artikel pilihan


TAWASSUL YANG BENAR DALAM ISLAM


Allah subhanahu wa ta’ala mecipkatan manusia di dunia ini bukan hanya diciptakan kemudian dibiarkan begitu saja tanpa arah dan tujuan, akan tetapi Allah menciptakan mereka untuk sebuah tujuan yang agung, yaitu untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana  firman Allah,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”[1]
Ibadah merupakan  sarana bagi seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan bentuk rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat dan karunia yang diberikan kepadanya. Ibadah itu ada berbagai macam, diantara bentuk ibadah adalah tawassul.


**********


A. Apa yang Dimaksud dengan Tawassul?

Tawassul secara etimologi (bahasa) adalah menjadikan sebuah perantara yang baik untuk mencapai tujuan.

Adapun secara syariat, tawassul adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan sebuah perantara yang disyari’atkan untuk mencapai sebuah tujuan.


**********


B. Apa yang dimaksud dengan Perantara (Wasilah)?

Wasilah adalah sebab-sebab yang menghantarkan kepada maksud dan tujuan, Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) unutk mendekatkan diri kepadanya, dan berjihadlah (berjungalah) dijalan-Nya agar kamu beruntung.”[2]

Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menjelaskan, yang dimaksud wasilah adalah, “Al-Qurbah.”, yaitu amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Allah.

Qatadah rahimahullah dalam menafsirkan ayat tersebut berkata, “Yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan mentaati-Nya dan melaksanakan amalan-amalan yang diridhoi oleh-Nya.”[3]

Wasilah itu sendiri terbagi menjadi dua, wasilah kauniyyah dan wasilah syar’iyyah :

  1. Wasilah kauniyyah. Adalah sebab-sebab alami yang Allah ciptakan untuk mencapai sesuatu, contohnya: Allah mencipkatan air sebagai sebab penghilang dahaga, makanan sebagai penghilang lapar, pakaian untuk melindungi diri dari cuaca panas dan dingin, wasilah kauniyyah ini bersifat umum baik untuk mukmin ataupun kafir.
  2. Wasilah syar’iyyah ialah sebab-sebab atau perantara yang disyariatkan oleh Allah sebagaimana yang tertera dalam al-quran dan sunnah, contohnya: mengucapkan kalimat syahadat dengan penuh keyakinan dan ketulusan merupakan sebab masuknya seseorang ke dalam surga, dan sebab dijauhkannya dari api neraka, silaturahmi merupakan sebab dipanjangkan umur dan dilapangkan rezeki.



**********


C. Macam-Macam Tawassul

Tawassul terbagi menjadi dua, yang pertama adalah tawassul masyru’, yaitu tawassul yang diperbolehkan dan dianjurkan oleh syari’at, dan yang kedua tawassul ghoiru masyru’, yaitu tawassul yang tidak disyariatkan.

Tawassul Masyru’ (yang disyariatkan). Tawassul masyru’ memiliki beberapa bentuk:


1) Bertawassul kepada Allah dengan asmau’ul husna dan sifat-sifat-Nya yang mulia.

Yaitu seperti seseorang mengatakan, “Ya Allah Ar-Rahman Ar-Rahim, Al-Lathif Al-Khabir berikanlah kepadaku keselamatan.” Allah ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا
"Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu.”[4]
Telah disebutkan dalam banyak riwayat yang menunjukkan akan disyari’atkannya berdo’a kepada Allah dengan menyebutkan asma’ul husna, diantaranya apa yang telah diriwayatkan dari  Rasulullah shallalhu ‘alaihi wasallam bahwa  beliau mendengar seorang pria berkata ketika bertasyahud,

اللهم إني أسألك يا الله الواحد الأحد الصمد، الذي لم يلد ولم يولد، ولم يكن له كفوا أحد أن تغفر لي ذنوبي إنك أنت الغفور الرحيم
“Ya Allah yang Maha Esa  tempat bergantung segala sesuatu, yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak ada seorangpun yang setara dengan-Mu, aku memohon kepada-Mu ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya Engkau yang Maha Pengampun lagi Maha Pemurah.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,

قدغفر له، قد غفر له
“Sungguh ia telah diampuni, sungguh ia telah diampuni.”[5]


2) Bertawasul kepada Allah dengan iman dan amal sholeh yang pernah dikerjakan. Seperti seseorang berkata, “Ya Allah dengan keimananku kepada-Mu, dan cintaku kepada utusan-Mu maka ampunilah aku.”, atau dengan menyebutkan amalan-amalan kebajikan yang pernah dikerjakan dengan penuh keikhlasan dan rasa takut kepada Allah.

Allah ta’ala berfirman,

رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا ۚ رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.”[6]


3) Bertawassul kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, Allah ta’ala berfirman,

وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَىٰ فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَٰهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dzalim.”[7]


4) Bertawassul kepada Allah dengan menampakkan kelemahan dan kefaqiran kepada Allah. Allah ta’ala berfirman :

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”[8]


5) Bertawassul kepada Allah dengan do’a orang shalih yang masih hidup.

Sebagaimana para sahabat meminta dido’akan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika tertimpa kekeringan, adapun setelah Rasulullah wafat, mereka memita untuk dido’akan oleh Al ‘Abbas paman Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam.


6) Bertawassul kepada Allah dengan mengakui dosa dan kesalahan, sebagaimana Allah berfirman,

قَالَ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Musa berdo’a, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku." Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[9]



Tawassul Groiru Masyru’ (yang dilarang oleh syari’at). Diantara bentuk tawassul yang dilarang sayariat adalah:


1) Bertawassul Kepada Orang yang Sudah Meninggal Dunia

Yaitu dengan  meminta dido’akan oleh  orang yang telah meninggal agar dikabulkannya sebuah hajat atau maksud tertentu,  maka tawassul seperti ini termasuk jenis tawassul yang dilarang oleh syari’at. Karena orang yang telah meninggal tidak mampu mendengar hajat seseorang, apa lagi berdo’a meminta kepada Allah agar hajat itu dikabulkan sebagaimana mereka mampu melakukan hal itu ketika masih hidup.

Para sahabat seperti Umar bin Khaththab, Mu'awiyah bin abi Sufyan dan orang-orang yang hadir bersama mereka dari kalangan para sahabat dan tabi'in,  ketika  ditimpa musibah kekeringan sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka tidaklah bertawassul dan meminta pertolongan kepada Rasulullah yang telah wafat agar diturunkan hujan, sebagaimana mereka pernah melakukannya saat Rasulullah masih hidup. Akan tetapi, mereka bertawassul kepada sahabat Rasulullah yang masih hidup seperti Al 'Abbas paman nabi dan Yazid bin Al Aswad radhiyallahu ‘anhuma.

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, "Ya Allah sungguh kami dahulu bertawassul kepadamu dengan Nabi kami, maka Engkau turunkan air kepada kami, dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah air kepada kami."

Tidaklah para sahabat meninggalkan tawassul kepada Rasulullah yang telah wafat sebagaimana mereka melakukannya ketika Rasulullah masih hidup , kecuali karena hal itu tidak disyari’atkan, dan cukuplah hal ini menjadi bukti bahwa bertawassul kepada orang yang telah meninggal merupakan bentuk tawassul yang dilarang.


2) Bertawassul dengan Kedudukan Nabi shallallahu alaihi wasallam

Yaitu seseorang meminta kepada Allah dengan wasilah kedudukan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, atau dengan kedudukan nabi-nabi yang lain, contohnya seseorang mengucapkan, “Ya Allah dengan kedudukan Nabi Muhammad berikanlah kepadaku kelapangan rezeki.”. Maka bertawassul yang seperti ini merupakan tawassul yang dilarang.

Adapun lafadz hadits yang menyebutkan,

إذا سألتم الله فاسألوه بجاهي؛ فإن جاهي عند الله عظيم[10]
“Apabila kalian meminta kepada Allah maka mintalah kepada-Nya dengan(wasilah) kedudukanku, karena kedudukanku disisi Allah itu kedudukan yang agung.”
Para ulama menjelaskan bahwa hadits ini merupakan hadits palsu yang tidak boleh dijadikan landasan dalam beramal, sebagaimana tidak ada satupun dari para ulama ahlul hadits yang pernah menyebutkan shahihnya hadits ini.

Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa tawassul merupakan sebuah bentuk peribadatan kepada Allah, maka hal itu tidaklah ditetapkan  kecuali dengan dalil yang jelas dan kuat.


3) Bertawassul dengan Dzat Makhluk

Yaitu meminta kepada Allah dengan maksud menjadikan dzat makhluk sebagai perantara, maka hal ini juga merupakan bentuk tawassul yang tidak disyariatkan, karena Allah ta’ala  tidak mensyariatkan kepada hambanya untuk menjadikan dzat makhluk sebagai wasilah, sebagaimana Allah tidak menjadikan dzat makhluk sebagai sebab di-ijabahinya sebuah do’a.


Wallahu ta’ala a’lam.



Ditulis Oleh Ustadz Hisban Hamid
PROFIL PENULIS | LIHAT TULISAN LAIN

_________________________

[1] Surat Adz-Dzariyat, ayat 56
[2] Surat Al Ma’idah, ayat 35
[3] Tafsiru Al-Quran Al-Adhim, Ibnu Katsir (3/103) Daaru Thaibah, Riyadh
[4] Surat Al-A’raf, ayat 180
[5] Hadits shohih, riwayat Abu Dawud, An-Nasa’iy, dan Ahmad.
[6] Surat Ali Imran, ayat 193
[7] Surat Al Anbiya, ayat 87
[8] Surat Al Anbiya, ayat 83
[9] Surat Al Qasas, ayat 16
[10] Majmu’ al Fatawa, Ibn Taimiyyah (1/319)


Referensi :

  • Aqidatu At-Tauhid, Syaikh Sholih bin Fauzan al Fauzan, penerbit maktabah Dar al Minhaj, cetakan pertama 1434 H
  • At-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu, al Imam Nashiruddin al Albany, penerbit maktabah al Ma’arif, cetakan pertama 2001-1421 H
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar

adv/http://halaqah.tauhid.or.id/|

Artikel Pilihan

artikel pilihan/carousel

Arsip Artikel Per Bulan



Facebook

fb/https://www.facebook.com/Tauhid.or.id



Kids

Konten khusus anak & download e-book




Course