Pentingnya
Ikhlas Dalam Beramal
Allah subhanahu wa ta’ala telah menciptakan jin dan manusia agar mereka beribadah
hanya kepada-Nya.
[وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ [الذاريات : 56
“Sungguh telah Kami ciptakan jin dan manusia agar mereka beribadah hanya kepadaKu.” [Adz Dzariyat : 56]
Begitu juga
Allah memerintahkan kepada mereka agar mengikhlaskan ibadah dan seluruh perkara
agama mereka hanya kepada Allah.
[وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ [البينة : 5
“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama hanya untukNya.” [Al Bayyinah: 5]
[إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ [الزمر : 2-3
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah lah agama yang bersih (dari syirik)." [Az Zumar: 2-3]
Ikhlas adalah memperuntukkan amal ibadah dan mendekatkan diri dengan amalan ibadah
tersebut hanya kepada Allah ta’ala semata, bukan karena riya’ (ingin dilihat),
sum’ah (ingin didengar), juga tidak mencari secuil dari dunia yang fana. Dia
hanya mengharapkan pahala dari Allah, khawatir akan hukumanNya dan berharap
ridha-Nya.
Maka
hakikat ikhlas adalah seorang hamba menginginkan dari amal-amal ibadahnya
adalah untuk mendekatkan diri hanya kepada Allah ta’ala.
Ikhlas merupakan ruh dan unsur terpenting dari suatu amalan. Tanpa keikhlasan maka
jerih payah di dalam beramal hanyalah menjadi debu yang berterbangan.
[وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا [الفرقان : 23
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” [Al Furqon: 23]Maka wajib bagi seorang muslim untuk mengikhlaskan seluruh amalannya hanya untuk Allah ta’ala dan tidak menginginkan pujian dan sanjungan orang lain dalam beramal atau perkara-perkara duniawi lainnya. Dia hanya berharap –dengan amalan-amalannya tersebut- wajah Allah ta’ala.
Buah
Keikhlasan
Dengan
keikhlasan di dalam beramal akan menghasilkan buah-buah yang terpuji dan
manfaat-manfaat yang sangat hebat dan dahsyat. Di antara buah keikhlasan adalah :
- Kebaikan di dunia dan akhirat.
- Ikhlas adalah sebab terbesar diterimanya amalan.
- Ikhlas mendatangkan kecintaan Allah kepada hamba-Nya, kecintaan malaikat dan dia akan diterima di muka bumi ini.
- Ikhlas merupakan pondasi dan ruh dari suatu amalan.
- Ikhlas membuahkan pahala yang besar dan ganjaran yang dahsyat dengan amalan yang ringan dan doa yang sedikit.
- Setiap amalan yang diniatkan mengharap wajah Allah yang dilakukan oleh seorang yang ikhlas akan dicatat (sebagai amalan sholeh) walaupun amalan tersebut adalah amalan yang mubah.
- Setiap amalan yang diniatkan oleh seorang yang ikhlas akan ditulis sebagai kebaikan walaupun dia tidak jadi melakukannya.
- Akan ditolong dari kesulitan-kesulitan di dunia dan akhirat adalah di antara buah keikhlasan.
- Ikhlas adalah sebab bertambahnya hidayah.
- Ikhlas akan menyelamatkan dari adzab akhirat.
Ini adalah
sebagian dari buah-buah keikhlasan yang mana dengannya cukuplah bagi kita untuk
memahami betapa pentingnya ikhlas yang menjadi pondasi setiap amalan.
Bahaya Riya
Riya’ adalah penyakit yang sangat berbahaya. Karenanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mengkhawatirkan penyakit ini menimpa para
sahabat beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik ashgor (kecil).” Para sahabat bertanya, “Apa syirik ashgor?”. Beliau menjawab, “Riya’”. [HR. Ahmad]Riya’ adalah seorang beramal berharap amalannya dilihat oleh orang lain kemudian dipuji dan disanjung karena telah melakukan amalan kebaikan.
Selain riya’ ada istilah sum’ah, yaitu seorang beramal
berharap orang lain mendengar apa yang dia lakukan kemudian dipuji dan
disanjung.
Baik riya’ maupun sum’ah kedua-duanya bertentangan
dengan ikhlas karena seseorang beramal bukan karena Allah melainkan karena
mengharapkan pujian dan sanjungan orang lain.
Seseorang yang amalannya ternodai dengan riya’ maka
amalannya tersebut akan rusak dan tidak diterima Allah ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ [البقرة : 264
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” [Al Baqarah : 264]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
" قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ "
“Aku sama sekali tidak butuh terhadap amalan-amalan kesyirikan. Barang siapa yang beramal dan menyekutukan Aku dengan selainKu, Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya.” [HR. Muslim]
Dan penyakit riya’ ini semakin bertambah berbahaya dikarenakan samar
dan halusnya sehingga sangat sulit untuk dideteksi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ ، لَلشِّرْكُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh kesyirikan itu lebih samar dari rayapan semut” [HR. Bukhori di Adabul Mufrod dan dishahihkan Al Albany]
Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sangat mengkhawatirkan para sahabat dan mengingatkan mereka agar
berhati-hati dari penyakit ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik ashgor (kecil).” Para sahabat bertanya, “Apa syirik ashgor?”. Beliau menjawab, “Riya’”. [HR. Ahmad]
Beramal
Berharap Dunia
Di antara
perkara yang bertentangan dengan keikhlasan adalah ketika seseorang beramal
dengan tujuan untuk mendapatkan perkara-perkara duniawi. Seperti seseorang yang
beramal karena menginginkan tambahan rezeki, dimudahkan
usahanya, dipanjangkan umurnya dan lain sebagainya.
Perbedaannya
dengan riya’ atau sum’ah adalah riya’ dan sum’ah sifatnya lebih khusus. Artinya
seorang yang beramal karena riya’ dan sum’ah maka dia pada hakekatnya bertujuan
untuk mendapatkan duniawi dengan amalan-amalannya karena pujian dan sanjungan
juga termasuk perkara duniawi. Akan tetapi belum tentu seseorang yang beramal
karena mengharapkan harta benda –misalnya- dia juga berharap untuk dipuji dan
disanjung manusia. Bisa jadi dia tidak peduli sanjungan dan pujian manusia
asalkan dia bisa mendapatkan tujuannya yaitu harta.
Sebagaimana
halnya riya’ merusak amalan seseorang, begitu juga tujuan duniawi ini juga akan
merusak amalan seseorang. Allah ta’ala berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” [Hud : 15-16]
Allah menjelaskan bahwasanya
siapa yang menginginkan kehidupan dunia dari amalan-amalannya maka Allah akan
balas sesuai dengan apa yang menjadi niatnya dan itulah hal maksimal yang bisa
dia dapatkan. Adapun di akhirat, tidak ada bagian untuknya kecuali neraka. Ini
juga sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ومن كانت هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصيبُهَا ، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكَحُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَرَ إِلَيْه
“...dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin dia capai atau karena seorang wanita yang ingin dia nikahi maka (balasan) hijrahnya adalah sesuai dengan karena apa hijrahnya.” [Muttafaqun ‘alaihi]
Di dalam ayat yang lain
Allah berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” [Al Isra : 18]
Ayat dari surat Al Isra di
atas mengkhususkan ayat sebelumnya dari surat Huud. Yaitu, tidak semua mereka yang beramal karena dunia akan mendapatkan sesuai
dengan apa yang mereka niatkan.
Demikianlah realitanya yang kita lihat dan
dapatkan di kehidupan nyata, banyak mereka yang mengejar dunia tetapi tidak
mendapatkannya. Begitu juga banyak dari orang-orang kafir yang kehidupan
dunianya lebih memprihatinkan dari pada kaum muslimin. Alangkah rugi dan
celakanya, tidak dunia yang didapat, tidak pula di akhirat mereka selamat.
Nas’alullahal ‘aafiyah.
Lalu bagaimana kalau ada
yang bertanya, “Bukankah ada beberapa bahkan banyak ayat Al Quran begitu juga
hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan
ganjaran amalan-amalan tertentu berupa hal-hal yang berkaitan dengan perkara
duniawi?” Misalnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
«مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ»
“Barang siapa yang senang untuk dibentangkan baginya rezeki dan ditambahkan umurnya maka hendaknya dia menyambung silaturahim” [Muttafaqun ‘alaihi]
Maka untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa hal yang harus pahami. Yang pertama, dari sisi amalan-amalan yang dilakukan dan dimaksudkan
darinya balasan duniawi maka amalan-amalan tersebut terbagi menjadi 2 macam :
1. Pertama, Amalan yang dilakukan dan dimaksudkan untuk mendapatkan balasan duniawi
bukan akhirat adalah amalan-amalan yang tidak disebutkan di dalam syariat kita
bahwasanya amalan tersebut memiliki keutamaan duniawi. Seperti seseorang sholat
karena ingin sehat atau membaca ayat atau surat tertentu yang katanya bisa
sebagai sebab untuk menambah rezeki. Maka amalan-amalan seperti ini, yang tidak
ada keterangan dari syariat bahwasanya amalan-amalan tersebut memiliki
keutamaan dari sisi duniawi, tidak boleh diniatkan untuk mendapatkan dunia.
Apabila seseorang tetap melakukannya karena dunia maka ini adalah salah satu bentuk
kesyirikan.
2. Kedua, Amalan-amalan yang memang terdapat keterangan di dalam syariat kita
bahwasanya Allah ta’ala menyiapkan balasan dan ganjaran yang sifatnya perkara
duniawi bagi mereka yang melakukan amalan-amalan tersebut.
Misalnya
firman Allah ta’ala:
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا [نوح : 10-12]
“…maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” [Nuh : 10-12]
Dan firman Allah ta’ala:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” [Ath Tholaq : 2-3]
Begitu juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
«مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ»
“Barang siapa yang senang untuk dibentangkan baginya rezeki dan ditambahkan umurnya maka hendaknya dia menyambung silaturahim” [Muttafaqun ‘alaihi]
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ
“Iringilah antara haji dan umroh karena sesungguhnya keduanya akan menghilangkan kefakiran dan kemiskinan sebagaimana api memusnahkan kotoran besi, emas dan perak.” [HR. Ahmad dan selainnya dan dishohihkan Al Albany]
Dan selainnya baik dari ayat-ayat Al Quran atau pun hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal yang kedua yang perlu dipahami adalah
ditinjau dari sisi niat dan maksud ketika melakukan amalan maka ini terbagi
menjadi tiga macam:
1. Pertama, balau niat dan maksud seorang hamba ketika
beramal adalah hanya mencari balasan duniawi saja dan sama sekali tidak
mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat maka dia tidak akan mendapatkan
bagian apa-apa di akhirat. Dan amalan dengan sifat seperti ini tidaklah dilakukan
oleh seorang mu’min. Karena seorang mu’min walaupun lemah imannya pastilah dia
ingin menginginkan ridho Allah dan negeri akhirat.
2. Kedua, Seseorang beramal dengan mengharapkan ridha Allah
dan berharap juga balasan duniawi dimana kedua maksud ini sama besar atau
hampir sama, maka walaupun dia adalah seorang mu’min akan tetapi dia adalah
seorang mu’min yang keimanan, tauhid dan keikhlasannya kurang. Begitu juga
amalannya adalah amalan yang kurang karena ketidaksempurnaan keikhlasannya.
3. Ketiga, Seseorang yang beramal karena Allah semata dan
mengikhlaskan amalannya dengan keikhlasan yang sempurna akan tetapi dia
mengambil imbalan tertentu atas amalannya tersebut, atau dia juga sedikit
mengharapkan balasan duniawi yang memang disebutkan sebagai keutamaan dari
amalan-amalan tersebut -tidaklah keutamaan-keutamaan yang bersifat duniawi itu
disebutkan kecuali untuk menambah motivasi dalam beramal- maka yang demikian
ini tidaklah membahayakan iman dan tauhid seorang hamba, karena dia beramal
dengan ikhlas. Hatinya hanya terikat kepada perkara akhirat. Kalaupun dia
mengharapkan keutamaan dunia, itu hanyalah sekedar tambahan motivasi di dalam
beramal karena memang keutamaan tersebut disebutkan. Akan tetapi pondasi dan
asas amalannya adalah karena Allah Ta’ala.
Dengan rincian keterangan di atas maka dapat
disimpulkan, walaupun terdapat beberapa amalan yang disebutkan di dalam syariat
bahwasanya amalan tersebut memiliki keutamaan yang sifatnya perkara duniawi
tetaplah dikerjakan dengan ikhlas sebagai pondasi utama dan mengharapkan ridha Allah dan ganjaran akhirat sebagai tujuan utama. Dalam keadaan demikian tidak
mengapa untuk menjadikan keutamaan dunia tersebut sebagai tambahan motivasi di
dalam beramal tanpa menjadikannya sebagai tujuan utama, dan tetap melandaskan
amalannya di atas pondasi ikhlas dan tauhid.
Wallahu a’lam bishshowab.
------------------------------------------------
------------------------------------------------