Dirangkum dari tabligh akbar Syaikh Prof. Dr. Ibrahim
bin Amir Ar-Ruhaili
(Guru Besar Bidang Aqidah Universitas Islam Madinah)
(Guru Besar Bidang Aqidah Universitas Islam Madinah)
Muqadimah…
*********
“Nikmat Aman di Indonesia dan Kiat Untuk Menjaganya” adalah
pembahasan yang memiliki urgensi yang sangat tinggi dalam mewujudkan keamanan
di negeri ini dan menjaganya.
Definisi
Keamanan
Keamanan adalah lawan dari rasa takut. Dan ini diisyaratkan
oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:
● فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ ● الَّذِي
أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ
“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” [QS. Quraisy: 3-4]
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan dan
mengingatkan nikmatnya kepada penduduk tanah haram dengan menyebutkan
dua nikmat. Yang pertma adalah nikmat rezeki berupa makanan yang menjaga mereka
dari rasa lapar. Yang kedua Allah mengingatkan terhadap nikmat rasa aman. Kemudian
setelah menyebutkan rasa aman Allah menyebutkan bersamanya rasa takut. Hal ini
menjelaskan kepada kita bahwasanya aman adalah lawan dari rasa takut. Sementara
para ahli bahasa menjelaskan bahwa secara bahasa aman berarti tenang dan damai.
Jadi kalau kita memiliki kondisi yang tenang, damai, dan tidak memiliki rasa
takut maka itulah yang dimaksud dengan rasa aman.
Kemanan ada dua macam, yang pertama adalah keamanan dalam agama (الأمن في الدين) dan yang kedua adalah keamanan dalam badan (الأمن في الأبدا).
*****
1) Keamanan Dalam Agama
Keamanan dalam agama (الأمن في الدين) berarti agama seorang muslim selamat, tetap berada di atas
jalan tauhid dan terus beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala tanpa
menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah subhanahu
wa ta’ala dalam firman-Nya:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ
يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” [QS. Al-An’am: 82]
Dalam ayat ini Allah subhanahu
wa ta’ala menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman adalah orang-orang
yang tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman. Mereka berada di
atas tauhid. Para ahli tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ظلم di dalam
ayat tersebut bukanlah semua jenis kazaliman tetapi maksudnya adalah syirik. Sebagian
sahabat ketika turunnya ayat ini merasa berat. Mereka berpikir bahwa untuk bisa
mendapatkan rasa aman dan petunjuk syaratnya terlalu berat. Yang beriman
kemudian tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman. Maka mereka mengatakan
kepada Rasulullah ﷺ,
يَا رَسُولَ اللَّهِ،
فَأَيُّنَا لَا يَظْلِمُ نَفْسَهُ؟
“Wahai Rasulullah, siapa di antara kami yang yang tidak pernah berbuat zalim kepada dirinya sendiri?”
Maka kemudian Nabi ﷺ menjelaskan
bahwa yang dimaksud bukanlah seperti yang mereka pahami. Beliau ﷺ bersabda:
إِنَّهُ لَيْسَ الَّذِي
تَعْنُونَ! أَلَمْ تَسْمَعُوا مَا قَالَ الْعَبْدُ الصَّالِحُ: {يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ
بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ} إِنَّمَا هُوَ الشِّرْكُ"
Sesungguhnya hal itu bukan seperti apa yang kalian maksudkan. Tidakkah kalian mendengar apa yang telah dikatakan oleh seorang hamba yang saleh (Luqman), "Hai anakku, janganlah kalian mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar" (Luqman: 13). Sesungguhnya yang dimaksud dengan zalim hanyalah syirik (mempersekutukan Allah). [HR. Bukhari disebutkan di dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir terkait Surat Al-An’am 82]
Jadi arti
ayat ini adalah orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan
mereka itu adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Intinya keselamatan
agama adalah ketika seseorang selamat agamanya, tauhidnya, dan terus beribadah
kepada Allah subhanahu wa ta’ala tanpa terjatuh ke dalam kesyirikan baik
yang kecil maupun yang besar.
2) Keamanan Dalam Badan
Maksud dari
keamanan dalam badan (الأمن في الأبدا) adalah ketika seorang muslim memiliki
keamanan pada jiwanya, pada kehormatannya, dan pada harta mereka di tempat
mereka tinggal. Makanya dikatakan suatu negara aman jika di negara tersebut terdapat
stabilitas dan keamanan dari fitnah. Tidak ada fitnah disana. Orang-orang
selamat dari pembunuhan dan pengusiran. Mereka merasa aman dalam jiwa mereka,
dalam harta mereka, dan dalam kehormatan mereka. Mereka merasa tenang dan
damai. Negeri seperti itulah yang disebut sebagai negeri yang aman.
Setelah kita mengetahui
dua macam keamanan, perlu kita ketahui bahwa keamanan di negeri ini tidak dapat
diwujudkan kecuali dengan mewujudkan dua jenis keamanan tersebut. Maka wajib
bagi kita untuk menjaga agama kita serta menjaga aqidah islam yang sesuai
dengan ajaran Al-Qur’an dan sunnah Nabi ﷺ. Wajib juga bagi para tokoh
Indonesia baik para pejabat maupun para ulama untuk berupaya melindungi
Indonesia dari kerusakan agama, dari upaya menggembosi islam, serta dari upaya
untuk merusak tatanan keagamaan di Indonesia.
Penduduk haramain
yaitu orang-orang di Makkah dan Madinah telah mengenal bangsa Indonesia
sejak sebelum dikenal dengan nama Indonesia. Orang-orang Indonesia setiap tahun
datang. Hampir tidak pernah ada satu masa dimana musim haji kosong dari jamaah
haji Indonesia. Mereka datang untuk thawaf di Baitullah kemudian
dilanjutkan dengan ziarah ke Kota Madinah, ke Masjid Nabawi. Dan dahulu kami
tidak mengetahui akan mendekatnya musim haji kecuali setelah melihat banyak
orang Indonesia yang memenuhi jalan-jalan di kota-kota kami. Kami melihat
mereka sebagai jamaah haji teladan yang selalu damai, tenang, dan tidak mengganggu
orang lain. Maka kami mendoakan semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan
kepada mereka sabar, istiqomah, dan islam tetap menjadi tuan rumah di
negeri sendiri.
Mereka yang
diberikan amanah untuk menjadi pemerintah di negeri ini hendaknya waspada dan
harus tegas dalam menyikapi pihak-pihak yang ditengarai akan ikut merusak keamanan
di negeri ini. Karena islam adalah agama rahmat dan islam adalah agama damai. Maka
wajib bagi kita semua untuk waspada juga pemerintah Indonesia untuk menindak
dengan tegas mereka yang berusaha merusaknya.
*****
Terdapat beberapa kiat untuk
menjaga keamanan yang sudah dimiliki Indonesia:
>> Yang
Pertama, Umat islam hendaknya menolong Tuhan mereka Allah subhanahu wa ta’ala
sebagaimana firman-Nya:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” [QS. Muhammad: 7]
Maksud dari
kita menolong Allah subhanahu wa ta’ala adalah dengan istiqomah
di atas agama kita. Menjaga aqidah kita. Menjaga agama kita dan
membantu dakwah islam. Pemerintah harus memberikan kesempatan kepada para ulama
dan orang-orang saleh untuk menyampaikan pesan-pesan menyejukkan di atas mimbar,
di pesantren-pesantren, di sekolah-sekolah, dan di kampus-kampus. Dengan demikian
kalau kita membantu Allah subhanahu wa ta’ala, membela agama Allah subhanahu
wa ta’ala, maka إن شاء الله Allah yang akan menolong kita semua.
>> Yang Kedua,
Menerapkan kitab Allah yaitu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah ﷺ di seluruh
penjuru Indonesia. Dengan menerapkan agama
Allah subhanahu wa ta’ala melalui kitabullah dan sunnah Rasulullah
ﷺ maka إن شاء الله kita akan memiliki kedaulatan dan stabilitas. Allah
akan memberikan kepada kita rezeki dan berbagai nikmat yang luas sebagaimana
yang telah diberikan kepada Nabi ﷺ, para sahabat beliau, dan generasi awal umat
islam ketika mereka menerapkan agama Allah subhanahu wa ta’ala dalam
sendi kehidupan mereka sehari-hari.
>> Yang Ketiga,
Menyebarkan ajaran-ajaran islam di tengah-tengah masyarakat. Juga memasukkan
ajaran-ajaran islam ke dalam kurikulum sekolah dari sejak TK, SD, SMP, SMA,
hingga perguruan tinggi berupa ajaran tauhid, hukum-hukum islam, dan adab atau
akhlak islami. Dengan begitu akan terbentuk masyarakat yang menghormati rasa
aman, saling sayang dan saling lemah lembut di antara mereka sebagaimana
dijelaskan oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam sabda beliau:
مثل
المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم مثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد
بالسهر والحمى
“Perumpamaan kaum mukminin dalam saling mencintai di antara mereka dan saling menyayangi di antara mereka seperti satu tubuh. Jika ada satu anggota tubuh yang sakit maka seluruh anggota yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan demam dan tidak bisa tidur.” [HR. Muslim]
Itu semua
bisa diwujudkan jika orang-orang di negeri ini mengetahui ajaran-ajaran dan
hukum-hukum islam. Yaitu ketika mereka sejak sudah dibiasakan dengan
ajaran-ajaran itu.
>> Yang Keempat,
Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Mengajak orang kepada kebaikan dan melarang
orang dari kemungkaran. Hal ini adalah sebuah ibadah agung yang terbangun di
atasnya kebaikan untuk umat ini. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” [QS. Ali Imran: 110]
Para ahli
tafsir menjelaskan bahwa umat ini disebut sebagai yang terbaik kalau mereka
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Kalau suatu negara menegekkan amar
ma’ruf nahi munkar maka إن شاء الله akan tercipta banyak kebaikan disana. Dan
sebaiknya para pelaku kerusakan dan orang-orang yang buruk akan menjadi lemah karena
adanya amar ma’ruf nahi munkar yang ditegakkan oleh negara. Alangkah indahnya
kalau suatu negara islam membuat sebuah lembaga khusus yang menangani amar
ma’ruf nahi munkar ini baik sebuah kementrian, sebuah departemen, atau yang
di bawah itu sebagaimana yang kami rasakan di negeri kami Kerajaan Arab Saudi yang
memiliki sebuah lembaga khusus yang disebut sebagai هيئة الأمر بالمعروف والنهي عن
المنكر. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah menguji suatu
umat, suatu bangsa, dengan berbagai ujian, kerusakan, fitnah, dan rasa aman
yang hilang kecuali ketika mereka sudah mengabaikan amar ma’ruf nahi munkar.
Barangsiapa yang menjaga dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar maka
إن شاء الله Allah akan menjaga mereka dari berbagai fitnah, dari berbagai bala,
dan memberikan kepada mereka keselamatan dalam jiwa mereka, dalam kehormatan
mereka, dan harta mereka.
>> Yang Kelima,
Taat dan patuh kepada pemimpin yang sah sebagaimana disampaikan oleh Allah subhanahu
wa ta’ala dalam firman-Nya:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”’ [QS An-Nisa: 59]
Nabi ﷺ juga
bersabda:
مَنْ
أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ، وَمَنْ
يُطِعِ الأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ يَعْصِ الأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي
“Barangsiapa menaatiku maka sungguh ia telah menaati Allâh. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allâh. Dan barangsiapa yang menaati pemimpin maka sungguh ia telah menaatiku. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada pemimpin, maka sungguh ia telah bermaksiat kepadaku.” [HR. Bukhari & Muslim]
Ketika taat
dan patuh ini kuat, saat ajaran ini kuat, rakyat sadar bahwa mereka mempunyai
kewajiban untuk taat dan patuh kepada pemimpin muslim, maka wibawa pemerintah
menjadi kuat dan ini memberikan dampak positif kepada negeri tersebut. Orang-orang
hormat kepada pemimpin mereka dan hal itu membuat kondisi menjadi stabil dan
orang-orang saling mencintai. Sebaliknya ketika syariat ini (taat & patuh pada
pemimpin) lemah di suatu negara maka akan berdampak pada melemahnya wibawa
pemerintah. Jika hal ini terjadi maka para perusak dan provokator akan
memanfaatkannya dengan berusaha menggoyang stabilitas umat islam. Umat islam dilarang
untuk memberontak kepada mereka selagi masih muslim meskipun memiliki beberapa
kesalahan atau kezaliman.
Ketaatan kepada
pemerintah kita ada batasnya yaitu selagi mereka tidak memerintahkan kita
kepada hal-hal yang sifatnya maksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan
kalau mereka memerintahkan rakyat kepada maksiat kepada Allah subhanahu wa
ta’ala maka umat islam tidak boleh menaati mereka dalam perintah tersebut.
>> Yang Keenam,
Menasihati pemerintah jika ada kesalahan yang mereka lakukan. Pemerintah adalah
manusia biasa. Mereka bukan malaikat. Kadang-kadang terjatuh dalam kesalahan
baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Dan dalam kondisi seperti itu umat
islam wajib untuk menasihati mereka. Tetapi islam juga mengajarkan tata caranya.
Tidak boleh untuk menasihati mereka secara terang-terangan di depan massa atau
di jalan-jalan atau di mimbar-mimbar khutbah. Itu semua dilarang oleh
agama kita dalam sabda-sabda Nabi ﷺ di antaranya hadits yang diriwayatkan di
dalam shahih Bukhari & Muslim:
من
رأى من أميره شيئاً يكرهه فليصبر عليه، فإنه من فارق الجماعة شبراً فمات إلا مات ميتة
جاهلية
“Barangsiapa yang melihat pada pemimpinnya sesuatu yang ia benci, maka hendaklah ia bersabar atas hal tersebut. Karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah (persatuan kaum muslimi) satu jengkal lalu ia meninggal dunia, ia meninggal dunia seperti mati jahiliyah.”
Mereka bukan
malaikat. Mereka kadang-kadang salah. Dan jika kita mendapati kesalahan seperti
itu hendaknya kita menghubungi mereka kemudian menyampaikan nasihat secara
diam-diam. Empat mata. Atau seperti itu kira-kira dan tidak menyampaikannya di
depan massa atau di jalan-jalan atau di mimbar-mimbar khutbah karena itu
semua dilarang oleh agama.
>> Yang Ketujuh,
Menghindari pengingkaran secara terang-terangan dalam rangka memberikan nasihat
kepada pemerintah (terkait kebijakan, red) yang kita anggap salah. Islam
telah memerintahkan kita untuk amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang
kepada kebaikan dan melarang orang dari kemungkaran. Namun islam juga sudah
menjelaskan etikanya. Pemerintah memiliki kedudukan khusus. Jadi untuk
menasihati mereka pun kita diajaran cara khusus, tidak seperti menasihati yang
lain. Dalam suatu hadits Nabi ﷺ mengatakan:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ
لِذِي سُلْطَانٍ فَلا يُبْدِهِ عَلانِيَةً وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُوا بِهِ
فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia meraih tangan sang penguasa, lalu menyepi dengannya lalu sampaikan nasihatnya. Jika nasihat itu diterima, maka itulah yang diinginkan. Namun jika tidak, maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban (menasihati penguasa).” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah dari ‘Iyadh bin Ganm radhiyallahu’anhu, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah: 1096]
Berdasarkan hadits
ini hendaklah kita meninggalkan tata cara menasihati yang jelas-jelas
dilarang oleh hadits-hadits Nabi ﷺ seperti yang dilakukan oleh sebagian
orang dengan melakukan pawai atau demonstrasi yang beberapa waktu terakhir kita
lakukan. Bahkan dengan dalih aksi damai karena dikhawatirkan aksi damai
tersebut akan membawa kepada aksi yang lebih besar sebagaimana yang sudah
terjadi di banyak negara lain. Maka hendaknya umat islam semuanya bertakwa
kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menjadi pemicu fitnah dan
pemicu hilangnya rasa aman dari negeri yang sama-sama kita cinta ini.
____________________________
Dirangkum oleh redaksi Tauhid.or.od dari tabligh akbar Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili (Guru Besar Bidang Aqidah Universitas Islam Madinah) di Klaten 1 Jumadil Ula 1438H
Lihat Artikel lain dari / Terkait Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili