesyirikan. Barang siapa yang beramal dan menyekutukan Aku dengan selainKu, Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya.” [HR. Muslim]
Maka hakikat keikhlasan yang merupakan
pilar utama ibadah dan tidak akan diterima ibadah tanpanya adalah seorang hamba
itu beramal karena Allah, mencari keridhoanNya, melaksanakan perintahNya, untuk
menggapai pahala dari Allah dan terhindar dari adzab Allah.
Kalau kita mencermati makna dan hakikat
keikhlasan ini, kita akan menyadari kesalahkaprahan mereka yang mengatakan
ikhlas itu tulus tanpa pamrih, termasuk di dalam ibadah. Menurut mereka ikhlas
ketika beribadah itu adalah ketika ibadah itu bukan karena pamrih mengharapkan
pahala dari Allah atau takut akan murka dan adzab Allah.
Ini merupakan kesalahpahaman dan
kesalahkaprahan yang sangat besar di dalam beribadah.
Allah Ta’ala mensifati ibadahnya para nabi
dan rasul dan mereka adalah orang-orang yang paling ikhlas dalam beribadah.
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami.” [Al Anbiya : 90]Mereka para nabi dan rasul berdoa dan beribadah kepada Allah dalam keadaan harap dan cemas. Mengharapkan pahala dari Allah dan cemas akan adzab dan sangsi Allah ta’ala.
LAWAN IKHLAS
Yang merupakan lawan dari keikhlasan adalah syirik, riya, sum’ah dan
ujub. Yang dimaksudkan dengan kesyirikan di sini adalah syirik besar yang
mengeluarkan seseorang dari agama Islam, yaitu memalingkan suatu ibadah kepada
selain Allah. Seperti beribadah kepada berhala, kuburan, batu-batu, bahkan
malaikat dan nabi-nabi.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa beribadah kepada sesembahan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” [Al Mu’minun : 117]
Riya’ adalah seseorang yang beramal karena berharap dilihat oleh orang
lain dan memujinya. Adapun Sum’ah adalah seseorang yang berharap amalannya
didengar oleh orang lain dan memujinya. Perbedaan antara riya’ dan sum’ah
adalah riya’ berkaitan dengan penglihatan dan sum’ah berkaitan dengan
pendengaran. Tetapi intinya sama yaitu berharap agar orang lain mengetahui
amalannya dan memuji serta menyanjungnya karena amalan yang dia lakukan.
Ujub adalah seorang itu merasa hebat dan kagum akan diri sendiri. Maka
dari sisi ini, ujub mirip dengan riya’. Perbedaannya adalah riya’ kaitannya
dengan orang lain yang memuji dan menyanjung dirinya, adapun ujub adalah
kaitannya dengan dirinya sendiri yang merasa kagum dan menganggap dirinya
hebat.
Riya’ adalah penyakit yang sangat berbahaya. Karenanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mengkhawatirkan penyakit ini menimpa para
sahabat beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik ashgor (kecil).” Para sahabat bertanya, “Apa syirik ashgor?”. Beliau menjawab, “Riya’”. [HR. Ahmad]
Di antara bentuk bahayanya, riya’ adalah sesuatu yang
sangat halus, samar dan sulit untuk dideteksi, bahkan lebih samar daripada
rayapannya semut. Karena itu kita dapatkan bagaimana para salaf mereka berjuang
keras untuk meluruskan dan memperbaiki niat-niat mereka untuk senantiasa ikhlas
kepada Allah Ta’ala dan selamat dari noda-noda riya’.
At Tusturi ditanya, “Apa yang paling susah atas jiwa?”
Beliau menjawab, “Keikhlasan, karena jiwa tidak memlikinya.” Sufyan Ats Tsauri berkata, “Tidaklah aku memperbaiki
sesuatu yang lebih susah dari pada niatku, karena dia selalu berbolak-balik.”
Di antara bahaya riya' adalah akan merusak amalan
seseorang. Amalan yang seharusnya bisa menjadi sebab untuk mencapai ridho Allah
justru berbalik menjadi perkara yang menjerumuskannya ke jurang kebinasaan
dengan sebab riya’ dan ketidakikhlasan dalam beramal. Perhatikanlah kisah
berikut ini:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ، وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ، وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
"Sesungguhnya manusia yang pertama kali dihisap pada hari Kiamat ialah seseorang yang mati syahid, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, lantas Dia bertanya: 'Apa yang telah kamu lakukan di dunia wahai hamba-Ku? Dia menjawab: 'Saya berjuang dan berperang demi Engkau ya Allah sehingga saya mati syahid.' Allah berfirman: 'Dusta kamu, sebenarnya kamu berperang bukan karena untuk-Ku, melainkan agar kamu disebut sebagai orang yang berani. Kini kamu telah menyandang gelar tersebut.' Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al-Qur'an dan mengajarkannya, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, Allah bertanya: 'Apa yang telah kamu perbuat? ' Dia menjawab, 'Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca Al Qur'an demi Engkau.' Allah berfirman: 'Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Qur'an agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu, kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Dan seorang laki-laki yang di beri keluasan rizki oleh Allah, kemudian dia menginfakkan hartanya semua, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas.' Allah bertanya: 'Apa yang telah kamu perbuat dengannya? ' dia menjawab, 'Saya tidak meninggalkannya sedikit pun melainkan saya infakkan harta benda tersebut di jalan yang Engkau ridlai." Allah berfirman: 'Dusta kamu, akan tetapi kamu melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu.' Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka." [HR. Muslim]
Perhatikan amalan-amalan yang mereka lakukan! Jihad, tholabul ilmi, dan
sedekah adalah amalan-amalan yang luar biasa dengan ganjaran yang luar biasa
pula. Diharapkan amalan tersebut adalah sebab utama seseorang mendapatkan ridha
Allah. Ironisnya, justru amalan-amalan tersebut menjadi sebab para pelakunya
dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Kenapa? Karena amalan-amalan tersebut
dikerjakan bukan karena ikhlas kepada Allah ta’ala.
Menyadari begitu bahayanya riya’ dan begitu susahnya untuk terlepas
darinya sudah seharusnyalah seorang hamba itu senantiasa berdoa dan memohon
kepada Allah agar terlepas dan terhindar dari jerat-jerat kesyirikan dan
riya’. Tanpa pertolongan dan taufik dari
Allah, mustahil seseorang itu bisa selamat darinya. Karena itu, di antara doa
yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah doa memohon
ampunan dan perlindungan dari kesyirikan baik yang disadari maupun yang tidak
disadari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Bakar Ash
Shiddiq:
" وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ ، لَلشِّرْكُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ ، أَلا أَدُلُّكَ عَلَى شَيْءٍ إِذَا قُلْتَهُ ذَهَبَ عَنْكَ قَلِيلُهُ وَكَثِيرُهُ قُلِ "
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh kesyirikan itu lebih samar dari rayapan semut. Maukah engkau aku ajarkan sesuatu, jika engkau ucapkan maka hilanglah kesyirikan tersebut itu darimu, banyak maupun sedikit. Katakanlah:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Wahai Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari melakukan kesyirikan kepadaMu dalam keadaan aku mengetahuinya, dan aku memohon ampun kepadaMu terhadap apa yang tidak aku ketahui.” [HR. Bukhori di Adabul Mufrod dan dishohihkan Al Albany]
Wallahu
ta’ala a’lam bishshawab.