artikel pilihan


ADAB TERHADAP AL-QUR'AN (Bagian Ke-2)

ADAB TERHADAP AL-QUR'AN (Bagian Ke-2)


Lanjutan dari Artikel Bagian Ke-1


**********

7.) Senantiasa Membaca Al-Qur’an

Keutamaan orang yang membaca Al Qur’an:

a. Di hari kiamat Al-Qur'an Akan menjadi pemberi syafa’at terhadap orang yang membacanya.

Dari Abu Umamah Al Bahiliy radiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

اقرؤوا القرآن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعا لأصحابه
“Bacalah oleh kalian Al Qur'an karena dia (Al Qur'an) itu akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi pembacanya.” [ HR. Muslim]
b. Semakin banyak seseorang membaca Al-Qur'an maka akan menjadi semakin tinggi pula derajatnya di surga nanti.

Dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash radiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ في الدُّنْيَا فإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيةٍ تَقْرَؤُهَا
“Dikatakan kepada orang yang membaca Al Qur’an (pada Hari kiamat): Bacalah, naiklah, dan tartilkanlah sebagaimana kamu membaca tartil di dunia, karena kedudukanmu (di surga) sesuai dengan akhir ayat yang kamu baca.” [HR. At Tirmidzi dan Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al Albani]

c. Membaca satu huruf dari Al-Qur’an sama dengan satu kebaikan, lalu satu kebaikan itu akan Allah lipat gandakan menjadi sepuluh kebaikan.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

من قرأ حرفا من كتاب الله فله به حسنة، والحسنة بعشر أمثالها، لا أقول: ألم حرف؛ ولكن ألف حرف , ولام حرف، وميم حرف
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitabullah maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan akan Allah lipat gandakan menjadi sepuluh. Aku tidak mengatakan “Alif Lam Mim” satu huruf, akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf , dan Mim satu huruf.” (HR. At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani]

d. Tiga ayat yang dibaca dalam satu shalat itu lebih bagus daripada tiga unta yang sangat besar dan gemuk.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ أَنْ يَجِدَ فِيهِ ثَلَاثَ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ؟» قُلْنَا: نَعَمْ، قَالَ: «فَثَلَاثُ آيَاتٍ يَقْرَأُ بِهِنَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلَاثِ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ
“Apakah salah seorang diantara kalian suka jika pulang kepada keluarganya di rumah dengan mendapatkan tiga unta yang besar dan gemuk?”, mereka menjawab: “Ya”. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Tiga ayat yang kalian baca dalam shalat itu lebih bagus daripada tiga unta besar dan gemuk.” [HR. Muslim]
Ketahuilah bahwa seekor unta yang besar dan gemuk saat ini bisa setara dengan harga sebuah mobil.


e. Keutamaan ini Tidak hanya terbatas kepada pembaca Al-Qur'an saja, bahkan orang tua yang mempunyai anak, lalu anak itu membaca Al-Qur’an dan mengamalkannya, maka Allah ta'ala akan memberikan mahkota kepada kedua orangtua anak tadi pada hari kiamat yang sinarnya lebih bagus dari sinar matahari.

Dari Sahl bin Mu'adz radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَعَمِلَ بِمَا فِيهِ أُلْبِسَ وَالِدَاهُ تَاجًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ضَوْءُهُ أَحْسَنُ مِنْ ضَوْءِ الشَّمْسِ
“Barangsiapa yang membaca Al Qur’an dan mengamalkan apa yang ada didalamnya, maka di Hari Kiamat nanti orang tuanya akan dipakaikan mahkota yang sinarnya lebih bagus dari sinar matahari.” [HR. Abu Dawud dan Al Hakim, beliau berkata: Shahih Al Isnad]
Al Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hendaknya ia konsisten dan banyak membaca Al-Qur’an, dahulu para Salaf rahimahullah mereka punya kebiasaan yang berbeda dalam mengkhatamkan Al-Qur'an.

Ada yang khatam dalam satu raka’at dan jumlah mereka tidak terhitung banyaknya, diantara mereka adalah Utsman bin Affan, Tamim bin Aus Ad Dariy, dan Sa’id bin Jubair radhiyallahu 'anhum.

Ada yang khatam sekali dalam seminggu dan jumlah mereka banyak. Dinukilkan seperti Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit Dan Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhum, dan dari kalangan tabi’in seperti Abdurrahman bin Yazid, Alqamah, dan Ibrahim An Nakha’i rahimahumullah.”

Bagaimana dengan Hadits yang melarang khatam kurang dari 3 hari ?

Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ فِى كَمْ أَقْرَأُ الْقُرْآنَ قَالَ « فِى شَهْرٍ ». قَالَ إِنِّى أَقْوَى مِنْ ذَلِكَ وَتَنَاقَصَهُ حَتَّى قَالَ « اقْرَأْهُ فِى سَبْعٍ ». قَالَ إِنِّى أَقْوَى مِنْ ذَلِكَ. قَالَ « لاَ يَفْقَهُ مَنْ قَرَأَهُ فِى أَقَلَّ مِنْ ثَلاَثٍ »
“Wahai Rasulullah dalam berapa hari aku boleh mengkhatamkan Al Qur’an. Beliau menjawab, “Dalam satu bulan.” ‘Abdullah menjawab, “Aku masih lebih kuat dari itu.” Lantas hal itu dikurangi hingga Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyatakan, “Khatamkanlah dalam waktu seminggu.” ‘Abdullah masih menjawab, “Aku masih lebih kuat dari itu.” Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lantas bersabda, “Tidaklah bisa memahaminya jika ada yang mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari.” [HR. Abu Daud no. 1390 dan Ahmad 2: 195. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih]
Al Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan, bahwa yang demikian itu berbeda tergantung pada orang masing-masing. Orang yang sibuk pikirannya, maka berusaha sebisa mungkin sesuai kemampuan pemahamannya. Begitu pula orang yang sibuk dalam menyebarkan ilmu atau sibuk mengurus urusan agama lainnya atau urusan orang banyak, berusahalah pula untuk mengkhatamkannya sesuai kemampuan. Sedangkan selain mereka yang disebut tadi, hendaknya bisa memperbanyak membaca, jangan sampai jadi lalai. [At Tibyan, Hal 45-48, Dar An Nafais, Beirut cetakan ketiga tahun 1413 H/ 1992 M].

Dalam Lathaif Al Ma’arif (hal. 306) disebutkan oleh Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah, “Larangan mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari itu ada jika dilakukan terus menerus. Sedangkan jika sesekali dilakukan apalagi di waktu utama seperti bulan Ramadhan terlebih lagi pada malam yang dinanti yaitu Lailatul Qadar atau di tempat yang mulia seperti di Makkah bagi yang mendatanginya dan ia bukan penduduk Makkah, maka disunnahkan untuk memperbanyak tilawah untuk memanfaatkan pahala melimpah terkait waktu dan tempat. Inilah pendapat dari Imam Ahmad rahimahullah dan Ishaq serta ulama besar lainnya. Inilah yang diamalkan oleh para ulama sebagaimana telah disebutkan.”

Demikianlah gambaran As-Salaf As-Shalih (ulama shalih terdahulu) tentang semangat mereka dalam membaca Al-Qur’an, bagaimana dengan kita?

Tidak dapat dipungkiri, kaum muslimin pada hari ini banyak disibukkan dengan membaca majalah, novel dan buku-buku cerita fiksi yang tidak ada manfaatnya untuk dunia dan akhirat mereka, terkhusus yang memiliki sarana teknologi informasi telekomunikasi berupa PC, Laptop, HP, Tab, dsb, mayoritas mereka lebih banyak melihat dan membaca atau meng-update status di facebook, whatsapp, twitter, dll, dibandingkan melihat dan membaca Al Qur’an.

Allah ta'ala berfirman mengabarkan keluhan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang umatnya yg mengabaikan Al Qur’an,

وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَٰذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا}
“Berkatalah Ar-Rasul (Muhammad) shallallahu 'alaihi wa sallam: “Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an itu sesuatu yang diabaikan .”
Muslim yang beradab dengan Al-Qur’an tentu tidak mau digolongkan menjadi kaum yang dikeluhkan oleh Nabi dalam ayat di atas. Semoga Allah ta'ala memperbaiki keadaan kita dan seluruh kaum muslimin.



*****


8.) Berupaya Semaksimal Mungkin untuk Beretika ketika Membaca Al Qur’an

Al Imam An Nawawi rahimahullah membuat bab khusus dalam kitabnya At-Tibyan tentang permasalahan ini diantaranya:

a. Apabila seseorang ingin membaca Al-Qur’an hendaknya ia membersihkan mulutnya dengan siwak atau yang semisalnya.

b. Hendaknya membaca Al-Qur'an dalam keadaan suci. Adapun hukumnya adalah mustahab (disukai). Dan apabila ada yang membaca Al Qur’an dalam keadaan hadats maka hukumnya boleh dengan kesepakatan para Ulama.

c. Memilih tempat yang baik dan bersih ketika membaca Al-Qur’an, seperti di masjid.

d. Menghadap kiblat sembari duduk dengan tenang dan khusyu’ seperti duduknya seorang murid di depan guru, ini yg paling sempurnanya.

Dan boleh membaca Al Qur’an sambil berdiri, berbaring, membacanya di atas kasur atau keadaan lainnya dengan posisi yang berbeda. Allah ta'ala berfirman,

إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ١٩٠ ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ١٩١
”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” [QS. Ali Imran: 190-19]
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha beliau berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membaca Al Qur’an sambil bertelekan di atas pahaku dan aku dalam keadaan haid” [HR. Bukhari dan Muslim]. Dalam riwayat yang lain “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membaca Al-Qur’an dan kepala beliau ada di atas pahaku”.

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu beliau berkata: “Sungguh aku membaca Al-Qur’an didalam shalatku dan aku pun membaca Al-Qur’an di atas kasurku”.

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha beliau berkata: “Sungguh aku membaca Hizibku (bagian dari Al Qur’an) dalam keadaan aku berbaring di atas kasur.”



e. Membaca isti’adzah sebelum membaca Al Qur’an, yakni ucapan “A’uudzu billaahi minasy syaithaanir rajiim.”

Allah ta'ala berfirman,

فَإِذَا قَرَأۡتَ ٱلۡقُرۡءَانَ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ ٩٨ 
“Apabila kamu membaca Al Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” [QS. An Nahl: 98]

f. Khusyu’ dan mentadabburi (merenungi) makna yang terkandung di dalam ayat Al Qur’an. Dan inilah maksud dan tujuan Al Qur’an itu dibaca, sehingga dada menjadi lapang dan hati menjadi terang.

Allah ta'ala berfirman,


أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ


”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an?.” [QS. An Nisa' 82]

Juga firman Allah ta’ala,

كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” [QS. Shad: 29]
Mengulang-ulang ayat dalam rangka tadabbur adalah mustahab.

Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, bahwa beliau berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat dengan mengulang-ulang sebuah ayat sampai datang waktu subuh, dan ayat itu adalah,


إِن تُعَذِّبۡهُمۡ فَإِنَّهُمۡ عِبَادُكَۖ وَإِن تَغۡفِرۡ لَهُمۡ فَإِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. Al Maidah:118)]. [Diriwayatkan oleh An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Al Hakim dalam Al Mustadrak dan beliau menshahihkannya dan disepakati oleh Adz Dzahabi]


g. Menangis ketika membaca Al Qur’an.

Allah ta'ala berfirman,


وَيَخِرُّونَ لِلۡأَذۡقَانِ يَبۡكُونَ وَيَزِيدُهُمۡ خُشُوعٗا
“Dan mereka menyungkur di atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” [QS. Al Isra’: 109]


h. Membaca Al Qur’an secara tartil.

Allah ta'ala telah memerintahkan dalam firman-Nya,


أَوۡ زِدۡ عَلَيۡهِ وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلًا

“Dan bacalah Al Qur’an itu secara tartil (perlahan-lahan).” [QS. Al Muzzammil: 4]


i. Memperbagus dan memperindah suara ketika membaca Al Qur’an.

Para ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan) telah sepakat dari kalangan para sahabat, Tabi’in dan setelah mereka dari kalangan ulama di seluruh penjuru negeri dan para imam kaum muslimin bahwa memperbagus suara ketika membaca Al-Qur’an hukumnya adalah mustahab.

Dalilnya adalah Hadits Sa’ad bin Abi Waqqas dan hadits Umamah radhiyaallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang tidak melagukan (tidak membaguskan suaranya -pen) dengan Al Qur’an maka dia bukanlah dari golongan kami.” [HR. Abu Dawud dengan dua sanad yang keduanya Jayyid). (At Tibyan, Hal 53-74, Dar An Nafais, Beirut cetakan ketiga tahun 1413 H/ 1992 M]

*****


9.) Mendengar dan Memperhatikan dengan Seksama Ketika Al-Qur’an Dibacakan

Allah ta’ala berfirman,

وَإِذَا قُرِئَ ٱلۡقُرۡءَانُ فَٱسۡتَمِعُواْ لَهُۥ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” [Al A'raf: 204]
Menghindar, mencari kesibukan lain, dan bersenda gurau atau membuat keributan ketika Al-Qur’an dibacakan adalah perbuatan orang-orang kafir.

Allah ta'ala berfirman,

وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَا تَسۡمَعُواْ لِهَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانِ وَٱلۡغَوۡاْ فِيهِ لَعَلَّكُمۡ تَغۡلِبُونَ
“Dan orang-orang yang kafir berkata: “Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka.” (QS. Fusshilat: 26]
Al Imam Ibnu katsir rahimahullah di dalam tafsirnya berkata ketika menjelaskan ayat berikut,

وَقَالَ ٱلرَّسُولُ يَٰرَبِّ إِنَّ قَوۡمِي ٱتَّخَذُواْ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ مَهۡجُورٗا
“Berkatalah Ar Rasul (Muhammad): “Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur’an itu sesuatu yang diabaikan.” [Al Furqan: 30]
“Hal itu dikarenakan mereka senantiasa tidak memperhatikan Al-Qur'an, tidak pula mendengarnya, sebagaimana firman Allah ta'ala (Surat Fusshilat ayat 26) bahwa apabila Al-Qur’an dibacakan maka mereka membuat banyak keributan dan berbicara dengan selain Al-Qur’an sehingga mereka tidak mendengarnya dan ini diantara bentuk mengabaikan Al-Qur’an. Diantara bentuk mengabaikan Al-Qur’an yang lainnya adalah:

  • Meninggalkan dari mempelajari Al Qur’an dan menghafalnya.
  • Meninggalkan dalam hal mengimani Al Qur’an dan membenarkannya.
  • Tidak mentadabburi Al Qur’an dan memahaminya.
  • Tidak mengamalkan isi kandungan Al Qur’an, tidak mengindahkan perintah dan larangannya.
  • Mengganti Al Qur’an dengan selainnya dalam bentuk syair, perkataan, nyanyian, permainan, pembicaraan atau apa saja yang bersumber dari selain Al Qur’an.

Maka kita memohon kepada Allah ta'ala yang Maha Mulia, Maha Pemurah, Yang Maha Mampu atas segala apa yang Dia kehendaki agar kita dihilangkan dari segala hal yang membuatNya murka, dan memudahkan kita untuk mengamalkan segala hal yang Dia ridhai dengan menghafalkan kitabNya (Al Qur’an), memahaminya, dan mengamalkan kandungannya siang dan malam sesuai dengan apa yang Dia cintai dan ridhai, sesungguhnya Dialah Yang Maha Mulia lagi Maha Pemberi Karunia.



Semoga bermanfaat.

[Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Al-Hafizh Ibnu Katsir]


____________________________

Ditulis Oleh Ustadz Feri Zaid Gultom

Lanjutan dari Artikel Bagian Ke-1


**********

7.) Senantiasa Membaca Al-Qur’an

Keutamaan orang yang membaca Al Qur’an:

a. Di hari kiamat Al-Qur'an Akan menjadi pemberi syafa’at terhadap orang yang membacanya.

Dari Abu Umamah Al Bahiliy radiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

اقرؤوا القرآن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعا لأصحابه
“Bacalah oleh kalian Al Qur'an karena dia (Al Qur'an) itu akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi pembacanya.” [ HR. Muslim]
b. Semakin banyak seseorang membaca Al-Qur'an maka akan menjadi semakin tinggi pula derajatnya di surga nanti.

Dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash radiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ في الدُّنْيَا فإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيةٍ تَقْرَؤُهَا
“Dikatakan kepada orang yang membaca Al Qur’an (pada Hari kiamat): Bacalah, naiklah, dan tartilkanlah sebagaimana kamu membaca tartil di dunia, karena kedudukanmu (di surga) sesuai dengan akhir ayat yang kamu baca.” [HR. At Tirmidzi dan Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al Albani]

c. Membaca satu huruf dari Al-Qur’an sama dengan satu kebaikan, lalu satu kebaikan itu akan Allah lipat gandakan menjadi sepuluh kebaikan.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

من قرأ حرفا من كتاب الله فله به حسنة، والحسنة بعشر أمثالها، لا أقول: ألم حرف؛ ولكن ألف حرف , ولام حرف، وميم حرف
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitabullah maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan akan Allah lipat gandakan menjadi sepuluh. Aku tidak mengatakan “Alif Lam Mim” satu huruf, akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf , dan Mim satu huruf.” (HR. At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani]

d. Tiga ayat yang dibaca dalam satu shalat itu lebih bagus daripada tiga unta yang sangat besar dan gemuk.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ أَنْ يَجِدَ فِيهِ ثَلَاثَ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ؟» قُلْنَا: نَعَمْ، قَالَ: «فَثَلَاثُ آيَاتٍ يَقْرَأُ بِهِنَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلَاثِ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ
“Apakah salah seorang diantara kalian suka jika pulang kepada keluarganya di rumah dengan mendapatkan tiga unta yang besar dan gemuk?”, mereka menjawab: “Ya”. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Tiga ayat yang kalian baca dalam shalat itu lebih bagus daripada tiga unta besar dan gemuk.” [HR. Muslim]
Ketahuilah bahwa seekor unta yang besar dan gemuk saat ini bisa setara dengan harga sebuah mobil.


e. Keutamaan ini Tidak hanya terbatas kepada pembaca Al-Qur'an saja, bahkan orang tua yang mempunyai anak, lalu anak itu membaca Al-Qur’an dan mengamalkannya, maka Allah ta'ala akan memberikan mahkota kepada kedua orangtua anak tadi pada hari kiamat yang sinarnya lebih bagus dari sinar matahari.

Dari Sahl bin Mu'adz radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَعَمِلَ بِمَا فِيهِ أُلْبِسَ وَالِدَاهُ تَاجًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ضَوْءُهُ أَحْسَنُ مِنْ ضَوْءِ الشَّمْسِ
“Barangsiapa yang membaca Al Qur’an dan mengamalkan apa yang ada didalamnya, maka di Hari Kiamat nanti orang tuanya akan dipakaikan mahkota yang sinarnya lebih bagus dari sinar matahari.” [HR. Abu Dawud dan Al Hakim, beliau berkata: Shahih Al Isnad]
Al Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hendaknya ia konsisten dan banyak membaca Al-Qur’an, dahulu para Salaf rahimahullah mereka punya kebiasaan yang berbeda dalam mengkhatamkan Al-Qur'an.

Ada yang khatam dalam satu raka’at dan jumlah mereka tidak terhitung banyaknya, diantara mereka adalah Utsman bin Affan, Tamim bin Aus Ad Dariy, dan Sa’id bin Jubair radhiyallahu 'anhum.

Ada yang khatam sekali dalam seminggu dan jumlah mereka banyak. Dinukilkan seperti Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit Dan Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhum, dan dari kalangan tabi’in seperti Abdurrahman bin Yazid, Alqamah, dan Ibrahim An Nakha’i rahimahumullah.”

Bagaimana dengan Hadits yang melarang khatam kurang dari 3 hari ?

Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ فِى كَمْ أَقْرَأُ الْقُرْآنَ قَالَ « فِى شَهْرٍ ». قَالَ إِنِّى أَقْوَى مِنْ ذَلِكَ وَتَنَاقَصَهُ حَتَّى قَالَ « اقْرَأْهُ فِى سَبْعٍ ». قَالَ إِنِّى أَقْوَى مِنْ ذَلِكَ. قَالَ « لاَ يَفْقَهُ مَنْ قَرَأَهُ فِى أَقَلَّ مِنْ ثَلاَثٍ »
“Wahai Rasulullah dalam berapa hari aku boleh mengkhatamkan Al Qur’an. Beliau menjawab, “Dalam satu bulan.” ‘Abdullah menjawab, “Aku masih lebih kuat dari itu.” Lantas hal itu dikurangi hingga Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyatakan, “Khatamkanlah dalam waktu seminggu.” ‘Abdullah masih menjawab, “Aku masih lebih kuat dari itu.” Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lantas bersabda, “Tidaklah bisa memahaminya jika ada yang mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari.” [HR. Abu Daud no. 1390 dan Ahmad 2: 195. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih]
Al Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan, bahwa yang demikian itu berbeda tergantung pada orang masing-masing. Orang yang sibuk pikirannya, maka berusaha sebisa mungkin sesuai kemampuan pemahamannya. Begitu pula orang yang sibuk dalam menyebarkan ilmu atau sibuk mengurus urusan agama lainnya atau urusan orang banyak, berusahalah pula untuk mengkhatamkannya sesuai kemampuan. Sedangkan selain mereka yang disebut tadi, hendaknya bisa memperbanyak membaca, jangan sampai jadi lalai. [At Tibyan, Hal 45-48, Dar An Nafais, Beirut cetakan ketiga tahun 1413 H/ 1992 M].

Dalam Lathaif Al Ma’arif (hal. 306) disebutkan oleh Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah, “Larangan mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari itu ada jika dilakukan terus menerus. Sedangkan jika sesekali dilakukan apalagi di waktu utama seperti bulan Ramadhan terlebih lagi pada malam yang dinanti yaitu Lailatul Qadar atau di tempat yang mulia seperti di Makkah bagi yang mendatanginya dan ia bukan penduduk Makkah, maka disunnahkan untuk memperbanyak tilawah untuk memanfaatkan pahala melimpah terkait waktu dan tempat. Inilah pendapat dari Imam Ahmad rahimahullah dan Ishaq serta ulama besar lainnya. Inilah yang diamalkan oleh para ulama sebagaimana telah disebutkan.”

Demikianlah gambaran As-Salaf As-Shalih (ulama shalih terdahulu) tentang semangat mereka dalam membaca Al-Qur’an, bagaimana dengan kita?

Tidak dapat dipungkiri, kaum muslimin pada hari ini banyak disibukkan dengan membaca majalah, novel dan buku-buku cerita fiksi yang tidak ada manfaatnya untuk dunia dan akhirat mereka, terkhusus yang memiliki sarana teknologi informasi telekomunikasi berupa PC, Laptop, HP, Tab, dsb, mayoritas mereka lebih banyak melihat dan membaca atau meng-update status di facebook, whatsapp, twitter, dll, dibandingkan melihat dan membaca Al Qur’an.

Allah ta'ala berfirman mengabarkan keluhan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang umatnya yg mengabaikan Al Qur’an,

وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَٰذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا}
“Berkatalah Ar-Rasul (Muhammad) shallallahu 'alaihi wa sallam: “Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an itu sesuatu yang diabaikan .”
Muslim yang beradab dengan Al-Qur’an tentu tidak mau digolongkan menjadi kaum yang dikeluhkan oleh Nabi dalam ayat di atas. Semoga Allah ta'ala memperbaiki keadaan kita dan seluruh kaum muslimin.



*****


8.) Berupaya Semaksimal Mungkin untuk Beretika ketika Membaca Al Qur’an

Al Imam An Nawawi rahimahullah membuat bab khusus dalam kitabnya At-Tibyan tentang permasalahan ini diantaranya:

a. Apabila seseorang ingin membaca Al-Qur’an hendaknya ia membersihkan mulutnya dengan siwak atau yang semisalnya.

b. Hendaknya membaca Al-Qur'an dalam keadaan suci. Adapun hukumnya adalah mustahab (disukai). Dan apabila ada yang membaca Al Qur’an dalam keadaan hadats maka hukumnya boleh dengan kesepakatan para Ulama.

c. Memilih tempat yang baik dan bersih ketika membaca Al-Qur’an, seperti di masjid.

d. Menghadap kiblat sembari duduk dengan tenang dan khusyu’ seperti duduknya seorang murid di depan guru, ini yg paling sempurnanya.

Dan boleh membaca Al Qur’an sambil berdiri, berbaring, membacanya di atas kasur atau keadaan lainnya dengan posisi yang berbeda. Allah ta'ala berfirman,

إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ١٩٠ ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ١٩١
”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” [QS. Ali Imran: 190-19]
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha beliau berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membaca Al Qur’an sambil bertelekan di atas pahaku dan aku dalam keadaan haid” [HR. Bukhari dan Muslim]. Dalam riwayat yang lain “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membaca Al-Qur’an dan kepala beliau ada di atas pahaku”.

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu beliau berkata: “Sungguh aku membaca Al-Qur’an didalam shalatku dan aku pun membaca Al-Qur’an di atas kasurku”.

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha beliau berkata: “Sungguh aku membaca Hizibku (bagian dari Al Qur’an) dalam keadaan aku berbaring di atas kasur.”



e. Membaca isti’adzah sebelum membaca Al Qur’an, yakni ucapan “A’uudzu billaahi minasy syaithaanir rajiim.”

Allah ta'ala berfirman,

فَإِذَا قَرَأۡتَ ٱلۡقُرۡءَانَ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ ٩٨ 
“Apabila kamu membaca Al Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” [QS. An Nahl: 98]

f. Khusyu’ dan mentadabburi (merenungi) makna yang terkandung di dalam ayat Al Qur’an. Dan inilah maksud dan tujuan Al Qur’an itu dibaca, sehingga dada menjadi lapang dan hati menjadi terang.

Allah ta'ala berfirman,


أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ


”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an?.” [QS. An Nisa' 82]

Juga firman Allah ta’ala,

كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” [QS. Shad: 29]
Mengulang-ulang ayat dalam rangka tadabbur adalah mustahab.

Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, bahwa beliau berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat dengan mengulang-ulang sebuah ayat sampai datang waktu subuh, dan ayat itu adalah,


إِن تُعَذِّبۡهُمۡ فَإِنَّهُمۡ عِبَادُكَۖ وَإِن تَغۡفِرۡ لَهُمۡ فَإِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. Al Maidah:118)]. [Diriwayatkan oleh An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Al Hakim dalam Al Mustadrak dan beliau menshahihkannya dan disepakati oleh Adz Dzahabi]


g. Menangis ketika membaca Al Qur’an.

Allah ta'ala berfirman,


وَيَخِرُّونَ لِلۡأَذۡقَانِ يَبۡكُونَ وَيَزِيدُهُمۡ خُشُوعٗا
“Dan mereka menyungkur di atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” [QS. Al Isra’: 109]


h. Membaca Al Qur’an secara tartil.

Allah ta'ala telah memerintahkan dalam firman-Nya,


أَوۡ زِدۡ عَلَيۡهِ وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلًا

“Dan bacalah Al Qur’an itu secara tartil (perlahan-lahan).” [QS. Al Muzzammil: 4]


i. Memperbagus dan memperindah suara ketika membaca Al Qur’an.

Para ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan) telah sepakat dari kalangan para sahabat, Tabi’in dan setelah mereka dari kalangan ulama di seluruh penjuru negeri dan para imam kaum muslimin bahwa memperbagus suara ketika membaca Al-Qur’an hukumnya adalah mustahab.

Dalilnya adalah Hadits Sa’ad bin Abi Waqqas dan hadits Umamah radhiyaallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang tidak melagukan (tidak membaguskan suaranya -pen) dengan Al Qur’an maka dia bukanlah dari golongan kami.” [HR. Abu Dawud dengan dua sanad yang keduanya Jayyid). (At Tibyan, Hal 53-74, Dar An Nafais, Beirut cetakan ketiga tahun 1413 H/ 1992 M]

*****


9.) Mendengar dan Memperhatikan dengan Seksama Ketika Al-Qur’an Dibacakan

Allah ta’ala berfirman,

وَإِذَا قُرِئَ ٱلۡقُرۡءَانُ فَٱسۡتَمِعُواْ لَهُۥ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” [Al A'raf: 204]
Menghindar, mencari kesibukan lain, dan bersenda gurau atau membuat keributan ketika Al-Qur’an dibacakan adalah perbuatan orang-orang kafir.

Allah ta'ala berfirman,

وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَا تَسۡمَعُواْ لِهَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانِ وَٱلۡغَوۡاْ فِيهِ لَعَلَّكُمۡ تَغۡلِبُونَ
“Dan orang-orang yang kafir berkata: “Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka.” (QS. Fusshilat: 26]
Al Imam Ibnu katsir rahimahullah di dalam tafsirnya berkata ketika menjelaskan ayat berikut,

وَقَالَ ٱلرَّسُولُ يَٰرَبِّ إِنَّ قَوۡمِي ٱتَّخَذُواْ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ مَهۡجُورٗا
“Berkatalah Ar Rasul (Muhammad): “Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur’an itu sesuatu yang diabaikan.” [Al Furqan: 30]
“Hal itu dikarenakan mereka senantiasa tidak memperhatikan Al-Qur'an, tidak pula mendengarnya, sebagaimana firman Allah ta'ala (Surat Fusshilat ayat 26) bahwa apabila Al-Qur’an dibacakan maka mereka membuat banyak keributan dan berbicara dengan selain Al-Qur’an sehingga mereka tidak mendengarnya dan ini diantara bentuk mengabaikan Al-Qur’an. Diantara bentuk mengabaikan Al-Qur’an yang lainnya adalah:

  • Meninggalkan dari mempelajari Al Qur’an dan menghafalnya.
  • Meninggalkan dalam hal mengimani Al Qur’an dan membenarkannya.
  • Tidak mentadabburi Al Qur’an dan memahaminya.
  • Tidak mengamalkan isi kandungan Al Qur’an, tidak mengindahkan perintah dan larangannya.
  • Mengganti Al Qur’an dengan selainnya dalam bentuk syair, perkataan, nyanyian, permainan, pembicaraan atau apa saja yang bersumber dari selain Al Qur’an.

Maka kita memohon kepada Allah ta'ala yang Maha Mulia, Maha Pemurah, Yang Maha Mampu atas segala apa yang Dia kehendaki agar kita dihilangkan dari segala hal yang membuatNya murka, dan memudahkan kita untuk mengamalkan segala hal yang Dia ridhai dengan menghafalkan kitabNya (Al Qur’an), memahaminya, dan mengamalkan kandungannya siang dan malam sesuai dengan apa yang Dia cintai dan ridhai, sesungguhnya Dialah Yang Maha Mulia lagi Maha Pemberi Karunia.



Semoga bermanfaat.

[Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Al-Hafizh Ibnu Katsir]


____________________________

Ditulis Oleh Ustadz Feri Zaid Gultom

ADAB TERHADAP AL-QUR'AN (Bagian Ke-1)

ADAB TERHADAP AL-QUR'AN (Bagian Ke-1)


Allah ta’ala berfirman,

ذَٰلِكَۖ وَمَن يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [QS Al Hajj : 32]
Di antara syiar-syiar agama Allah subhanahu wa ta'ala adalah Al-Qur’an Al-Karim karena ia merupakan kalam Allah subhanahu wa ta'ala sehingga harus dimuliakan dan dihormati. Di antara adab terhadap Al Qur’an adalah:


1.) Meyakini Bahwa Al-Qur’an adalah:
  • Kalamullah, Firman/Wahyu Allah subhanahu wa ta'ala.
  • Diturunkan melalui perantaraan Malaikat Jibril 'alaihissalam kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam bahasa Arab yang dapat dipahami dengan jelas.
Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala,

وَإِنَّهُۥ لَتَنزِيلُ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٩٢ نَزَلَ بِهِ ٱلرُّوحُ ٱلۡأَمِينُ ١٩٣ عَلَىٰ قَلۡبِكَ لِتَكُونَ مِنَ ٱلۡمُنذِرِينَ ١٩٤ بِلِسَانٍ عَرَبِيّٖ مُّبِينٖ
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” [QS. Asy-Syu’araa’ : 192-195]. 

*****

2.) Menolak Keyakinan bahwa Al Qur’an adalah Makhluk

Al-Imam Ar-Rabi’ (Sahabat dan Murid Al-Imam As-Syafi'i) berkata:

سمعت الشافعي رحمه الله تعالى يقول : القرآن كلام الله عز وجل غير مخلوق ، ومن قال مخلوق فهو كاف
Aku mendengar Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: ”Al-Qur’an itu adalah Kalamullah subhanahu wa ta'ala, bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan bahwasannya ia adalah makhluk maka ia telah kafir” [Asy-Syari’ah oleh Al-Imam Al-Ajurri hal. 59; Maktabah Al-Misykah]

*****

3.) Tidak Boleh ada Keraguan Terhadap Al Qur’an yang Merupakan Pedoman Hidup bagi Orang yang Beriman dan Petunjuk bagi Orang yang Bertaqwa

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

الٓمٓ ١ ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢
”Alif laam miim. Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” [QS. Al Baqarah: 1-2]
Ayat di atas sekaligus bantahan terhadap keyakinan bahwa:
  • “Al Qur’an perlu direvisi” atau
  • “Al Qur’an tidak universal dan tidak relevan untuk setiap waktu dan tempat” dan ungkapan-ungkapan yang semisal dengannya dari berbagai bentuk keraguan atau keyakinan yang menyimpang terhadap Al Qur’an.

*****

4.) Tidak Menyentuh Al Qur’an Kecuali dalam Keadaan Suci

Orang yang berhadats (hadats besar seperti wanita yang sedang haid, nifas, dan junub atau hadats kecil seperti orang yang sehabis kentut atau kencing dan belum bersuci.) tidak boleh menyentuh mushaf seluruhnya atau sebagiannya. Inilah pendapat Jumhur (mayoritas) para Ulama. Dalil dari hal ini adalah firman Allah ta'ala,

لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلۡمُطَهَّرُونَ
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” [QS. Al Waqi’ah: 79]
Begitu pula sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu,

لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
“Janganlah menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.” [HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih]
Lihat kitab Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, Al-Imam Al-Qurthubi dalam penjelasan tafsir surat Al-Waqi'ah ayat 79 diatas.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun menyentuh mushaf maka pendapat yang benar wajib berwudhu sebelum menyentuh mushaf sebagaimana pendapat jumhur (mayoritas ulama). Inilah pendapat yang diketahui dari para sahabat, seperti Sa’ad, Salman, dan Ibnu Umar” (Majmu’ Al Fatawa, 21/288)


*****

5.) Tidak Membawa Al-Qur'an ke Tempat yang Kotor dan Najis

Komite Tetap Kajian Ilmiah Dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia ditanya, "Salah seorang diantara kami membawa mushaf di sakunya dan kadang-kadang ia masuk ke dalam WC dengan itu. Apa hukumnya? Tolong beri kami faedah."
Jawaban:
الحمد لله وحده والصلاة والسلام على رسوله وآله وصحبه . وبعد .
“Membawa mushaf di dalam saku adalah boleh. Dan tidak boleh bagi seseorang untuk masuk ke dalam kamar mandi sambil membawa mushaf. Sebaliknya, hendaklah ia meletakkan mushaf itu di tempat yang layak sebagai bentuk pemuliaan terhadap Kitab Allah ta'ala dan penghormatan kepadanya. Akan tetapi, jika terpaksa untuk masuk ke dalam kamar mandi sambil membawanya karena takut ada yang mencurinya jika diletakkan di luar, maka boleh baginya untuk membawanya masuk karena darurat.”
[Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, soal II dari no. 2245]

Bagaimana dengan Handphone yang didalamnya terdapat aplikasi Al Qur’an?

Di dalam kitab Fiqh An Nawazil fil ‘Ibadah, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan pertama, tahun 1433 H, hal. 96-98, Syaikh Prof. Dr. Kholid bin ‘Ali Al Musyaiqih menjelaskan: “Handphone yang memiliki aplikasi Al Qur’an atau berupa soft file, tidak dihukumi seperti hukum mushaf Al Qur’an (di mana harus dalam keadaan bersuci ketika ingin menyentuhnya, -pen). Handphone seperti ini boleh disentuh meskipun tidak dalam keadaan thoharoh (bersuci). Begitu pula HP ini bisa dibawa masuk ke dalam kamar mandi karena aplikasi Al Qur’an di dalamnya tidaklah seperti mushaf. Ia hanya berupa aplikasi yang ketika dibuka barulah nampak huruf-hurufnya, ditambah dengan suara jika di play. Aplikasi Al Qur’an tersebut akan tampak, namun jika beralih ke aplikasi lainnya ia akan tertutup. Yang jelas aplikasi tersebut tidak terus ON (ada atau nyala). Bahkan dalam HP tersebut bukan hanya ada aplikasi Al Qur’an saja, namun juga aplikasi lainnya.

Ringkasnya, HP tersebut dihukumi seperti mushaf ketika aplikasinya dibuka dan ayat-ayat Al Qur’an terlihat. Namun lebih hati-hatinya, aplikasi Al Qur’an dalam HP tersebut tidak disentuh dalam keadaan tidak suci, cukup menyentuh bagian pinggir HP-nya saja. Wallahu a’lam.”


*****

6.) Memuliakan Al Qur’an dengan Meletakkan Mushaf Al Qur’an pada Tempat yang Selazimnya

Al Imam Al Qurthubi berkata dalam Tafsirnya, menukil ucapan At Turmudzi Al Hakim Abu Abdillah di dalam Nawadir Al Ushul:

“Diantara bentuk memuliakan Al-Qur’an adalah:
  • Apabila ia meletakan Al-Qur'an janganlah ia biarkan dalam keadaan berserakan;
  • Jangan meletakan sesuatu di atas Al-Quran berupa kitab-kitab ilmiyah atau selainya, sehingga posisinya lebih tinggi diatas Al-Qur'an.
  • Tidak Menulis Al-Qur'an di atas tanah dan dinding sebagaimana hal ini dilakukan pada masjid-masjid yang ada belakangan ini.”
Dari Abu Darda’ radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


إذا زخرفتم مساجدكم و حليتم مصاحفكم فاالدبار عليكم
“Jika kalian sudah bermegah-megahan dengan masjid kalian dan kalian telah menghias-hiasi mushaf kalian maka kebinasaan (akan menimpa) atas kalian.” [HR. Hakim]
Dari Muhammad bin Az-Zubair berkata aku mendengar Umar bin Abdul Aziz bercerita: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melewati sebuah tulisan di atas tanah, maka beliau berkata kepada seorang pemuda dari Hudzail: “Apa ini?”, Ia berkata: “Tulisan dari Kitab Allah yang ditulis orang Yahudi.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


لعن الله من فعل هذا لا تضعوا كتاب الله إلا موضعه
“Semoga laknat Allah menimpa orang yang melakukan perbuatan ini, janganlah kalian meletakkan Kitab Allah melainkan pada tempatnya.”
Muhammad bin Az Zubair berkata: “Umar bin Abdul Aziz pernah melihat anaknya menulis Al Qur’an pada sebuah dinding maka beliaupun memukulnya.” ( Al Jami' li Ahkam Al Qur’an Juz 1 hal 28-30, Dar Ihya At Turats Al Arabiy, Beirut Libanon 1405 H/1985 M ).

Bagaiman dengan kaligrafi/stiker Al Qur’an yang digantung, ditempel di dinding rumah atau kendaraan?

Di dalam kitab As-Sihr wa Asy-Syu’udzah, terbitan Darul Qosim, 67-69, Syaikh Prof. DR. Sholeh Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya:
“Apakah boleh seorang muslim menggantungkan ayat kursi, ayat lainnya atau berbagai macam do’a di lehernya atau di rumah, mobil, dan ruang kerjanya dalam rangka “ngalap berkah” dan meyakini bahwa dengan menggantungnya setan pun akan lari?”
Jawaban beliau hafizhahullah:
“Tidak boleh seorang muslim menggantungkan ayat kursi dan ayat Al Qur’an lainnya atau berbagai do’a yang syar’i di lehernya dengan tujuan untuk mengusir setan atau untuk menyembuhkan diri dari penyakit. Inilah pendapat yang tepat dari pendapat para ulama yang ada. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menggantungkan tamimah (jimat) apa pun bentuknya, dan ayat yang digantung semacam itu termasuk tamimah.”
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam Kitab At-Tauhid menjelaskan bahwa tamimah adalah segala sesuatu yang digantungkan pada anak-anak dengan tujuan untuk melindungi mereka dari ‘ain (pandangan hasad). Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya jampi-jampi, jimat, dan pelet adalah syirik”. [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud. (Hadits ini dishahihkan oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi)]
Sedangkan menggantungkan ayat Al-Qur’an di leher atau bagian badan lainnya tidak diperbolehkan menurut pendapat yang kuat dari pendapat para ulama. Alasannya karena keumuman larangan menggantungkan tamimah. Dan menggantungkan ayat seperti itu termasuk bagian dari tamimah.

Alasan kedua, larangan ini dimaksudkan untuk menutup pintu dari hal yang lebih parah yaitu menggantungkan jimat yang bukan dari ayat Al-Qur’an. Alasan ketiga, menggantungkan ayat semacam ini juga dapat melecehkan dan tidak menghormati ayat suci Al-Qur’an (seperti di bawa ke toilet dan tempat yang kotor apalagi anak-anak terkhusus bayi yg tidak diketahui secara pasti kapan pipis dan "pup" nya. pen)

Adapun menggantungkan ayat Al-Qur’an pada selain anggota badan seperti pada mobil, tembok, rumah, atau kantor dengan tujuan untuk “ngalap berkah” dan ada juga yang bertujuan untuk mengusir setan, maka saya tidak mengetahui kalau ada ulama yang membolehkannya. Perbuatan semacam ini termasuk menggunakan tamimah yang terlarang. Dan alasan kedua, perbuatan semacam ini termasuk pelecehan pada Al-Qur’an. Juga alasan ketiga, hal semacam ini tidak ada pendahulunya (tidak ada salafnya). Para ulama di masa silam tidaklah pernah menggantungkan ayat Al Qur’an di dinding untuk tujuan “ngalap berkah” atau menghindarkan diri dari bahaya. Yang mereka lakukan malah menghafalkan Al Qur’an di hati-hati mereka (bukan sekedar dipajang, pen). Mereka menulis ayat Al Qur’an di mushaf-mushaf, mereka mengamalkan dan mengajarkan pelajaran hukum dari berbagai ayat. Yang mereka lakukan adalah mentadabburi ayat Al-Qur’an sebagaimana perintah Allah.


*****


Bersambung ke Artikel Bagian Ke-2
ADAB TERHADAP AL-QUR'AN (Bagian Ke-2)

____________________________

Ditulis Oleh Ustadz Feri Zaid Gultom

Allah ta’ala berfirman,

ذَٰلِكَۖ وَمَن يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [QS Al Hajj : 32]
Di antara syiar-syiar agama Allah subhanahu wa ta'ala adalah Al-Qur’an Al-Karim karena ia merupakan kalam Allah subhanahu wa ta'ala sehingga harus dimuliakan dan dihormati. Di antara adab terhadap Al Qur’an adalah:


1.) Meyakini Bahwa Al-Qur’an adalah:
  • Kalamullah, Firman/Wahyu Allah subhanahu wa ta'ala.
  • Diturunkan melalui perantaraan Malaikat Jibril 'alaihissalam kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam bahasa Arab yang dapat dipahami dengan jelas.
Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala,

وَإِنَّهُۥ لَتَنزِيلُ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٩٢ نَزَلَ بِهِ ٱلرُّوحُ ٱلۡأَمِينُ ١٩٣ عَلَىٰ قَلۡبِكَ لِتَكُونَ مِنَ ٱلۡمُنذِرِينَ ١٩٤ بِلِسَانٍ عَرَبِيّٖ مُّبِينٖ
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” [QS. Asy-Syu’araa’ : 192-195]. 

*****

2.) Menolak Keyakinan bahwa Al Qur’an adalah Makhluk

Al-Imam Ar-Rabi’ (Sahabat dan Murid Al-Imam As-Syafi'i) berkata:

سمعت الشافعي رحمه الله تعالى يقول : القرآن كلام الله عز وجل غير مخلوق ، ومن قال مخلوق فهو كاف
Aku mendengar Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: ”Al-Qur’an itu adalah Kalamullah subhanahu wa ta'ala, bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan bahwasannya ia adalah makhluk maka ia telah kafir” [Asy-Syari’ah oleh Al-Imam Al-Ajurri hal. 59; Maktabah Al-Misykah]

*****

3.) Tidak Boleh ada Keraguan Terhadap Al Qur’an yang Merupakan Pedoman Hidup bagi Orang yang Beriman dan Petunjuk bagi Orang yang Bertaqwa

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

الٓمٓ ١ ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢
”Alif laam miim. Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” [QS. Al Baqarah: 1-2]
Ayat di atas sekaligus bantahan terhadap keyakinan bahwa:
  • “Al Qur’an perlu direvisi” atau
  • “Al Qur’an tidak universal dan tidak relevan untuk setiap waktu dan tempat” dan ungkapan-ungkapan yang semisal dengannya dari berbagai bentuk keraguan atau keyakinan yang menyimpang terhadap Al Qur’an.

*****

4.) Tidak Menyentuh Al Qur’an Kecuali dalam Keadaan Suci

Orang yang berhadats (hadats besar seperti wanita yang sedang haid, nifas, dan junub atau hadats kecil seperti orang yang sehabis kentut atau kencing dan belum bersuci.) tidak boleh menyentuh mushaf seluruhnya atau sebagiannya. Inilah pendapat Jumhur (mayoritas) para Ulama. Dalil dari hal ini adalah firman Allah ta'ala,

لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلۡمُطَهَّرُونَ
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” [QS. Al Waqi’ah: 79]
Begitu pula sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu,

لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
“Janganlah menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.” [HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih]
Lihat kitab Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, Al-Imam Al-Qurthubi dalam penjelasan tafsir surat Al-Waqi'ah ayat 79 diatas.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun menyentuh mushaf maka pendapat yang benar wajib berwudhu sebelum menyentuh mushaf sebagaimana pendapat jumhur (mayoritas ulama). Inilah pendapat yang diketahui dari para sahabat, seperti Sa’ad, Salman, dan Ibnu Umar” (Majmu’ Al Fatawa, 21/288)


*****

5.) Tidak Membawa Al-Qur'an ke Tempat yang Kotor dan Najis

Komite Tetap Kajian Ilmiah Dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia ditanya, "Salah seorang diantara kami membawa mushaf di sakunya dan kadang-kadang ia masuk ke dalam WC dengan itu. Apa hukumnya? Tolong beri kami faedah."
Jawaban:
الحمد لله وحده والصلاة والسلام على رسوله وآله وصحبه . وبعد .
“Membawa mushaf di dalam saku adalah boleh. Dan tidak boleh bagi seseorang untuk masuk ke dalam kamar mandi sambil membawa mushaf. Sebaliknya, hendaklah ia meletakkan mushaf itu di tempat yang layak sebagai bentuk pemuliaan terhadap Kitab Allah ta'ala dan penghormatan kepadanya. Akan tetapi, jika terpaksa untuk masuk ke dalam kamar mandi sambil membawanya karena takut ada yang mencurinya jika diletakkan di luar, maka boleh baginya untuk membawanya masuk karena darurat.”
[Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, soal II dari no. 2245]

Bagaimana dengan Handphone yang didalamnya terdapat aplikasi Al Qur’an?

Di dalam kitab Fiqh An Nawazil fil ‘Ibadah, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan pertama, tahun 1433 H, hal. 96-98, Syaikh Prof. Dr. Kholid bin ‘Ali Al Musyaiqih menjelaskan: “Handphone yang memiliki aplikasi Al Qur’an atau berupa soft file, tidak dihukumi seperti hukum mushaf Al Qur’an (di mana harus dalam keadaan bersuci ketika ingin menyentuhnya, -pen). Handphone seperti ini boleh disentuh meskipun tidak dalam keadaan thoharoh (bersuci). Begitu pula HP ini bisa dibawa masuk ke dalam kamar mandi karena aplikasi Al Qur’an di dalamnya tidaklah seperti mushaf. Ia hanya berupa aplikasi yang ketika dibuka barulah nampak huruf-hurufnya, ditambah dengan suara jika di play. Aplikasi Al Qur’an tersebut akan tampak, namun jika beralih ke aplikasi lainnya ia akan tertutup. Yang jelas aplikasi tersebut tidak terus ON (ada atau nyala). Bahkan dalam HP tersebut bukan hanya ada aplikasi Al Qur’an saja, namun juga aplikasi lainnya.

Ringkasnya, HP tersebut dihukumi seperti mushaf ketika aplikasinya dibuka dan ayat-ayat Al Qur’an terlihat. Namun lebih hati-hatinya, aplikasi Al Qur’an dalam HP tersebut tidak disentuh dalam keadaan tidak suci, cukup menyentuh bagian pinggir HP-nya saja. Wallahu a’lam.”


*****

6.) Memuliakan Al Qur’an dengan Meletakkan Mushaf Al Qur’an pada Tempat yang Selazimnya

Al Imam Al Qurthubi berkata dalam Tafsirnya, menukil ucapan At Turmudzi Al Hakim Abu Abdillah di dalam Nawadir Al Ushul:

“Diantara bentuk memuliakan Al-Qur’an adalah:
  • Apabila ia meletakan Al-Qur'an janganlah ia biarkan dalam keadaan berserakan;
  • Jangan meletakan sesuatu di atas Al-Quran berupa kitab-kitab ilmiyah atau selainya, sehingga posisinya lebih tinggi diatas Al-Qur'an.
  • Tidak Menulis Al-Qur'an di atas tanah dan dinding sebagaimana hal ini dilakukan pada masjid-masjid yang ada belakangan ini.”
Dari Abu Darda’ radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


إذا زخرفتم مساجدكم و حليتم مصاحفكم فاالدبار عليكم
“Jika kalian sudah bermegah-megahan dengan masjid kalian dan kalian telah menghias-hiasi mushaf kalian maka kebinasaan (akan menimpa) atas kalian.” [HR. Hakim]
Dari Muhammad bin Az-Zubair berkata aku mendengar Umar bin Abdul Aziz bercerita: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melewati sebuah tulisan di atas tanah, maka beliau berkata kepada seorang pemuda dari Hudzail: “Apa ini?”, Ia berkata: “Tulisan dari Kitab Allah yang ditulis orang Yahudi.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


لعن الله من فعل هذا لا تضعوا كتاب الله إلا موضعه
“Semoga laknat Allah menimpa orang yang melakukan perbuatan ini, janganlah kalian meletakkan Kitab Allah melainkan pada tempatnya.”
Muhammad bin Az Zubair berkata: “Umar bin Abdul Aziz pernah melihat anaknya menulis Al Qur’an pada sebuah dinding maka beliaupun memukulnya.” ( Al Jami' li Ahkam Al Qur’an Juz 1 hal 28-30, Dar Ihya At Turats Al Arabiy, Beirut Libanon 1405 H/1985 M ).

Bagaiman dengan kaligrafi/stiker Al Qur’an yang digantung, ditempel di dinding rumah atau kendaraan?

Di dalam kitab As-Sihr wa Asy-Syu’udzah, terbitan Darul Qosim, 67-69, Syaikh Prof. DR. Sholeh Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya:
“Apakah boleh seorang muslim menggantungkan ayat kursi, ayat lainnya atau berbagai macam do’a di lehernya atau di rumah, mobil, dan ruang kerjanya dalam rangka “ngalap berkah” dan meyakini bahwa dengan menggantungnya setan pun akan lari?”
Jawaban beliau hafizhahullah:
“Tidak boleh seorang muslim menggantungkan ayat kursi dan ayat Al Qur’an lainnya atau berbagai do’a yang syar’i di lehernya dengan tujuan untuk mengusir setan atau untuk menyembuhkan diri dari penyakit. Inilah pendapat yang tepat dari pendapat para ulama yang ada. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menggantungkan tamimah (jimat) apa pun bentuknya, dan ayat yang digantung semacam itu termasuk tamimah.”
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam Kitab At-Tauhid menjelaskan bahwa tamimah adalah segala sesuatu yang digantungkan pada anak-anak dengan tujuan untuk melindungi mereka dari ‘ain (pandangan hasad). Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya jampi-jampi, jimat, dan pelet adalah syirik”. [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud. (Hadits ini dishahihkan oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi)]
Sedangkan menggantungkan ayat Al-Qur’an di leher atau bagian badan lainnya tidak diperbolehkan menurut pendapat yang kuat dari pendapat para ulama. Alasannya karena keumuman larangan menggantungkan tamimah. Dan menggantungkan ayat seperti itu termasuk bagian dari tamimah.

Alasan kedua, larangan ini dimaksudkan untuk menutup pintu dari hal yang lebih parah yaitu menggantungkan jimat yang bukan dari ayat Al-Qur’an. Alasan ketiga, menggantungkan ayat semacam ini juga dapat melecehkan dan tidak menghormati ayat suci Al-Qur’an (seperti di bawa ke toilet dan tempat yang kotor apalagi anak-anak terkhusus bayi yg tidak diketahui secara pasti kapan pipis dan "pup" nya. pen)

Adapun menggantungkan ayat Al-Qur’an pada selain anggota badan seperti pada mobil, tembok, rumah, atau kantor dengan tujuan untuk “ngalap berkah” dan ada juga yang bertujuan untuk mengusir setan, maka saya tidak mengetahui kalau ada ulama yang membolehkannya. Perbuatan semacam ini termasuk menggunakan tamimah yang terlarang. Dan alasan kedua, perbuatan semacam ini termasuk pelecehan pada Al-Qur’an. Juga alasan ketiga, hal semacam ini tidak ada pendahulunya (tidak ada salafnya). Para ulama di masa silam tidaklah pernah menggantungkan ayat Al Qur’an di dinding untuk tujuan “ngalap berkah” atau menghindarkan diri dari bahaya. Yang mereka lakukan malah menghafalkan Al Qur’an di hati-hati mereka (bukan sekedar dipajang, pen). Mereka menulis ayat Al Qur’an di mushaf-mushaf, mereka mengamalkan dan mengajarkan pelajaran hukum dari berbagai ayat. Yang mereka lakukan adalah mentadabburi ayat Al-Qur’an sebagaimana perintah Allah.


*****


Bersambung ke Artikel Bagian Ke-2
ADAB TERHADAP AL-QUR'AN (Bagian Ke-2)

____________________________

Ditulis Oleh Ustadz Feri Zaid Gultom

SOLUSI MENGHADAPI TERORISME #1

SOLUSI MENGHADAPI TERORISME #1


Berikut, kepada para pembaca, kami akan mengetengahkan beberapa solusi yang merupakan dasar-dasar penting dalam menanggulangi masalah terorisme dan bagaimana cara menjaga negara dan masyarakat dari bahaya terorisme tersebut.


Satu : Menyeru kaum muslimin untuk berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah dan kembali kepada keduanya dalam segala perkara.

Tidak diragukan bahwa kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah kesejahteraan dan kemulian umat,
“Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thoha : 123-124)

Dan berpegang teguh kepadanya adalah tonggak keselamatan dan benteng dari kehancuran,
“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (QS. Ali ‘Imran : 103)

Dan segala masalah yang dihadapi oleh umat akan bisa terselesaikan dengan merujuk kepada Al-Qur‘an dan As-Sunnah,
“Tentang sesuatu apapun kalian berselisih maka putusannya kembali kepada Allah.”(QS. Asy-Syûra : 10)

Al-Qur‘an dan As-Sunnah adalah kebenaran mutlak yang merupakan rahmat dan kebaikan untuk seluruh manusia. Segala kebaikan telah dijelaskan dalam Al-Qur‘an dan As-Sunnah, demikian pula segala kejelekan diterangkan obat dan penyelesaiannya dalam Al-Qur‘an dan As-Sunnah. Siapa-siapa yang berpegang dengannya, maka merekalah yang akan dijayakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana dalam hadits ‘Umar bin Khaththôb radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ لَيَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ

“Sesungguhnya Allah mengangkat (derajat) suatu kaum karena kitab ini dan merendahkan yang lainnya karenanya.” [1].


***

Dua : Penegasan wajibnya memahami Al-Qur‘an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaf Ash-Shalih

Para shahabat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik mereka itulah yang disebut Salaf Shalih. Para shahabat adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk mendampingi Rasul-Nya dalam menyebarkan dan memperjuangkan agama ini. Mereka adalah orang-orang yang paling memahami Al-Qur‘an dan As-Sunnah; kandungan, maksud, penafsiran, penempatan dan pendalilannya. Karena itu telah datang nash-nash yang sangat banyak menjelaskan kewajiban mengikuti jalan mereka dan menempuh agama di atas cahaya mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa keridhaan dan sorga hanyalah didapatkan oleh orang-orang yang mengikuti jalan mereka dengan baik,
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka sorga-sorga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah : 100)

Dan Allah menjadikan keimanan para shohabat sebagai lambang kebenaran dan petunjuk,
“Maka jika mereka beriman seperti apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kalian). Maka Allah akan memelihara kalian dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqorah : 137)

Bahkan Allah ‘azza dzikruhu mengancam orang-orang yang menyelisihi jalan para salaf dalam firman-Nya,
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, Kami biarkan ia larut dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa` : 115)

Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memuji tiga generasi pertama umat ini dalam sabdanya,

خَيْرُ النَاسِ قَرْنِي ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya”. [2]

Bahkan lebih dari itu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyatakan,

النُّجُوْمُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتْ النُجُوْمُ أَتَى السَّمَاءُ مَا تُوْعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِيْ مَا يُوْعَدُوْنَ وَأَصْحَابِيْ أَمَنَةٌ لأُمَّتِيْ فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِيْ أَتَى أُمَّتِيْ مَا يُوْعَدُوْنَ

“Bintang-bintang adalah kepercayaan bagi langit, bila bintang telah lenyap maka akan datang kepada langit apa yang diancamkan terhadapnya. Dan saya adalah kepercayaan bagi shahabatku, jika saya telah pergi maka akan datang kepada shahabatku apa yang diancamkan terhadapnya. Dan para shahabatku adalah kepercayaan umatku, bila para shahabatku telah pergi, maka akan datang kepada umatku apa yang diancamkan terhadapnya.” [3]

Dan kita diperintah untuk merujuk kepada pemahaman mereka pada saat terjadi perselisihan atau fitnah, sebagaimana dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,

وَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرِفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوْبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُوْلُ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهُدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى الله وَالسَّمْعَ وَالطَّاعَةَ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ المَهْدِيْيِنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“(Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam) menasehati kami dengan suatu nasehat yang sangat mendalam sehingga membuat air mata kami berlinang dan hati-hati kami bergetar. Maka seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?” Beliau bersabda, “Saya mewasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, dan agar kalian mendengar dan taat (kepada pemimpin) walaupun yang menjadi (pemimpin) atas kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan kepada sunnah para khalifah yang mendapat hidayah dan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah terhadap perkara yang baru dalam agama. Karena sesungguhnya semua perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.” [4]
Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah, “Telah tetap kewajiban mengikuti para ‘ulama Salaf rahmatullahi ‘alaihim berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan di kalangan ulama)…” [5]


*****

[1] Hadits riwayat Muslim no. 817 dan Ibnu Majah no. 218.
[2] Hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary no. 2652, 3651, 6429, 6658, Muslim no. 2533, At-Tirmidzy no. 3868 dan Ibnu Majah no. 2362. Dan dikeluarkan pula oleh Al-Bukhary no. 2651, 3659, 6428, 6695, Muslim no. 2553, Abu Daud no. 2657, At-Tirmidzy no. 2226-2227, 2307 dan An-Nasa`i 7/17 dari ‘Imran bin Al-Hushainradhiyallahu ‘anhu. Dan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim no. 2534. Serta dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Muslim no. 2536.
[3] Hadits Abu Mûsa Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim no. 2531.
[4] Hadits riwayat Ahmad 4/ 126, Ad-Darimy no. 95, Abu Daud no. 4607, At-Tirmidzy no. 2681, Ibnu Majah no. 42-44, Ibnu Hibban no. 5, Al-Hakim 1/96-97, Ath-Thobarany 18/no. 617-624, 642 dan dalam Al-Ausath 1/no. 66, Al-Baihaqy 10/114, Tammam dalam Fawa`id-nya no. 255, 355, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 5/220-221, 10/114-115 dan dalam Syu’abul Îman 6/66 dan Al-Lalaka`iy dalam Syarah Ushûl I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 1/74 no. 79. Dishohîhkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohîhahno. 937, 2735 dan Al-Wadi’iy dalam Ash-Shohîh Al-Musnad 2/75-76 (cet. Pertama).
[5] Baca Dzammut Ta`wîl hal. 28-36.

Sumber : 
dzulqarnain.net


------------------------------------------------
Ditulis Oleh Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi



Berikut, kepada para pembaca, kami akan mengetengahkan beberapa solusi yang merupakan dasar-dasar penting dalam menanggulangi masalah terorisme dan bagaimana cara menjaga negara dan masyarakat dari bahaya terorisme tersebut.


Satu : Menyeru kaum muslimin untuk berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah dan kembali kepada keduanya dalam segala perkara.

Tidak diragukan bahwa kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah kesejahteraan dan kemulian umat,
“Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thoha : 123-124)

Dan berpegang teguh kepadanya adalah tonggak keselamatan dan benteng dari kehancuran,
“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (QS. Ali ‘Imran : 103)

Dan segala masalah yang dihadapi oleh umat akan bisa terselesaikan dengan merujuk kepada Al-Qur‘an dan As-Sunnah,
“Tentang sesuatu apapun kalian berselisih maka putusannya kembali kepada Allah.”(QS. Asy-Syûra : 10)

Al-Qur‘an dan As-Sunnah adalah kebenaran mutlak yang merupakan rahmat dan kebaikan untuk seluruh manusia. Segala kebaikan telah dijelaskan dalam Al-Qur‘an dan As-Sunnah, demikian pula segala kejelekan diterangkan obat dan penyelesaiannya dalam Al-Qur‘an dan As-Sunnah. Siapa-siapa yang berpegang dengannya, maka merekalah yang akan dijayakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana dalam hadits ‘Umar bin Khaththôb radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ لَيَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ

“Sesungguhnya Allah mengangkat (derajat) suatu kaum karena kitab ini dan merendahkan yang lainnya karenanya.” [1].


***

Dua : Penegasan wajibnya memahami Al-Qur‘an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaf Ash-Shalih

Para shahabat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik mereka itulah yang disebut Salaf Shalih. Para shahabat adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk mendampingi Rasul-Nya dalam menyebarkan dan memperjuangkan agama ini. Mereka adalah orang-orang yang paling memahami Al-Qur‘an dan As-Sunnah; kandungan, maksud, penafsiran, penempatan dan pendalilannya. Karena itu telah datang nash-nash yang sangat banyak menjelaskan kewajiban mengikuti jalan mereka dan menempuh agama di atas cahaya mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa keridhaan dan sorga hanyalah didapatkan oleh orang-orang yang mengikuti jalan mereka dengan baik,
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka sorga-sorga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah : 100)

Dan Allah menjadikan keimanan para shohabat sebagai lambang kebenaran dan petunjuk,
“Maka jika mereka beriman seperti apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kalian). Maka Allah akan memelihara kalian dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqorah : 137)

Bahkan Allah ‘azza dzikruhu mengancam orang-orang yang menyelisihi jalan para salaf dalam firman-Nya,
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, Kami biarkan ia larut dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa` : 115)

Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memuji tiga generasi pertama umat ini dalam sabdanya,

خَيْرُ النَاسِ قَرْنِي ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya”. [2]

Bahkan lebih dari itu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyatakan,

النُّجُوْمُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتْ النُجُوْمُ أَتَى السَّمَاءُ مَا تُوْعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِيْ مَا يُوْعَدُوْنَ وَأَصْحَابِيْ أَمَنَةٌ لأُمَّتِيْ فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِيْ أَتَى أُمَّتِيْ مَا يُوْعَدُوْنَ

“Bintang-bintang adalah kepercayaan bagi langit, bila bintang telah lenyap maka akan datang kepada langit apa yang diancamkan terhadapnya. Dan saya adalah kepercayaan bagi shahabatku, jika saya telah pergi maka akan datang kepada shahabatku apa yang diancamkan terhadapnya. Dan para shahabatku adalah kepercayaan umatku, bila para shahabatku telah pergi, maka akan datang kepada umatku apa yang diancamkan terhadapnya.” [3]

Dan kita diperintah untuk merujuk kepada pemahaman mereka pada saat terjadi perselisihan atau fitnah, sebagaimana dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,

وَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرِفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوْبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُوْلُ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهُدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى الله وَالسَّمْعَ وَالطَّاعَةَ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ المَهْدِيْيِنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“(Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam) menasehati kami dengan suatu nasehat yang sangat mendalam sehingga membuat air mata kami berlinang dan hati-hati kami bergetar. Maka seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?” Beliau bersabda, “Saya mewasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, dan agar kalian mendengar dan taat (kepada pemimpin) walaupun yang menjadi (pemimpin) atas kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan kepada sunnah para khalifah yang mendapat hidayah dan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah terhadap perkara yang baru dalam agama. Karena sesungguhnya semua perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.” [4]
Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah, “Telah tetap kewajiban mengikuti para ‘ulama Salaf rahmatullahi ‘alaihim berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan di kalangan ulama)…” [5]


*****

[1] Hadits riwayat Muslim no. 817 dan Ibnu Majah no. 218.
[2] Hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary no. 2652, 3651, 6429, 6658, Muslim no. 2533, At-Tirmidzy no. 3868 dan Ibnu Majah no. 2362. Dan dikeluarkan pula oleh Al-Bukhary no. 2651, 3659, 6428, 6695, Muslim no. 2553, Abu Daud no. 2657, At-Tirmidzy no. 2226-2227, 2307 dan An-Nasa`i 7/17 dari ‘Imran bin Al-Hushainradhiyallahu ‘anhu. Dan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim no. 2534. Serta dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Muslim no. 2536.
[3] Hadits Abu Mûsa Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim no. 2531.
[4] Hadits riwayat Ahmad 4/ 126, Ad-Darimy no. 95, Abu Daud no. 4607, At-Tirmidzy no. 2681, Ibnu Majah no. 42-44, Ibnu Hibban no. 5, Al-Hakim 1/96-97, Ath-Thobarany 18/no. 617-624, 642 dan dalam Al-Ausath 1/no. 66, Al-Baihaqy 10/114, Tammam dalam Fawa`id-nya no. 255, 355, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 5/220-221, 10/114-115 dan dalam Syu’abul Îman 6/66 dan Al-Lalaka`iy dalam Syarah Ushûl I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 1/74 no. 79. Dishohîhkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohîhahno. 937, 2735 dan Al-Wadi’iy dalam Ash-Shohîh Al-Musnad 2/75-76 (cet. Pertama).
[5] Baca Dzammut Ta`wîl hal. 28-36.

Sumber : 
dzulqarnain.net


------------------------------------------------
Ditulis Oleh Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi


SIAPA YANG MENGENAL DIRINYA DIA MENGENAL TUHAN NYA

SIAPA YANG MENGENAL DIRINYA DIA MENGENAL TUHAN NYA



Di dalam banyak ayat di Al-quran Allah subhanahu wa taala memerintahkan kita untuk bertakwa kepadaNya, dengan melaksanakan segenap perintahNya dan menjauhi laranganNya. Dan yang paling utama dan pertama yang Allah kehendaki dari kita semua hamba-Nya, untuk mengenal Allah subhanahu wa taala. Oleh karena itu jika kita perhatikan ayat-ayat di dalam Alquran hampir semuanya menunjukkan tentang asma’ dan sifat Allah subhanahu wa taala.

Di dalam sebuah hadits yang sahih yang diriwayatkan oleh Muslim rahimahullah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Ubay Bin Kaab radhiyallahu ‘anhu tentang a’dzamul ayat fi kitabillah, ayat yang paling Agung di dalam Alquran, lalu Ubay berkata berkata “ayatul Kursi”, lalu Rasulullah bersabda,

ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻟﻴﻬﻨﻚ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﺑﺎ ﺍﻟﻤﻨﺬﺭ
"Semoga engkau di mudahkan mendapatkan ilmu wahai Aba Mundzir"

Di dalam hadits tersebut Allah kabarkan bahwasanya ayat yang paling mulia di dalam Alquran adalah ayat kursi. Dari awal sampai akhirnya semuanya tentang asma’ dan sifat Allah subhanahu wa taala. Dan itu adalah yang paling utama adalah pertama yang selayaknya seorang hamba pahami, bahkan tidaklah Allah ciptakan alam semesta dengan segenap isinya melainkan dalam rangka agar kita mengetahui segenap sifat-sifat kemuliaan Allah subhanahu wa taala.

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
"Dialah Allah subhanahu wa taala yang telah menciptakan tujuh lapis langit dan bumi semisalnya dan turun perkara di antara keduanya, agar kamu sekalian tahu bahwasanya Allah terhadap segala sesuatu Maha berkuasa, Maha mampu mewujudkannya, dan bahwasanya ilmu Allah subhanahu wa taala meliputi segala sesuatu." [Surat At-Talaq: 12]

Allah subhanahu wa taala menghendaki kita sebagai hamba-nya untuk benar-benar mengenal Allah subhanahu wa taala dengan segenap sifat-sifat kesempurnaanNya dengan asma' dan sifatNya yang mulia, sebagaimana juga Allah subhanahu wa taala di dalam banyak ayat hendak menyadarkan manusia seperti apa sifat-sifat manusia yang sebenarnya seperti apa sejatinya sifat manusia, asal dari pada sifat manusia.

Allah subhanahu wa taala berfirman:

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ
"Sungguh telah kami tawarkan amanah yang luhur ini kata Allah kepada makhluk makhluk yang besar kepada langit dan segenap apa yang ada di dalamnya, dan mereka enggan untuk mengemban amanah yang luhur dan mulia tersebut karena mereka khawatir tidak sanggup mengemban amanah Allah subhanahu wa ta'ala tersebut, dan sekonyong-konyong manusia menerima amanah dari Allah subhanahu wa taala tersebut,"

Padahal lanjutan ayat tersebut

إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sejatinya manusia itu sangat amat dzalim sekali dan sangat amat bodoh sekali” [Surat Al-Ahzab: 72]
Demikianlah firman Allah subhanahu wa taala telah menerangkannya. Makhluk-makhluk yang besar karena mereka tahu dan mengerti bahwasanya amanah tersebut adalah amanah yang berat dan luhur tapi dikarenakan kejahilan dan kedzaliman manusia yang kelewatan, mereka sekonyong-konyong berani mengemban amanah yang besar dan luhur dari Allah subhanahu wa ta'ala tersebut.

Di dalam ayat yang lain Allah subhanahu wa taala berfirman:

إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا
"Bahwasanya manusia Allah ciptakan penuh keluh kesah" [Surat Al-Ma'arij 19]

Allah ciptakan manusia penuh dengan sifat kekurangan,

وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا *وإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا
"Kalau menimpa dia hal yang tidak mengenakkan sebentar bentar dia berkeluh kesah, Kalau diberi kebaikan, sulit sekali baginya melepaskan kebaikan tersebut." [Surat Al-Ma'arij: 21-22]

Diberikan anugerah oleh Allah subhanahu wa taala, sulit baginya untuk mentransfer anugerah yang Allah berikan kepadanya tersebut.

Lihatlah sifat manusia! 
Allah subhanahu wa taala berfirman:

وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
"Allah ciptakan manusia itu penuh dengan kelemahan, ketidakberdayaan." [Surat An Nisa: 28]

Dari sini kita tahu bahwasanya manusia itu penuh dengan kekurangan. Sudahlah ia lemah tidak berdaya ditambah dengan sifat yang amat sangat dzalim kata Allah, dilengkapi dengan sifat kejahilan dan kebodohan kata Allah. Maka dari sini tidak heran kalau kita lihat asal yang keluar dari manusia adalah kekhilafan dan kealpaan. Makanya baginda Rasullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كل بنى آدم خطاء
“Setiap anak Adam sangat amat gemar berbuat kesalahan dan kekhilafan serta dosa”, 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengecualikan.

وَخير الْخَطَّائِينَ التوابون
"Hanya saja yang baik daripada orang-orang yang berbuat salah terus adalah orang yang selalu mengakui kesalahan dan dia menyesal serta bertaubat kepada Allah subhanahu wa taala selalu."

Dari sinilah kita kenal bahwasanya annafsul insaniyyah ma’wan lisy syarr, asalnya jiwa manusia itu tempat buruk saja adanya. Sudah lemah, sudah dzalim, sudah jahil, sifat apalagi yang lebih buruk daripada tiga inti keburukan yang ada di alam semesta ini. Kelemahan kejahilan dan kedzaliman, sumber daripada malapetaka di alam semesta dan kelak di akhirat.

Dari sinilah diriwayatkan sebuah atsar dari Yahya Bin Muadz,

من عرف ربه عرف نفسه
"Barangsiapa yang dia kenal Allah, barangsiapa yang dia kenal dirinya dia kenal Allah subhanahu wata'ala, Tuhannya."

Tidak benar itu datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada hadits yang bersanad bersambung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Itu bukan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, itu perkataan sebagian ulama saja, tapi kata ulama itu maknanya benar. Dinukilkan dari Imam Nawawi rahimahullah,

من عرف نفسه عرف ربه
Maknanya,

من عرف نفسه بالعيوب والتقصير عرف ربه بالكمال والجلال
“Barang siapa yang tahu dirinya barang siapa yang mengenal dirinya, yaitu yang penuh dengan kekurangan dan kedzaliman serta kealpaan maka dia tahu Allah subhanahu wa taala Dzat yang memiliki sifat kesempurnaan dan keagungan.”

Maka banyak sekali kita lihat doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertawakkal kepada Allah dengan seutuhnya.

Di dalam sebuah hadis yang diamalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan diajarkan kepada putrinya yang tercinta Fathimah untuk selalu dibaca di pagi dan petang,

يا حي يا قيوم برحمتك أستغيث أصلح لي شأني كله ولا تكلني إلى نفسي طرفة عين
"Wahai Dzat yang Maha Hidup dan Maha Sempurna kehidupannya yang tiada lelah yang tiada letih dalam mengurusi segenap hambanya yang tiada terhingga, yang mengatur segala urusan tanpa terkecuali,"

برحمتك أستغيث
"dengan sifat rahmatmu dengan sifat kasih sayangmu aku minta dengan permohonan yang sangat aku minta dengan permintaan darurat aku minta dengan permintaan orang yang terjepit dalam suatu kesusahan yang amat sangat,"

أصلح لي شأني كله
"perbaiki semua keadaanku ini ya Allah, lahir dan batin nya ya Allah,"

ولا تكلني إلى نفسي طرفة عين 
"dan janganlah engkau serahkan urusan ini kepada diriku sekejap mata pun. Aku tidak rela ya Allah engkau serahkan urusanku ini, engkau percayakan segala amanah ini kepada diriku, tidak pula sekejap mata. Sekejap mata."

Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak rela Allah subhanahu wa taala melepaskan taufik dan hidayahnya, bimbingannya, tidak sekejap mata, karena baginda Rasul tahu bahwasanya jiwa manusia ma’wan lisy syarr, karena jiwa manusia adalah tempat segala macam keburukan.
Makanya Allah berfirman:

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ
"Sesungguhnya jiwa manusia sejatinya selalu mengajak kepada keburukan." [Surat Yusuf: 53]

Maka ma’asyiral muslimin yang dimuliakan Allah, diriwayatkan dari Imam As Sariy As Saqthiy rahimahullah,

ما رأيت شيئا أحبط للأعمال، وألزم للأحزان، وأدعى لمحبة العجب والرئاسة، وأفسد للقلوب، من قلة معرفة العبد بنفسه، ونظره إلى عيوب الناس
Dia berkata, “tidak ada perkara yang paling membatalkan amal sholeh, yang paling cepat merusak hati, yang paling lekat dengan kesenangan kepada riya’, kesenangan untuk dilihat, kesenangan untuk dipuji, kesenangan untuk ditokohkan, kesenangan untuk dianggap, dan paling cepat pula membinasakan seorang hamba, dibandingkan ketidaktahuan dirinya,”

kepada nafs, dirinya, ketidaktahuan dirinya, ‘adam ma’rifatil abdi bi nafsih, tidak tahu diri, tidak tahu dirinya yang penuh dengan kelemahan, penuh dengan kedzaliman, penuh dengan kejahilan. Lalu dia sibuk melihat kekurangan yang ada pada orang lain, wal’iyadzu billah.

Kita lihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya selalu kesehariannya melihat betapa agung dan mulianya Allah. Mereka berserah diri kepada Allah subhanahu wa taala bertawakal kepada Allah, dan mereka tidak pernah berhusnudzan, berbaik sangka kepada dirinya. Maka barangsiapa yang berbaik sangka kepada dirinya sungguh dia telah membinasakan dirinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suri tauladan kita, mengajarkan kepada sahabatnya dan kepada umatnya untuk selalu melihat kesempurnaan Allah, untuk selalu melihat keagungan Allah, untuk selalu melihat keperkasaan Allah subhanahu wa taala dalam segenap perkara yang Allah tetapkan kepada hambanya. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  mengajarkan kepada sahabatnya dan umatnya untuk selalu melihat kekurangan dan kealpaan yang ada pada sifat asalnya manusia. Dengan itu seorang hamba akan mendapatkan taufik dari Allah subhanahu wa taala, seorang hamba akan mendapatkan bimbingan dari Allah subhanahu wa taala dalam berjalan menuju Allah subhanahu wa taala.

Baginda shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن الظن بربه
“Janganlah kamu meninggal dunia kata Rasulullah kecuali dalam berbaik sangka kepada Allah,”
Berbaik sangka kepada Allah bahwasanya Allah Maha Pengampun, bahwasanya Allah Maha Pemurah, bahwasanya Allah Pengasih dan Maha Penyayang. Di situ Rasul perintahkan untuk kita berbaik sangka kepada Allah yang Maha Sempurna yang Maha Mengetahui dan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Tapi tidak pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perintahkan kita untuk berbaik sangka kepada diri kita, untuk melihat kebaikan yang ada pada diri kita.

Maka kita lihat bagaimana manusia yang paling mulia di sisi Allah di zamannya, sayyidina ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Di zaman beliau hidup menjadi khalifah dia adalah orang yang paling mulia di atas muka bumi ini, orang yang paling dicintai Allah di atas muka bumi ini yang kata Rasulullah,

لو كان بعدي نبي لكان عمر ولكن لا نبي بعدي
"Kalau sekiranya ada nabi setelahku maka orang yang paling pantas menjadi nabi adalah Umar tapi tidak ada nabi setelahku."
Tatkala dia ditikam oleh Abu Lu'luah Al-Majusi, oleh seorang munafik pahlawan orang syiah, ditikam dia ketika menjadi imam shalat shubuh dengan pisau yang beracun, lalu shalat dilanjutkan oleh Sayyidina Abdurrahman bin Auf dengan singkat dan cepat. Setelah itu terdengar suara Umar, tatkala itu dia bertanya,
“Siapa yang membunuhku?”Kemudian dikatakan padanya,“Ghulam al-Mughirah bin Syu’bah.”“Alhamdulillah segala Puji bagi Allah yang telah menjadikan pembunuhku bukan dari kalangan kaum muslimin.”

Lalu dia berkata,
ويل لعمر إن لم يغفر له ربه
ويل لعمر إن لم يغفر له ربه
ويل لأم عمر إن لم يغفر له ربه
“Celakalah Umar kalau sekiranya Allah tidak mengampuni dosanya,Celakalah Umar kalau sekiranya Allah tidak mengampuni dosanya,Celakalah ibunya Umar kalau Allah tidak mengampuni dosanya. “

Terus dia ucapkan seperti itu. Manusia yang paling mulia di muka bumi di kala itu setelah sepeninggal Rasulullah dan Abu Bakar As-Shiddiq radhiallahu 'anhu.
“Celaka Umar kalau sekiranya Allah tidak mengampuni dosanya.”

Terus beliau ucapkan hal tersebut padahal dia tahu kalau kita meninggal harus ber-husnudzon kepada Allah, Allah Maha Pengampun, betul. Tapi sayyidina Umar tidak pernah ber-husnudzon kepada dirinya, sayyidina Umar paling tahu tentang dirinya yang penuh dengan kekurangan dan kealpaan, makanya beliau berkata,

ويل لعمر إن لم يغفر له ربه
“Celaka Umar kalau Allah tidak mengampuni segenap dosanya.“

Lihatlah manusia yang diberikan taufik oleh Allah sayydina Umar bin Khattab betapa dia tahu tentang kemuliaan Allah, betapa dia tahu tentang Allah Maha Pengampun, tapi tidak sedikitpun dia berbaik sangka kepada dirinya, kepada jiwa yang asalnya jiwa manusia seperti yang kita sebutkan dalam ayat-ayat Allah subhanahu dan hadits-hadits Rasulullah yang penuh dengan kekurangan, kealpaan.

Lihatlah, orang-orang yang menjadi teladan kita, tidak pernah melihat kebaikan ada pada dirinya. Yang dia lihat cuman kedzaliman dan keburukan selalu.

Dia tidak menyangka karena tidak layak dirinya untuk diampuni dan dia yakin Allah Maha Pengampun, dia yakin Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tapi orang sepertinya apakah layak untuk dirahmati dan disayangi? Itulah orang-orang yang bertakwa kepada Allah subhanahu wa taala, melihat Allah dengan kesempurnaan, melihat dirinya selalu dengan kealpaan.

Diriwayatkan dari Amir bin Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, salah seorang imam tabi’in yang mulia anak sahabat Rasulullah, dia berkata,

أومثل نفسي يدخل الجنة؟
أومثل نفسي يدخل الجنة؟
أومثل نفسي يدخل الجنة؟
“Apakah orang sepertiku layak untuk masuk surga?Apakah orang sepertiku layak untuk masuk surga?Apakah orang sepertiku layak untuk masuk surga?”

Diriwayatkan dari Imam jabal tsiqah hafidz mutqin ‘abid faqih Sufyan ats-Tsauri, tatkala menjelang wafatnya, tatkala menjelang ajalnya menjemput hadir di sisinya sahabat dan muridnya tercinta Imam al-hafidz tsiqatun tsiqah Hammad bin Salamah,
“Wahai imam telah datang saatnya hal yang engkau merasa aman darinya” sebentar lagi engkau akan berjumpa dengan Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, lalu dia berkata,
هل مثل أنا ينجو من النار؟
“Apakah orang yang sepertiku layak masuk surga dan selamat dari neraka?”

Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam para Imam-imam ahlussunnah wal jama’ah yang diberikan Taufik Allah subhanahu wa taala tidak pernah melihat dirinya, tidak pernah melihat dirinya suatu saat pun di atas kebaikan, melihat dirinya penuh dengan kealpaan. Diriwayatkan dari Iman yang mulia Bakr bin Abdillah Al-Muzani tatkala dia wuquf di arafah,

ظننت أن الناس قد غفر لهم ذنوبهم لو لا أني فيهم
“Aku lihat manusia semuanya yang sedang wuquf di arafah ini rasanya sudah diampuni oleh Allah subhanahu wa taala semuanya, kalaulah tidak aku ada di tengah-tengah mereka,”
Lihatlah keadaan kita apa kebaikan yang ada pada kita? Apa kebaikan yang ada pada kita sehingga kita merasa terlalu percaya diri? Pasti masuk surga, pasti disayangi Allah subhanahu wa taala, pasti selamat dari neraka jahanam, dari mana?

Kita lihat sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita lihat para tabi’in yang mulia tidak sedikitpun mereka seperti itu. Yang ini dikarenakan betapa jahilnya kita terhadap diri kita dan betapa bodohnya kita kepada Allah subhanahu wa taala, dan kita terlalu percaya diri kepada diri kita yang sangat berkhianat, yang selalu bersekongkol dengan syaithan laknatullah ‘alaih sehingga kita terjerumus ke dalam hal hal yang dimurkai Allah subhanahu wa taala selalu.

Dari situlah ulama mengatakan,

رحم الله من عرف قدر نفسه
"Semoga allah merahmati orang yang tau dirinya,"

Dia tahu dia penuh dengan kealpaan, dia tahu dan kekurangan dan kedzaliman. Dari sini kembali dan selalu terus menerus kita introspeksi diri kita, selalu yang ada di depan mata kepala ‘uyubunnafs, yang kita lihat adalah cacat dan hinanya kita ini di hadapan Allah subhanahu wa taala.


Semoga Allah subhanahu wa taala memberikan taufik kepada kita atas segenap yang Allah cintai dan Allah ridhai, dan Allah menjauhkan kita dari segenap hal yang Allah murkai dan Allah benci.



وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه وسلم والحمد لله رب العالمين




*ditulis dari khutbah Ustadz Abdul Bar di masjid Al-Muhajirin Wal Anshar Depok 6 April 2018.

------------------------------------------------

Ditulis Oleh Ustadz Abdul Barr Kaisinda


Di dalam banyak ayat di Al-quran Allah subhanahu wa taala memerintahkan kita untuk bertakwa kepadaNya, dengan melaksanakan segenap perintahNya dan menjauhi laranganNya. Dan yang paling utama dan pertama yang Allah kehendaki dari kita semua hamba-Nya, untuk mengenal Allah subhanahu wa taala. Oleh karena itu jika kita perhatikan ayat-ayat di dalam Alquran hampir semuanya menunjukkan tentang asma’ dan sifat Allah subhanahu wa taala.

Di dalam sebuah hadits yang sahih yang diriwayatkan oleh Muslim rahimahullah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Ubay Bin Kaab radhiyallahu ‘anhu tentang a’dzamul ayat fi kitabillah, ayat yang paling Agung di dalam Alquran, lalu Ubay berkata berkata “ayatul Kursi”, lalu Rasulullah bersabda,

ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻟﻴﻬﻨﻚ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﺑﺎ ﺍﻟﻤﻨﺬﺭ
"Semoga engkau di mudahkan mendapatkan ilmu wahai Aba Mundzir"

Di dalam hadits tersebut Allah kabarkan bahwasanya ayat yang paling mulia di dalam Alquran adalah ayat kursi. Dari awal sampai akhirnya semuanya tentang asma’ dan sifat Allah subhanahu wa taala. Dan itu adalah yang paling utama adalah pertama yang selayaknya seorang hamba pahami, bahkan tidaklah Allah ciptakan alam semesta dengan segenap isinya melainkan dalam rangka agar kita mengetahui segenap sifat-sifat kemuliaan Allah subhanahu wa taala.

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
"Dialah Allah subhanahu wa taala yang telah menciptakan tujuh lapis langit dan bumi semisalnya dan turun perkara di antara keduanya, agar kamu sekalian tahu bahwasanya Allah terhadap segala sesuatu Maha berkuasa, Maha mampu mewujudkannya, dan bahwasanya ilmu Allah subhanahu wa taala meliputi segala sesuatu." [Surat At-Talaq: 12]

Allah subhanahu wa taala menghendaki kita sebagai hamba-nya untuk benar-benar mengenal Allah subhanahu wa taala dengan segenap sifat-sifat kesempurnaanNya dengan asma' dan sifatNya yang mulia, sebagaimana juga Allah subhanahu wa taala di dalam banyak ayat hendak menyadarkan manusia seperti apa sifat-sifat manusia yang sebenarnya seperti apa sejatinya sifat manusia, asal dari pada sifat manusia.

Allah subhanahu wa taala berfirman:

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ
"Sungguh telah kami tawarkan amanah yang luhur ini kata Allah kepada makhluk makhluk yang besar kepada langit dan segenap apa yang ada di dalamnya, dan mereka enggan untuk mengemban amanah yang luhur dan mulia tersebut karena mereka khawatir tidak sanggup mengemban amanah Allah subhanahu wa ta'ala tersebut, dan sekonyong-konyong manusia menerima amanah dari Allah subhanahu wa taala tersebut,"

Padahal lanjutan ayat tersebut

إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sejatinya manusia itu sangat amat dzalim sekali dan sangat amat bodoh sekali” [Surat Al-Ahzab: 72]
Demikianlah firman Allah subhanahu wa taala telah menerangkannya. Makhluk-makhluk yang besar karena mereka tahu dan mengerti bahwasanya amanah tersebut adalah amanah yang berat dan luhur tapi dikarenakan kejahilan dan kedzaliman manusia yang kelewatan, mereka sekonyong-konyong berani mengemban amanah yang besar dan luhur dari Allah subhanahu wa ta'ala tersebut.

Di dalam ayat yang lain Allah subhanahu wa taala berfirman:

إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا
"Bahwasanya manusia Allah ciptakan penuh keluh kesah" [Surat Al-Ma'arij 19]

Allah ciptakan manusia penuh dengan sifat kekurangan,

وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا *وإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا
"Kalau menimpa dia hal yang tidak mengenakkan sebentar bentar dia berkeluh kesah, Kalau diberi kebaikan, sulit sekali baginya melepaskan kebaikan tersebut." [Surat Al-Ma'arij: 21-22]

Diberikan anugerah oleh Allah subhanahu wa taala, sulit baginya untuk mentransfer anugerah yang Allah berikan kepadanya tersebut.

Lihatlah sifat manusia! 
Allah subhanahu wa taala berfirman:

وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
"Allah ciptakan manusia itu penuh dengan kelemahan, ketidakberdayaan." [Surat An Nisa: 28]

Dari sini kita tahu bahwasanya manusia itu penuh dengan kekurangan. Sudahlah ia lemah tidak berdaya ditambah dengan sifat yang amat sangat dzalim kata Allah, dilengkapi dengan sifat kejahilan dan kebodohan kata Allah. Maka dari sini tidak heran kalau kita lihat asal yang keluar dari manusia adalah kekhilafan dan kealpaan. Makanya baginda Rasullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كل بنى آدم خطاء
“Setiap anak Adam sangat amat gemar berbuat kesalahan dan kekhilafan serta dosa”, 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengecualikan.

وَخير الْخَطَّائِينَ التوابون
"Hanya saja yang baik daripada orang-orang yang berbuat salah terus adalah orang yang selalu mengakui kesalahan dan dia menyesal serta bertaubat kepada Allah subhanahu wa taala selalu."

Dari sinilah kita kenal bahwasanya annafsul insaniyyah ma’wan lisy syarr, asalnya jiwa manusia itu tempat buruk saja adanya. Sudah lemah, sudah dzalim, sudah jahil, sifat apalagi yang lebih buruk daripada tiga inti keburukan yang ada di alam semesta ini. Kelemahan kejahilan dan kedzaliman, sumber daripada malapetaka di alam semesta dan kelak di akhirat.

Dari sinilah diriwayatkan sebuah atsar dari Yahya Bin Muadz,

من عرف ربه عرف نفسه
"Barangsiapa yang dia kenal Allah, barangsiapa yang dia kenal dirinya dia kenal Allah subhanahu wata'ala, Tuhannya."

Tidak benar itu datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada hadits yang bersanad bersambung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Itu bukan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, itu perkataan sebagian ulama saja, tapi kata ulama itu maknanya benar. Dinukilkan dari Imam Nawawi rahimahullah,

من عرف نفسه عرف ربه
Maknanya,

من عرف نفسه بالعيوب والتقصير عرف ربه بالكمال والجلال
“Barang siapa yang tahu dirinya barang siapa yang mengenal dirinya, yaitu yang penuh dengan kekurangan dan kedzaliman serta kealpaan maka dia tahu Allah subhanahu wa taala Dzat yang memiliki sifat kesempurnaan dan keagungan.”

Maka banyak sekali kita lihat doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertawakkal kepada Allah dengan seutuhnya.

Di dalam sebuah hadis yang diamalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan diajarkan kepada putrinya yang tercinta Fathimah untuk selalu dibaca di pagi dan petang,

يا حي يا قيوم برحمتك أستغيث أصلح لي شأني كله ولا تكلني إلى نفسي طرفة عين
"Wahai Dzat yang Maha Hidup dan Maha Sempurna kehidupannya yang tiada lelah yang tiada letih dalam mengurusi segenap hambanya yang tiada terhingga, yang mengatur segala urusan tanpa terkecuali,"

برحمتك أستغيث
"dengan sifat rahmatmu dengan sifat kasih sayangmu aku minta dengan permohonan yang sangat aku minta dengan permintaan darurat aku minta dengan permintaan orang yang terjepit dalam suatu kesusahan yang amat sangat,"

أصلح لي شأني كله
"perbaiki semua keadaanku ini ya Allah, lahir dan batin nya ya Allah,"

ولا تكلني إلى نفسي طرفة عين 
"dan janganlah engkau serahkan urusan ini kepada diriku sekejap mata pun. Aku tidak rela ya Allah engkau serahkan urusanku ini, engkau percayakan segala amanah ini kepada diriku, tidak pula sekejap mata. Sekejap mata."

Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak rela Allah subhanahu wa taala melepaskan taufik dan hidayahnya, bimbingannya, tidak sekejap mata, karena baginda Rasul tahu bahwasanya jiwa manusia ma’wan lisy syarr, karena jiwa manusia adalah tempat segala macam keburukan.
Makanya Allah berfirman:

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ
"Sesungguhnya jiwa manusia sejatinya selalu mengajak kepada keburukan." [Surat Yusuf: 53]

Maka ma’asyiral muslimin yang dimuliakan Allah, diriwayatkan dari Imam As Sariy As Saqthiy rahimahullah,

ما رأيت شيئا أحبط للأعمال، وألزم للأحزان، وأدعى لمحبة العجب والرئاسة، وأفسد للقلوب، من قلة معرفة العبد بنفسه، ونظره إلى عيوب الناس
Dia berkata, “tidak ada perkara yang paling membatalkan amal sholeh, yang paling cepat merusak hati, yang paling lekat dengan kesenangan kepada riya’, kesenangan untuk dilihat, kesenangan untuk dipuji, kesenangan untuk ditokohkan, kesenangan untuk dianggap, dan paling cepat pula membinasakan seorang hamba, dibandingkan ketidaktahuan dirinya,”

kepada nafs, dirinya, ketidaktahuan dirinya, ‘adam ma’rifatil abdi bi nafsih, tidak tahu diri, tidak tahu dirinya yang penuh dengan kelemahan, penuh dengan kedzaliman, penuh dengan kejahilan. Lalu dia sibuk melihat kekurangan yang ada pada orang lain, wal’iyadzu billah.

Kita lihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya selalu kesehariannya melihat betapa agung dan mulianya Allah. Mereka berserah diri kepada Allah subhanahu wa taala bertawakal kepada Allah, dan mereka tidak pernah berhusnudzan, berbaik sangka kepada dirinya. Maka barangsiapa yang berbaik sangka kepada dirinya sungguh dia telah membinasakan dirinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suri tauladan kita, mengajarkan kepada sahabatnya dan kepada umatnya untuk selalu melihat kesempurnaan Allah, untuk selalu melihat keagungan Allah, untuk selalu melihat keperkasaan Allah subhanahu wa taala dalam segenap perkara yang Allah tetapkan kepada hambanya. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  mengajarkan kepada sahabatnya dan umatnya untuk selalu melihat kekurangan dan kealpaan yang ada pada sifat asalnya manusia. Dengan itu seorang hamba akan mendapatkan taufik dari Allah subhanahu wa taala, seorang hamba akan mendapatkan bimbingan dari Allah subhanahu wa taala dalam berjalan menuju Allah subhanahu wa taala.

Baginda shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن الظن بربه
“Janganlah kamu meninggal dunia kata Rasulullah kecuali dalam berbaik sangka kepada Allah,”
Berbaik sangka kepada Allah bahwasanya Allah Maha Pengampun, bahwasanya Allah Maha Pemurah, bahwasanya Allah Pengasih dan Maha Penyayang. Di situ Rasul perintahkan untuk kita berbaik sangka kepada Allah yang Maha Sempurna yang Maha Mengetahui dan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Tapi tidak pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perintahkan kita untuk berbaik sangka kepada diri kita, untuk melihat kebaikan yang ada pada diri kita.

Maka kita lihat bagaimana manusia yang paling mulia di sisi Allah di zamannya, sayyidina ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Di zaman beliau hidup menjadi khalifah dia adalah orang yang paling mulia di atas muka bumi ini, orang yang paling dicintai Allah di atas muka bumi ini yang kata Rasulullah,

لو كان بعدي نبي لكان عمر ولكن لا نبي بعدي
"Kalau sekiranya ada nabi setelahku maka orang yang paling pantas menjadi nabi adalah Umar tapi tidak ada nabi setelahku."
Tatkala dia ditikam oleh Abu Lu'luah Al-Majusi, oleh seorang munafik pahlawan orang syiah, ditikam dia ketika menjadi imam shalat shubuh dengan pisau yang beracun, lalu shalat dilanjutkan oleh Sayyidina Abdurrahman bin Auf dengan singkat dan cepat. Setelah itu terdengar suara Umar, tatkala itu dia bertanya,
“Siapa yang membunuhku?”Kemudian dikatakan padanya,“Ghulam al-Mughirah bin Syu’bah.”“Alhamdulillah segala Puji bagi Allah yang telah menjadikan pembunuhku bukan dari kalangan kaum muslimin.”

Lalu dia berkata,
ويل لعمر إن لم يغفر له ربه
ويل لعمر إن لم يغفر له ربه
ويل لأم عمر إن لم يغفر له ربه
“Celakalah Umar kalau sekiranya Allah tidak mengampuni dosanya,Celakalah Umar kalau sekiranya Allah tidak mengampuni dosanya,Celakalah ibunya Umar kalau Allah tidak mengampuni dosanya. “

Terus dia ucapkan seperti itu. Manusia yang paling mulia di muka bumi di kala itu setelah sepeninggal Rasulullah dan Abu Bakar As-Shiddiq radhiallahu 'anhu.
“Celaka Umar kalau sekiranya Allah tidak mengampuni dosanya.”

Terus beliau ucapkan hal tersebut padahal dia tahu kalau kita meninggal harus ber-husnudzon kepada Allah, Allah Maha Pengampun, betul. Tapi sayyidina Umar tidak pernah ber-husnudzon kepada dirinya, sayyidina Umar paling tahu tentang dirinya yang penuh dengan kekurangan dan kealpaan, makanya beliau berkata,

ويل لعمر إن لم يغفر له ربه
“Celaka Umar kalau Allah tidak mengampuni segenap dosanya.“

Lihatlah manusia yang diberikan taufik oleh Allah sayydina Umar bin Khattab betapa dia tahu tentang kemuliaan Allah, betapa dia tahu tentang Allah Maha Pengampun, tapi tidak sedikitpun dia berbaik sangka kepada dirinya, kepada jiwa yang asalnya jiwa manusia seperti yang kita sebutkan dalam ayat-ayat Allah subhanahu dan hadits-hadits Rasulullah yang penuh dengan kekurangan, kealpaan.

Lihatlah, orang-orang yang menjadi teladan kita, tidak pernah melihat kebaikan ada pada dirinya. Yang dia lihat cuman kedzaliman dan keburukan selalu.

Dia tidak menyangka karena tidak layak dirinya untuk diampuni dan dia yakin Allah Maha Pengampun, dia yakin Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tapi orang sepertinya apakah layak untuk dirahmati dan disayangi? Itulah orang-orang yang bertakwa kepada Allah subhanahu wa taala, melihat Allah dengan kesempurnaan, melihat dirinya selalu dengan kealpaan.

Diriwayatkan dari Amir bin Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, salah seorang imam tabi’in yang mulia anak sahabat Rasulullah, dia berkata,

أومثل نفسي يدخل الجنة؟
أومثل نفسي يدخل الجنة؟
أومثل نفسي يدخل الجنة؟
“Apakah orang sepertiku layak untuk masuk surga?Apakah orang sepertiku layak untuk masuk surga?Apakah orang sepertiku layak untuk masuk surga?”

Diriwayatkan dari Imam jabal tsiqah hafidz mutqin ‘abid faqih Sufyan ats-Tsauri, tatkala menjelang wafatnya, tatkala menjelang ajalnya menjemput hadir di sisinya sahabat dan muridnya tercinta Imam al-hafidz tsiqatun tsiqah Hammad bin Salamah,
“Wahai imam telah datang saatnya hal yang engkau merasa aman darinya” sebentar lagi engkau akan berjumpa dengan Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, lalu dia berkata,
هل مثل أنا ينجو من النار؟
“Apakah orang yang sepertiku layak masuk surga dan selamat dari neraka?”

Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam para Imam-imam ahlussunnah wal jama’ah yang diberikan Taufik Allah subhanahu wa taala tidak pernah melihat dirinya, tidak pernah melihat dirinya suatu saat pun di atas kebaikan, melihat dirinya penuh dengan kealpaan. Diriwayatkan dari Iman yang mulia Bakr bin Abdillah Al-Muzani tatkala dia wuquf di arafah,

ظننت أن الناس قد غفر لهم ذنوبهم لو لا أني فيهم
“Aku lihat manusia semuanya yang sedang wuquf di arafah ini rasanya sudah diampuni oleh Allah subhanahu wa taala semuanya, kalaulah tidak aku ada di tengah-tengah mereka,”
Lihatlah keadaan kita apa kebaikan yang ada pada kita? Apa kebaikan yang ada pada kita sehingga kita merasa terlalu percaya diri? Pasti masuk surga, pasti disayangi Allah subhanahu wa taala, pasti selamat dari neraka jahanam, dari mana?

Kita lihat sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita lihat para tabi’in yang mulia tidak sedikitpun mereka seperti itu. Yang ini dikarenakan betapa jahilnya kita terhadap diri kita dan betapa bodohnya kita kepada Allah subhanahu wa taala, dan kita terlalu percaya diri kepada diri kita yang sangat berkhianat, yang selalu bersekongkol dengan syaithan laknatullah ‘alaih sehingga kita terjerumus ke dalam hal hal yang dimurkai Allah subhanahu wa taala selalu.

Dari situlah ulama mengatakan,

رحم الله من عرف قدر نفسه
"Semoga allah merahmati orang yang tau dirinya,"

Dia tahu dia penuh dengan kealpaan, dia tahu dan kekurangan dan kedzaliman. Dari sini kembali dan selalu terus menerus kita introspeksi diri kita, selalu yang ada di depan mata kepala ‘uyubunnafs, yang kita lihat adalah cacat dan hinanya kita ini di hadapan Allah subhanahu wa taala.


Semoga Allah subhanahu wa taala memberikan taufik kepada kita atas segenap yang Allah cintai dan Allah ridhai, dan Allah menjauhkan kita dari segenap hal yang Allah murkai dan Allah benci.



وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه وسلم والحمد لله رب العالمين




*ditulis dari khutbah Ustadz Abdul Bar di masjid Al-Muhajirin Wal Anshar Depok 6 April 2018.

------------------------------------------------

Ditulis Oleh Ustadz Abdul Barr Kaisinda
adv/http://halaqah.tauhid.or.id/|

Artikel Pilihan

artikel pilihan/carousel

Arsip Artikel Per Bulan



Facebook

fb/https://www.facebook.com/Tauhid.or.id



Kids

Konten khusus anak & download e-book




Course