Diterjemahkan dari artikel ثلاث وصايا نبويَّة عظيمة
karya Asy Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr hafidzahumallah
(Ulama dari Arab Saudi, Guru Besar Universitas Islam Madinah dan pengajar tetap di Masjid Nabawi)
**********
Allah jalla wa ‘alaa telah mengumpulkan pada diri Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa salam indahnya kalam, wasiat-wasiat yang lengkap, dan perkataan yang paling bagus dan sempurna. Siapa yang memiliki ikatan yang kuat dengan sunnah dan petunjuk sebaik-baiknya hamba Allah –shalawatullah wa salaamuhu ‘alaihi- maka dia akan beruntung di dunia dan akhiratnya.
Ini merupakan renungan bersama wasiat ringkas dan nasihat mendalam dari Nabi kita yang mulia –‘alaihisshalatu was salam- yang mencakup semua kebaikan. Terdapat di Musnad Al-Imam Ahmad, Sunan Ibnu Majah dan selainnya dari hadits Abu Ayub Al Anshary radhiallahu ‘anhu, bahwasanya seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata:
“Nasihatilah aku dengan nasihat ringkas!”
Dalam riwayat yang lain dia berkata,
“Ajarkanlah aku dengan ringkas!”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ، وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا، وَأَجْمِعِ اليَأسَ مِمَّا فِي يَدَيِ النَّاسِ»
“Ketika engkau berdiri untuk shalat, shalatlah layaknya orang yang akan berpisah! Janganlah engkau berbicara dengan sesuatu yang engkau akan mencari-cari udzur keesokannya, dan himpunlah keputusasaanmu dari apa yang ada di tangan manusia!”[1]
Ini adalah hadits hasan dengan syawahid-syawahidnya. Hadits yang agung ini meliputi tiga wasiat yang agung yang mencakup seluruh kebaikan. Siapa yang memahami dan mengamalkannya maka dia akan mendapatkan seluruh kebaikan di dunia dan akhirat.
- Wasiat tentang shalat untuk memperhatikan dan melaksanakannya dengan baik.
- Wasiat untuk menjaga dan memelihara lisan.
- Wasiat mengajak untuk qana’ah dan menggantungkan hati hanya kepada Allah.
*****
Pada wasiat pertama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak seorang yang berdiri untuk shalat, yaitu yang akan memulai shalatnya, untuk shalat seperti seseorang yang akan berpisah. Suatu hal yang maklum bagi semuanya, seorang yang berpisah akan melakukan dan mengatakan hal-hal yang lebih menyentuh dan berkesan yang tidak dilakukan oleh yang lainnya. Ini adalah sesuatu yang makruf di perjalanan dan perpindahan hidup manusia. Siapa yang pindah dari suatu negeri berharap akan kembali, tidaklah sama keadaannya dengan seorang yang pindah dari negerinya dan tak berharap akan kembali. Seorang yang akan berpisah akan melakukan apa yang tidak dilakukan selainnya.
Ketika seorang hamba shalat dengan menghadirkan bahwasanya itu adalah shalat terakhirnya, dan dia tidak akan shalat lagi setelahnya, maka dia akan bersungguh-sungguh melaksanakannya, menyempurnakan rukuk, sujud, kewajiban-kewajiban, dan sunnah-sunnahnya.
Karena itu, selayaknya lah bagi seorang hamba untuk bisa menghadirkan wasiat ini pada setiap shalat yang dia kerjakan, dia shalat layaknya seorang yang akan berpisah, dia berusaha merasakan itu adalah shalat terakhirnya dan dia tidak akan shalat lagi setelahnya. Ketika dia bisa merasakannya, maka itu akan mendorongnya untuk memperbagus shalatnya dan menyempurnakannya.
Siapa yang baik shalatnya akan menghantar dia kepada setiap kebaikan dan keutamaan, dan akan mencegah dia dari setiap keburukan dan kejelekan. Hatinya akan dipenuhi dengan keimanan, dan dia akan merasakan lezat dan manisnya keimanan. Shalatnya akan menjadi penyejuk mata, kenyamanan dan kebahagiaannya.
*****
Wasiat yang kedua adalah wasiat untuk menjaga lisan. Lisan adalah hal yang paling berbahaya bagi seseorang. Kalimat yang belum keluar dari lisan, dikuasai oleh pemiliknya. Adapun kalau sudah keluar dari lisannya, kalimat itu yang akan menguasai pemiliknya dan dia akan menanggung risiko-risikonya. Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«لَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا»
“...Janganlah engkau berbicara dengan sesuatu yang engkau akan mencari-cari udzur keesokannya...!”
Yaitu paksa dirimu untuk menahan lisanmu dari setiap kalimat yang dikhawatirkan engkau meminta udzur darinya, dan setiap kalimat yang menuntut engkau mencari udzur untuknya. Selama engkau tidak mengatakannya engkau masih berkuasa atasnya, adapun kalau engkau sudah mengatakan kalimat tersebut, dia yang akan menguasaimu.
Pada wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Muadz radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
«أَلَا أُخْبِرُكَ بِمِلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ قُلْتُ: بَلَى، يَا نَبِيَّ الله! فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ، قَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا، فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ الله! وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ! وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ ـ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ ـ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ»
“Maukah engkau aku kabarkan apa yang menjadi kunci semuanya? Aku (Mu’adz) berkata, “Tentu wahai Nabi Allah”. Maka beliau memegang lisan (lidah)nya dan berkata, “Engkau tahan ini!” Maka aku berkata, “Wahai Nabi Allah, apakah kita bisa diadzab dengan sebab apa yang kita ucapkan?” Beliau berkata, “Ibumu kehilanganmu wahai Muadz, tidaklah kebanyakan manusia itu tersungkur di atas wajah-wajah atau hidung-hidung mereka ke dalam neraka melainkan hasil perbuatan lisan-lisan mereka.”[2]
Maka lisan rawan akan bahaya yang besar. Terdapat hadits yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
«إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ، فَإِنَّ الأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ: اتَّقِ اللهَ فِينَا، فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ؛ فَإِنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا، وإِنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا»
“Ketika pagi hari, seluruh anggota tubuh anak Adam mengingkari lisan. Mereka berkata, “Bertakwalah engkau kepada Allah terhadap kami. Kami ini hanya mengikutimu. Kalau engkau istiqomah kami juga istiqomah. Kalau engkau bengkok, kamipun ikut bengkok.”[3]
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada wasiat yang lengkap ini:
«لَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا»
“...Janganlah engkau berbicara dengan sesuatu yang engkau akan mencari-cari udzur keesokannya...!”
Padanya terdapat seruan untuk membuat perhitungan ketika seorang itu hendak mengucapkan sesuatu, dengan betul-betul memperhatikan apa yang akan dia ucapkan. Jika dia dapatkan itu adalah kebaikan maka dia ucapkan, kalau dia dapatkan itu adalah kejelekan maka dia menahan diri dari mengucapkannya. Kalau yang akan dia ucapkan masih samar untuknya, dia tidak tahu apakah itu jelek atau kah baik, maka dia menahan diri berhati-hati dari perkara syubhat, sampai jelas perkaranya baginya. Karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله واليَوْمِ الآخِرِ؛ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ»
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka berkatalah yang baik atau diamlah!”[4]
Kebanyakan manusia, mereka menjerumuskan diri-diri mereka ke dalam masalah-masalah besar dengan sebab satu kalimat yang mereka ucapkan dengan lisan-lisan mereka tanpa mempedulikannya. Kemudian ucapan tersebut berakibat konsekuensi-konsekuensi di dunia dan akhirat yang tidak mereka sukai. Seorang yang berakal adalah yang menimbang perkataannya, menjaga pembicaraannya, dan tidaklah dia berbicara kecuali sebagaimana yang dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan perkataan yang tidak membutuhkan udzur setelahnya. Dan perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
«بكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا»
“...dengan sesuatu yang engkau akan mencari-cari udzur keesokannya...!”
Mengandung kemungkinan: Ketika engkau berdiri di hadapan Allah, atau engkau akan mencari-cari udzur keesokannya, maksudnya adalah mencari udzur dari manusia ketika mereka menuntutmu dari konsekuensi ucapan dan perkataanmu.
Kalau berdasarkan makna yang pertama maka memiliki keterkaitan kuat dengan shalat, karena udzur apa yang bisa disampaikan oleh si penyia-nyia shalat kepada Rabbnya esok sementara shalat adalah perkara pertama yang akan di tanya.
*****
Wasiat yang ketiga adalah seruan untuk qana’ah (merasa cukup dengan pemberian Allah) dan menggantungkan hati hanya kepada Allah semata, serta berputus asa dari apa yang ada di sisi manusia. Beliau bersabda:
«وَأَجْمِعِ اليَأسَ مِمَّا فِي يَدَيِ النَّاس»
“...dan himpunlah keputusasaanmu dari apa yang ada di tangan manusia!”
Yaitu himpunlah hatimu, bertekadlah dan mantapkanlah hatimu untuk berputus asa dari apa saja yang ada di tangan manusia. Jangan engkau mengharap dari sisi mereka. Jadikan harapanmu semuanya hanya kepada Allah jalla wa ‘alaa. Sebagaimana engkau tidak meminta kecuali kepada Allah dengan perkataanmu, maka seharusnya juga tidak berharap kecuali kepada Allah dengan keadaanmu, dan seharusnya juga engkau berputus asa dari siapapun kecuali dari Allah.
Engkau putuskan harapan dari seluruh manusia dan harapanmu hanyalah kepada Allah semata. Dan shalat merupakan penghubung antara engkau dan Rabbmu juga merupakan pertolongan terbesar untuk merealisasikan tuntutan ini.
Siapa yang berputus asa dari apa yang ada di tangan manusia akan hidup dalam keadaan berwibawa dan mulia. Siapa yang hatinya terpaut dengan apa yang ada di hati manusia akan hidup dalam keadaan rendah dan hina. Adapun siapa yang hatinya bergantung hanya kepada Allah, tidak berharap kecuali kepada Allah, tidak meminta kebutuhannya kecuali kepada Allah, dan tidak bertawakkal kecuali hanya kepada Allah, maka Allah akan cukupkan untuknya di dunia dan akhiratnya. Allah jalla wa ‘ala berfirman:
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
“Bukankah Allah yang mencukupi hambaNya?” [Az Zumar : 36]
Dan Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Siapa yang bertawakkal kepada Allah maka Allah akan mencukupinya” [Ath-Thalaq:3]
______________________
Artikel asli dalam Bahasa Arab bisa diliha di http://al-badr.net/muqolat/2594
[1[ HR. Ahmad (23498) dan Ibnu Majah (4171), lihat Ash Shahihah (401)
[2] HR. Ahmad (22016) dan At Tirmidzy (2616), dishahihkan Al Albany di Shahih Al Jami’ (5136)
[3] HR. Ahmad (11908) dan At Tirmidzy (2704) dari hadits Abu Sa’id Al Khudry radhiallahu ‘anhu, dihasankan Al Albany di Shahih Al Jami’ (351)
[4] HR. Al Bukhary (6018) dan Muslim (47) dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
[2] HR. Ahmad (22016) dan At Tirmidzy (2616), dishahihkan Al Albany di Shahih Al Jami’ (5136)
[3] HR. Ahmad (11908) dan At Tirmidzy (2704) dari hadits Abu Sa’id Al Khudry radhiallahu ‘anhu, dihasankan Al Albany di Shahih Al Jami’ (351)
[4] HR. Al Bukhary (6018) dan Muslim (47) dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
Penerjemah: Ustadz Ayyub Abu Ayyub حَفِظَهُ اللهُ