Oleh banyak media barat, kaum wanita muslimah banyak digambarkan dalam perspektif yang negatif. Mereka adalah kaum yang tertindas, tidak mendapatkan hak pendidikan, selalu menjadi bulan-bulanan kekerasan dalam rumah tangga, dan gambaran buruk lainnya.
Akan tetapi, apakah benar Islam telah memarginalkan kaum wanita? Meminggirkan mereka sehingga tak punya peran dan kedudukan sama sekali di dalam membangun muslim society, masyarakat Islami yang membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi kaum muslimin di dunia dan akhirat?
Tentu saja ini adalah tuduhan yang tidak berdasar. Di dalam Islam wanita benar-benar mendapatkan kedudukan yang mulia. Bahkan kedudukan kaum wanita dalam beberapa aspek itu lebih tinggi daripada kaum lelaki.
Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini, kita akan membahas apa saja peran yang dapat dilakukan oleh seorang wanita muslimah untuk perkembangan peradaban masyarakatnya.
**********
PERAN SEBAGAI IBU
Di
dalam Al Qur’an, Allah telah ingatkan tentang besarnya peran kaum wanita, dalam
hal ini para ibu, dalam melahirkan generasi Islam. Bahkan tanpa kehadiran
seorang ibu, kita tidak akan lahir di muka bumi ini. Allah
berfirman,
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” [Luqman: 14]Allah juga berfirman,
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula), mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” [Al Ahqaf: 15]Karena besarnya peran kaum ibu yang tidak bisa dipegang oleh para bapak ini, maka wajarlah bila Allah meninggikan kedudukan mereka tiga kali daripada seorang bapak. Hal ini ditunjukkan di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah. Beliau berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: «أُمُّكَ» قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: «ثُمَّ أُمُّكَ» قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: «ثُمَّ أُمُّكَ» قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: «ثُمَّ أَبُوكَ» (رواه البخاري و مسلم
Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah, siapa manusia yang lebih berhak untuk saya pergauli dengan baik?” Jawab Nabi, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawab Beliau, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Lalu ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Beliau jawab, “Ayahmu.” [HR. Al Bukhari dan Muslim]“Berkata Ibnu Batthal: Makna dari hadits ini bahwa ibu berhak untuk mendapatkan perlakuan baik tiga kali daripada perlakuan baik kepada bapak. Hal ini karena tiga perkara:
- Karena kesulitan ketika mengandung
- Kesulitan karena melahirkan
- Kesulitan ketika menyusui
Syariat Islam juga telah memberikan tanggung jawab kepada wanita terhadap anaknya sejak dini, dimulai dari masa kehamilan, kelahiran, pengasuhan hingga masa penyusuan. Aktivitas ini dapat dikatakan sebagai aktivitas wanita yang paling utama dan mulia, dalam kapasitas kewanitaannya. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam telah bersabda,
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَد عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبْوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah (suci). Ibu bapaknyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.” [HR. Al Bukhari]Jadi ibu ikut berperan memberikan pendidikan anak. Bahkan kalau diperhatikan, peran ibu membentuk karakter si anak itu lebih dominan daripada peran ayah yang lebih banyak di luar mencari nafkah.
Kisah Para Ulama dan Ibu Mereka
Agar
lebih memahami peran ibu terhadap pendidikan anak-anak mereka, marilah kita
bacakan dan renungkan bagaimana peran ibu para ulama kaum muslimin dalam
mendidik anak-anak mereka sehingga mereka bisa menjadi para imam, ulama besar
kaum muslimin.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Uwais, “Aku mendengar pamanku, Malik bin Anas, bercerita, ‘Dulu, sewaktu aku kecil, ibuku biasa memakaikanku pakaian dan mengenakan imamah untukku. Kemudian ia mengantarkanku kepada Rabi’ah bin Abi Abdirrahman. Ibuku mengatakan, ‘Anakku, datanglah ke majelisnya Rabi’ah. Pelajari akhlak dan adabnya sebelum engkau mempelajari hadits dan fikih darinya’.”
Ayah Imam asy-Syafi’i wafat dalam usia muda. Ibunyalah yang membesarkan, mendidik, dan memperhatikannya hingga kemudian Muhammad bin Idris asy-Syafi’i menjadi seorang imam besar. Ibunya membawa Muhammad kecil hijrah dari Gaza menuju Mekah. Di Mekah, ia mempelajari Alquran dan berhasil menghafalkannya saat berusia 7 tahun. Kemudian sang ibu mengirim anaknya ke pedesaan yang bahasa Arabnya masih murni. Sehingga bahasa Arab pemuda Quraisy ini pun jadi tertata dan fasih. Ibu Al Imam Asy Syafi’I tidak pernah meninggalkan urusan berlalu begitu saja, akan tetapi dipenuhi dengan kedisiplinan dalam mendidik. Imam Malik akhirnya memperbolehkan beliau berfatwa dalam usia baru lima belas tahun.
Ibu Imam Ahmad bernama Shafiyah binti Maimunah binti Abdul Malik. Ayahnya wafat di usia muda, 30 tahun. Ibunya pun hidup menjanda dan enggan menikah lagi, walaupun usianya belum mencapai 30 tahun. Ia hanya ingin fokus memenuhi kehidupannya untuk anaknya dengan kehidupan yang baik. Maka jadilah Imam Ahmad sebagai ulama Muwahhidin, Imam Ahlussunnah Wal Jama’ah, beliaulah imam Ahmad rahimahullah.
Imam Al Bukhari tumbuh besar sebagai seorang yatim. Ibunyalah yang mengasuhnya. Ibunya mendidiknya dengan pendidikan yang terbaik.Mengurus keperluannya, mendoakannya, dan memotivasinya untuk belajar dan berbuat baik. Saat berusia 16 tahun, ibunya mengajak Imam al-Bukhari bersafar ke Mekah.Kemudian meninggalkan putranya di negeri haram tersebut. Ibunya pun meninggalkan Imam Al Bukhari agar putranya mengambil ilmu dengan lisan orang-orang Makkah, maka kelak Al Bukhari pun kembali ke negerinya dalam keadaan dia sudah menjadi ulama besar ahli hadits.
**********
PERAN KEDUA: WANITA SEBAGAI ISTRI
Allah telah menciptakan wanita sebagai pasangan pria. Di mana melalui ikatan pernikahan mereka akan mendapatkan ketentraman, kasih dan sayang. Allah berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya di dalamnya terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mau berpikir.” [Ar-Rum: 21]
Sebagai istri, wanita adalah pendamping bagi suaminya. Kepadanya melekat
sejumlah kewajiban yang harus ditunaikan untuk suaminya. Di antaranya adalah
hendaknya dia menaati suaminya, selama apa yang diperintahkan oleh suami tidak
bertentangan dengan syariat Allah.
Bahkan ketaatannya kepada sang suami merupakan salah satu kunci baginya untuk masuk ke dalam surga. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
Bertanggung Jawab atas Penjagaan Rumah Suaminya
Seorang wanita juga hendaknya menjaga amanat yang telah diberikan oleh suaminya
untuk menjaga rumah dan merawat anak-anak mereka. Amanat ini kelak akan
dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah subhanahu wata’ala. Rasulullah
shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,Bahkan ketaatannya kepada sang suami merupakan salah satu kunci baginya untuk masuk ke dalam surga. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيْلَ لَهَا اُدْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa di bulan (Ramadhan), dan menjaga kehormatannya serta menaati suaminya. Maka dikatakan kepadanya: “Masuklah kamu ke dalam jannah dari pintu mana saja yang diinginkan.”Namun apabila keinginan suami bertentangan dengan syariat Allah, maka dia tidak boleh menaati perintah tersebut. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعَ وَالطَّاعَةَ فِيْمَا أَحَبَّ أَوْ كَرِهَ ، إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإْنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat dalam perkara yang ia sukai maupun ia benci, kecuali bila diperintah bermaksiat. Apabila diperintah bermaksiat, maka tidak boleh mendengar dan menaatinya.” [HR. Al Bukhari]
Bertanggung Jawab atas Penjagaan Rumah Suaminya
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Seorang wanita adalah pemimpin di rumah tangga suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya itu.” [HR. Al Bukhari]
Memberi Dukungan kepada Suaminya dalam Ketaatan
Seorang istri juga berperan memberi dukungan kepada sang suami untuk selalu taat kepada Allah, menenangkan hati suami apabila dia mendapatkan ujian dalam menjalankan syariat Allah.
Sesungguhnya
ada pelajaran yang sangat berharga dari Khadijah radhiyallahu ‘anha di mana
beliau mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentramkan rasa takut yang
dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Malaikat Jibril turun
kepadanya dengan membawa wahyu di gua Hira’ untuk pertama kalinya.
Menyenangkan Suami
PERAN DALAM MEMPELAJARI DAN MENYEBARKAN ILMU
Wanita muslimah wajib mempelajari setiap perkara yang dibutuhkannya dari urusan-urusan agamanya dan kewajiban-kewajiban secara khusus. Allah ta’ala berfirman,
Oleh karena itu hendaknya para wanita bersemangat dalam mempelajari agama. Para sahabat wanita pun dikenal dengan semangat mereka dalam mempelajari ilmu agama. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz salah seorang ulama besar Saudi Arabia pernah ditanya, “Apa pendapat Anda tentang wanita dan kegiatan dakwah untuk mengajak ke jalan Allah?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada Khadijah dalam keadaan seluruh persendiannya gemetar, seraya bersabda,
زَمِّلُوْنِي زَمِّلُوْنِي… لَقَدْ خَشِيْتُ عَلَىَّ نَفْسِيْ، فَقَالَتْ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: كَلاَّ وَاللهِ مَا يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الَكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُوْمَ وَتُقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ.
“Selimuti aku! Selimuti aku! Sungguh aku mengkhawatirkan diriku.” Maka Khadijah berkata, “Tidak. Demi Allah, Allah tidak akan membuatmu menjadi hina sama sekali, karena engkau selalu menjalin hubungan silaturahmi, menanggung beban, memberikan bantuan kepada orang yang tak punya, memuliakan tamu dan memberikan pertolongan kepada orang yang berada di pihak yang benar.” [HR. Al Bukhari]
Menyenangkan Suami
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: «الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ» رواه النسائي و قال الالباني حديث حسن صحيح.
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” [HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih]
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا قَدِمَ أَحَدُكُمْ لَيْلًا، فَلَا يَأْتِيَنَّ أَهْلَهُ طُرُوقًا، حَتَّى تَسْتَحِدَّ الْمُغِيبَةُ، وَتَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ»، رواه مسلم
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian pulang malam, maka janganlah dia pulang kepada istrinya dengan terburu-buru. Biarkan istrinya bersiap-siap menyambut kepulangannya dan menyisir rambutnya terlebih dahulu.” [HR. Muslim]
**********
PERAN DALAM MEMPELAJARI DAN MENYEBARKAN ILMU
Wanita muslimah wajib mempelajari setiap perkara yang dibutuhkannya dari urusan-urusan agamanya dan kewajiban-kewajiban secara khusus. Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” [Az Zumar: 9]Dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu ’anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan baginya, maka dia akan dipahamkan tentang agamanya.” [HR. Al Bukhari dan Muslim]
Oleh karena itu hendaknya para wanita bersemangat dalam mempelajari agama. Para sahabat wanita pun dikenal dengan semangat mereka dalam mempelajari ilmu agama. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
نِعْمَ النِّسَاءِ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ
“Sebaik-baik perempuan adalah para perempuan Anshar. Tidaklah rasa malu menghalangi mereka untuk tafaqquh (memperdalam pemahaman) dalam agama.” [HR. Muslim]
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau berkata,
جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحِي مِنْ الْحَقِّ فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ غُسْلٌ إِذَا احْتَلَمَتْ فَقَالَ نَعَمْ إِذَا رَأَتْ الْمَاءَ
“Ummu Sulaim mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidaklah malu terhadap kebenaran. Apakah perempuan wajib mandi bila ia mimpi basah?’ Beliau menjawab, Iya, bila melihat air.’ [HR. Al Bukhari dan Muslim]Dari hadits Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu ’anhu, ia berkata,
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَّ فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ذَهَبَ الرِّجَالُ بِحَدِيْثِكَ فَاجْعَلْ لَنَا مِنْ نَفْسِكَ يَوْمًا نَأْتِيْكَ فِيْهِ تَعَلَّمْنَا مِمَّا عَلَّمَكَ اللهُ. فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِجْتَمِعْنَ فِي يَوْمٍ كَذَا وَكَذَا فِي مَكَانٍ كَذَا فَأَتَاهُنَّ فَعَلَّمَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَهُ اللهُ
“Seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, lalu ia berkata: Wahai rasulullah, para lelaki (sahabat) telah pergi mendengarkan penyampaianmu, maka tolong jadwalkanlah bagi kami satu hari, yang kami bisa datang kepadamu untuk mempelajari ilmu yang Allah mengajarkannya kepadamu. Maka Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, “Berkumpullah kalian di hari ini dan itu, di tempat ini. Maka mereka pun datang dan Beliau mengajarkan ilmu yang diajarkan oleh Allah kepadanya.” [HR. Al Bukhari dan Muslim]Betapa banyak dari kalangan wanita yang telah disaksikan keagungannya dalam sejarah Islam, disebabkan mereka begitu bersemangat dalam menimba ilmu agama. Az Zuhri mengatakan,
“Jika dikumpulkan ilmu ‘Aisyah dibandingkan ilmu seluruh wanita, niscaya ilmu ‘Aisyah lebih utama.”Demikian juga wanita memiliki tanggung jawab pula untuk berdakwah, mengajarkan dan menyebarkan ilmu kepada manusia.
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz salah seorang ulama besar Saudi Arabia pernah ditanya, “Apa pendapat Anda tentang wanita dan kegiatan dakwah untuk mengajak ke jalan Allah?”
Jawaban:
Kedudukan wanita sebagaimana kedudukan kaum laki-laki yg mempunyai kewajiban berdakwah mengajak ke jalan Allah dan menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, karena teks Al Qur’an dan Sunnah yang suci menunjukkan hal tersebut, sementara pendapat ulama dalam masalah tersebut juga sangat jelas.
Maka seorang wanita berkewajiban untuk berdakwah ke jalan Allah, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran dengan adab yang Islami yang dituntut juga dari seorang lelaki. Ia juga tidak berpaling dari dakwah ke jalan Allah karena putus asa dan tidak sabar, akibat hinaan atau cacian dari beberapa orang.
Akan tetapi ia harus bertahan dan bersabar walaupun ia melihat beberapa orang yang memperlihatkan suatu ejekan. Hendaklah ia menjaga perkara-perkara lain yakni menjadi suri tauladan dalam menjauhkan diri dari hal yang haram, menutup diri dari pandangan laki-laki selain mahram dan menjaukan diri dari ikhtilath.
Lebih dari itu hendaknya dalam dakwah ia memerhatikan penjagaan diri dari segala yang diingkarinya. Saat berdakwah kepada kaum lelaki, hendaklah ia berdakwah dalam keadaan memakai hijab dan tidak berduaan dengan salah seorang dari mereka.
Apabila berdakwah kepada kaum wanita, hendaklah ia berdakwah dengan hikmah dan menjadi orang yang bersih akhlak dan perilakunya sehingga mereka tidak menentang dan berkata, “Mengapa ia tidak memulai perilaku yang baik dari diri sendiri.” Hendaklah ia menjauhi pakaian yang bisa menimbulkan fitnah bagi orang lain dan menjauhi segala perkara yang bisa menimbulkan fitnah, dari mulai menampakkan keindahan tubuh, lemah lembut dalam berbicara dan segala yg diingkari dalam dakwahnya.
Justru ia harus berdakwah ke jalan Allah dengan tetap menjaga kondisi yg tidak membahayakan agama dan menodai nama baik sendiri.
[Majmu’ Fatawa wa Rasail Mutanawwi’ah, Asy Syaikh Bin Baz, 4/240]
Kedudukan wanita sebagaimana kedudukan kaum laki-laki yg mempunyai kewajiban berdakwah mengajak ke jalan Allah dan menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, karena teks Al Qur’an dan Sunnah yang suci menunjukkan hal tersebut, sementara pendapat ulama dalam masalah tersebut juga sangat jelas.
Maka seorang wanita berkewajiban untuk berdakwah ke jalan Allah, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran dengan adab yang Islami yang dituntut juga dari seorang lelaki. Ia juga tidak berpaling dari dakwah ke jalan Allah karena putus asa dan tidak sabar, akibat hinaan atau cacian dari beberapa orang.
Akan tetapi ia harus bertahan dan bersabar walaupun ia melihat beberapa orang yang memperlihatkan suatu ejekan. Hendaklah ia menjaga perkara-perkara lain yakni menjadi suri tauladan dalam menjauhkan diri dari hal yang haram, menutup diri dari pandangan laki-laki selain mahram dan menjaukan diri dari ikhtilath.
Lebih dari itu hendaknya dalam dakwah ia memerhatikan penjagaan diri dari segala yang diingkarinya. Saat berdakwah kepada kaum lelaki, hendaklah ia berdakwah dalam keadaan memakai hijab dan tidak berduaan dengan salah seorang dari mereka.
Apabila berdakwah kepada kaum wanita, hendaklah ia berdakwah dengan hikmah dan menjadi orang yang bersih akhlak dan perilakunya sehingga mereka tidak menentang dan berkata, “Mengapa ia tidak memulai perilaku yang baik dari diri sendiri.” Hendaklah ia menjauhi pakaian yang bisa menimbulkan fitnah bagi orang lain dan menjauhi segala perkara yang bisa menimbulkan fitnah, dari mulai menampakkan keindahan tubuh, lemah lembut dalam berbicara dan segala yg diingkari dalam dakwahnya.
Justru ia harus berdakwah ke jalan Allah dengan tetap menjaga kondisi yg tidak membahayakan agama dan menodai nama baik sendiri.
[Majmu’ Fatawa wa Rasail Mutanawwi’ah, Asy Syaikh Bin Baz, 4/240]
**********
PERAN DALAM MENGISI POSISI-POSISI YANG PANTAS BAGI WANITA
Pada asalnya, disyariatkan bagi para wanita untuk tetap berada di rumah-rumah mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Pada asalnya, disyariatkan bagi para wanita untuk tetap berada di rumah-rumah mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan sebagaimana dandan ala jahiliah terdahulu” [Al Ahzab: 33]
Hanya
saja ketika dia membutuhkan pekerjaan maka ada beberapa persyaratan syar’i yang
hendaknya dia perhatikan.
Asy Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan,
Asy Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan,
“Tidak
mengapa seorang wanita bekerja di luar rumah dengan batasan-batasan berikut:
- Pekerjaan tersebut memang dibutuhkan atau masyarakat membutuhkan peran sertanya karena tidak ada dari kaum pria yang bisa menggantikannya.
- Pekerjaan tersebut rumah dilakukan setelah pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga telah diselesaikan karena pekerjaan rumah tersebut itulah tugas utamanya.
- Pekerjaan tersebut di lingkungan khusus para wanita, tidak bercampur baur dengan pria. Seperti misalnya mengajari para wanita, menjadi dokter dan perawat khusus untuk para wanita, terpisah dari laki-laki.”
Demikianlah beberapa peran wanita muslimah dalam membangun peradaban umat, yang menunjukkan bahwa andil mereka sangatlah penting dan demikian berharga bagi Islam dan kaum muslimin.
Wallahu a’lam bisshawab.
__________________________