Para
pembaca yang mulia, pada artikel sebelumnya, kita telah jelaskan
leluhur Rasulullah sampai kepada kakek beliau, Abdul Mutthalib. Maka
pada tulisan kali ini, kita akan coba jelaskan siapa ayah dan ibu
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan apa kisah mereka berdua.
Putra-Putri Dari Abdul Muththalib
Abdul
Muththalib mempunyai sepuluh orang putera, yaitu: Al-Harits,
Az-Zubair, Abu Thalib, Abdullah, Hamzah,
Abu Lahab, Al-Ghaidaaq, Al-Muqawwim,
Shaffar, dan Abbas. Ada riwayat pula
yang menyebutkan bahwa mereka berjumlah sebelas
orang, yaitu ditambah dengan seorang putera lagi yang bernama Qutsam.
Sebagian riwayat yang menyebutkan bahwa mereka berjumlah tiga belas
orang ditambah dua orang putera lagi yang bernama Abdul Ka'bah dan
Hajla. Namun ada riwayat yang menyebutkan bahwa Abdul Ka'bah ini
tidak lain merupakan Al-Muqawwim, sedangkan Hajla adalah Al Ghaidaaq
dan tidak ada diantara putera-puteranya tersebut yang bernama Qutsam.
Jadi kesimpulannya bahwa putra beliau ada sepuluh orang sebagaimana
yang disebutkan awal tadi. [1]
Kelak
di antara putra Abdul Mutthalib, yaitu paman-paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini
akan terbagi menjadi tiga kelompok:
Kelompok
pertama, yang menerima Islam dan menjadi penolong dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti Hamzah dan Abbas.
Kelompok
kedua, yang menolak Islam dan bahkan menjadi musuh dakwah, seperti
Abu Lahab.
Kelompok
ketiga, yang menolak untuk masuk Islam tapi tetap membantu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallamyaitu Abu Thalib, ayah dari sahabat Ali bin Abi Thalib.[2]
Selain
dianugerahi putra, Abdul Mutthalib juga dianugerahi para putri.
Adapun puteri-puteri Abdul Mutthalib berjumlah enam orang, yaitu:
Ummul Hakim yang dikenal pula dengan nama Al Baidha’ (si putih),
Barrah, Atikah, Shafiyyah, Arwa dan Umaimah. [3]
Abdullah
bin Abdul Mutthalib
Dari
sepuluh putra Abdul Mutthalib, ayah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam adalah Abdullah. Ibu
Abdullah bernama Fathimah binti Amru bin Aaiz bin 'Imran bin Makhzum
bin Yaqzhah bin Murrah. Abdullah merupakan putra Abdul Mutthalib yang
paling tampan, yang paling bersih jiwanya dan paling disayangi
ayahnya.
Ada
kisah menarik tentang diri Abdullah. Dahulu Abdullah ini pernah ingin
disembelih oleh bapaknya, Abdul Mutthalib. Bagaimana bisa?
Dulu
ketika Makkah dikuasai oleh orang Jurhum, mereka melakukan kejahatan
yang sangat keterlaluan. Mereka mengubur sumur zam-zam sehingga tidak
diketahui lagi keberadaannya. Maka ketika Abdul Mutthalib menjadi
pemimpin kota Makkah, dia mendapatkan mimpi untuk menggali kembali
sumur tersebut. Akhirnya dengan petunjuk mimpi tersebut, Abdul
Mutthalib pun berhasil menemukan lokasi sumur, lalu menggalinya
kembali.
Abdul
Mutthalib menemukan bahwa ternyata di dalam sumur Zam-zam terdapat
benda-benda terpendam yang dulu dikubur oleh suku Jurhum ketika
mereka akan keluar meninggalkan Makkah berupa pedang-pedang, baju
besi, dan dua patung kijang yang terbuat dari emas. Pedang-pedang
kemudian dia tempelkan di pintu Ka'bah, demikian juga dua patung
kijang dari emas dia gantungkan di atas pintu tersebut. Abdul
Mutthalib kemudian memberikan pelayanan air minum bagi para jama'ah
haji.
Ketika
sumur Zam-zam berhasil digali, maka orang-orang Quraisy
mempermasalahkannya. Mereka ingin diikutsertakan pula dalam mengurusi
air zam-zam. Maka Abdul Mutthalib menolak permintaan mereka.
Orang-orang
Quraisy pun kemudian membawa permasalahan ini kepada seorang hakim.
Dahulu yang menjadi hakim bagi mereka adalah para dukun. Maka mereka
pun berkonsultasi kepada seorang dukun wanita dari Bani Sa'd. Dan
akhirnya ditampakkanlah kepada mereka bahwa memang yang berhak atas
urusan zam-zam adalah Abdul Mutthalib.
Setelah
peristiwa ini, Abdul Mutthalib menyadari dia membutuhkan dukugan
untuk menjaga posisinya sebagai pengatur zam-zam. Dia pun
menginginkan putra-putra yang banyak untuk membantunya. Abdul
Mutthalib kemudian bernadzar jika nanti dia dikaruniai sepuluh orang
anak dan mereka sudah mencapai usia baligh, maka dia akan menyembelih
salah seorang dari mereka disisi Ka'bah.[4]
Setelah
genap putranya sepuluh, Abdul Mutthalib pun ingin mengeksekusi
nadzarnya tadi. Dia menulis nama-nama putranya di anak panah yang
akan diundikan diantara mereka dan dipersembahkan kepada patung
Hubal, kemudian undian tersebut dimulai maka setelah itu keluarlah
nama Abdullah. Abdul Muththalib membimbingnya sembari membawa pedang
dan mengarahkan wajahnya ke Ka'bah untuk segera disembelih, namun
orang-orang Quraisy mencegahnya, terutama paman-pamannya dari
kalangan dari Bani Makhzum dan saudara Abdullah yang bernama Abu
Thalib.
Menghadapi
sikap tersebut, Abdul Mutthalib berkata, “Lantas apa yang harus ku
lakukan dengan nadzarku?"
Mereka
pun kemudian menyarankannya agar dia berkonsultasi kepada dukun.
Abdul Mutthalib pun kemudian berkonsultasi dengan seorang dukun
wanita. Dukun tersebut memerintahkannya untuk diundi antara nama
Abdullah dan sepuluh ekor unta. Jika yang keluar nama Abdullah maka
dia (Abdul Muththalib) harus menambah tebusan sepuluh ekor unta lagi,
begitu seterusnya sampai Allah ridha untuk memilih unta.
Abdul
Muththalib pun kemudian pulang ke rumahnya dan melakukan undian
seperti yang diperintahkan oleh sang dukun. Ketika diundi antara nama
Abdullah dan sepuluh ekor unta, yang keluar adalah nama Abdullah.
Ketika yang keluar nama Abdullah berarti Abdul Mutthalib harus
menyembelih sepuluh unta. Begitu seterusnya, setiap diundi maka yang
keluar adalah nama Abdullah, maka Abdul Mutthalib pun terus
menambahnya dengan sepuluh ekor unta hingga unta tersebut sudah
berjumlah seratus ekor berulah keluar dari undian pilihan “UNTA”.
Maka sejak itulah diyat (denda) atas pembunuhan di kalangan orang
Quraisy dan Bangsa Arab secara keseluruhan yang sebelumnya dihargai
dengan sepuluh ekor unta berubah menjadi seratus ekor unta. Aturan
diyat seratus unta inilah yang kemudian diakui dan ditetapkan dalam
syariat Islam.[5]
Karena
peristiwa inilah kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
disebut sebagai Ibnu Dzabihaini yang berarti putra dua orang yang
disembelih. Maksudnya adalah Isma’il alaihissalaam dan Abdullah,
ayah beliau. Akan tetapi hadits yang masyhur yang menyebutkan bahwa
beliau bersabda,
أنا ابن الذبيحين“Aku adalah putra dua orang yang disembelih…”
Ini
adalah hadits yang lemah yang tidak ada asalnya. [6]
Aminah
Bintu Wahb
Abdul Muththalib memilihkan buat
puteranya 'Abdullah seorang gadis bernama Aminah binti Wahab bin
'Abdu Manaf bin Zahrah bin Kilab. Di saat itu Aminah adalah wanita
yang banyak didambakan di kalangan orang-orang Quraisy baik karena
nasab dan martabatnya. Ayah Aminah
adalah seorang pemuka Bani Zahrah. Abdullah pun kemudian dinikahkan
dengan Aminah lalu mereka tinggal bersama di Kota Makkah.
Tatkala Aminah mengandung, Abdullah
meninggalkannya untuk sebuah perjalanan dagang ke Yatsrib (Madinah).
Sesampainya di Yatsrib, Abdullah jatuh sakit sampai akhirnya
meninggal dunia di usianya yang baru dua puluh lima tahun. Abdullah
pun kemudian dimakamkan di Darul Naabighah Al Ja’d.
Ketika berita
kematian suaminya sampai ke telinga Aminah, dia pun kemudian
menyebutkan bait syair,
عفا
جانب البطحاء من ابن هاشم ... وجاور
لحدا خارجا في الغماغم
دعته
المنايا دعوة فأجابها ...
وما
تركت في الناس مثل ابن هاشم
عشية
راحوا يحملون سريره ...
تعاوره
أصحابه في التزاحم
فإن
تك غالته المنايا وريبها ...
فقد
كان معطاء كثير التراحم
Telah
wafat seorang putra Hasyim
di sisi Al Bathha
Berdampingan
liang lahadnya di tempat yang jauh di sana
Kematian
telah memanggilnya, dan dia penuhi panggilan tersebut
Tidaklah
kematian meninggalkan seorang manusia pun seperti putra Hasyim ini
Di
sore hari mereka pergi memikul kerandanya
Kerabat-kerabatnya
saling berdesakan untuk mengantarnya
Kalau
memang akhir dari kehidupannya adalah kematian
Maka
sungguh dia adalah orang yang dermawan dan penuh kasih sayang
Demikian bait syair
yang dilantunkan sang istri dengan penuh kesedihan dan merasa
kehilangan atas kematian suaminya yang sedang berada jauh. [7]
Abdullah
meninggalkan harta bagi keluarganya berupa lima ekor unta,
sekumpulan kambing, seorang budak wanita dari Habasyah bernama Ummu
Ayman yang nama aslinya Barakah. [8]
Ummu Ayman inilah yang nanti akan menjadi pengasuh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam dan setelah Rasulullah dewasa, beliau
membebaskan Ummu Ayman. Ummu Ayman lalu menikah dengan Zaid bin
Haritsah dan melahirkan seorang anak yang juga disayangi oleh
Rasulullah, yaitu Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma.[9]
Wallahu ta’ala a’lam
(Bersambung)
**********
CATATAN KAKI:
[1]
Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar
Rahiqul Makhtum, (Beirut: Darul Hilal,
t.t.) hlm. 43.
[2] Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin, Tafsir Juz Amma,
(Riyadh: Daruts Tsuraya lin Nasyr, 2002) hlm. 344 – 345.
[3]
Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar
Rahiqul Makhtum, (Beirut: Darul Hilal,
t.t.) hlm. 43.
[4]
Ibid. 42-43.
[5] Ibid. 43-44.
[6] Lihat keterangan
Asy Syaikh Masyhur Hasan Salman di situs islamway
[7] Shafiyyurrahman
Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum,
(Beirut: Darul Hilal, t.t.) hlm. 44.
[8] Ibid.
[9] Ibrahim Al
Ali, Shahih Shirah An Nabawiyah,
(Amman: Darun Nafaais, 2009) hlm. 49.
Artikel Sebelumnya:
------------------------------------------------