Pembaca yang
budiman, ketika usia Rasulullah mendekati empat puluh tahun setelah melalui
perenungan yang lama dan telah terjadi jurang pemisah antara pemikiran beliau
dan kaumnya, beliau suka mengasingkan diri. Beliau membawa roti dan bekal air
ke gua Hira yang terletak di Jabal (bukit) Nur, yaitu jaraknya hampir 2 mil
dari Mekkah. Gua ini merupakan gua yang kecil, panjangnya empat hasta, lebarnya
1,75 hasta. Beliau tinggal di sana di bulan Ramadhan, menghabiskan waktunya untuk
beribadah dan berpikir tentang fenomena alam di sekitarnya dan kekuasaan yang
telah menciptakannya. Beliau tidak tenang dengan keadaan kaumnya yang masih
menganut aqidah syirik yang kacau dan cara pandang yang rapuh. Akan tetapi
ketika itu beliau sendiri tidak memiliki metodologi berpikir yang jelas, belum
tampak bagi beliau petunjuk yang terarah yang membuatnya tenang dan ridha. [1]
Istri beliau,
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menyebutkan kebiasaan Rasulullah sebelum
beliau diangkat menjadi Nabi,
وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyendiri di gua Hira. Beliau melakukan Tahannuts di dalamnya.” (HR. Al Bukhari)
Al Hafizh Ibnu
Hajar menyebutkan bahwa tahannuts memiliki dua makna:
Pertama, tahannuts
artinya tahannuf. Artinya mengikuti ajaran hanifiyah. Itulah ajaran dan
millah Ibrahim.
Kedua, tahannuts
artinya menjauhi dosa. Dari kata al hints yang artinya dosa. Dan kata
‘tahannuts’ memiliki arti ‘yatajannabu al hints’, yang artinya
menjauhi dosa. [2]
Kebiasaan
berkhalwat yang begitu digemari Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wasallam
ini tentu memiliki hikmah yang luar biasa besar. Kebiasaan Rasulullah shallalallahu
‘alaihi wasallam ini menjadi begitu penting bagi kehidupan kaum muslimin,
khususnya bagi para penyeru ke jalan Allah subhanahu wata’ala.
Salah satu hikmah
terbesar dari khalwat adalah menghilangkan penyakit yang tidak dapat diobati
selain dengan uzlah (menyendiri) dari khalayak ramai. Merenungi diri sendiri
dengan menjauh dari hiruk-pikuk kehidupan dunia dan segala gemerlapnya. Kesombongan,
ujub, dengki, riya, dan cinta dunia adalah penyakit yang merasuki jiwa,
kemudian bercokol di kedalaman hati, menghancurkan dan batin manusia walau
secara lahiriah seseorang terlihat banyak melakukan amal shalih dan ibadah, bahkan
giat berdakwah mengajak pada kebaikan dan banyak memberikan nasihat kepada
orang lain. Penyakit batin seperti itu tidak dapat diobati, selain dengan
menyendiri beberapa saat untuk memikirkan hakikat dirinya, memikirkan tentang
Penciptanya, serta kebutuhan terhadap pertolongan dan taufik dari Allah subhanahu
wata’ala. [3]
Dengan uzlah
juga seseorang bisa merenungkan kelemahan manusia di hadapan Zat Yang Maha
Pencipta, dan betapa tidak bermanfaatnya pujian dan celaan mereka. Selain itu,
merenungi keagungan Allah, hari akhir, hari perhitungan amal, kebesaran rahmat
Allah, dan beratnya siksa yang Allah timpakan kepada para pendosa. Dengan
melakukan renungan panjang seperti itu, semua penyakit hati akan hilang
satu-persatu. Hati akan kembali hidup di bawah naungan cahaya ilmu dan
kejernihan hati. Cermin orang orang yang tidak dimabuk kehidupan dunia pasti
tidak pernah kotor. [4]
Hal lain yang tidak
kalah penting bagi kehidupan kaum muslimin, khususnya para dai, ialah merawat
cinta kepada Allah di dalam hati. Hati adalah mata air bagi sifat luhur,
seperti pengorbanan dan jihad. Hati juga landasan bagi setiap gerakan dakwah
yang benar. Cinta kepada Allah subhanahu wata’ala. tidak datang hanya
dengan keimanan rasional, karena rasio semata tak akan memengaruhi rasa dan
gerak hati. Jika benar rasio dapat langsung mempengaruhi iman dalam hati,
pastilah para orientalis menjadi orang-orang terdepan dalam hal beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Hati
mereka pasti akan menjadi
hati yang terkuat dalam mencintai Allah dan Rasul-Nya. Namun pernahkah
Anda mendengar keimanan seorang ilmuwan semakin bersinar lantaran berhasil
memecahkan sebuah rumus matematika atau menjawab soal aljabar?[5]
Setelah iman, jalan
menuju kecintaan kepada Allah subhanahu wata’ala. adalah perenungan
terhadap berbagai nikmat Allah, menghayati keagungan dan kebesaran-Nya, dan
memperbanyak zikir, baik dengan hati maupun lisan. Semua itu akan menjadi
sempurna jika dilakukan dengan beruzlah atau berkhalwat, yaitu dengan beberapa
saat dengan melakukan menjauhi segala kesibukan dan gemerlap kehidupan dunia.
Kalau saja perenungan seperti itu benar-benar dilakukan seorang muslim, niscaya
kecintaan yang mendalam terhadap Allah subhanahu wata’ala. akan bersemi
dalam hatinya. Kecintaan itu akan membuatnya melihat persoalan besar sebagai
hal kecil, juga tidak mengindahkan hal hal yang memalingkan hatinya dari Allah subhanahu
wata’ala. Selain itu, siksaan sesama manusia dianggapnya tidak seberapa,
apalagi sekadar penghinaan dan cercaan. Sifat luhur seperti inilah yang
seharusnya dimiliki setiap dai yang menyeru manusia ke jalan Allah subhanahu
wata’ala. Sifat luhur seperti inilah yang dahulu Allah anugerahkan kepada
Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wasallam selaku pemimpin dakwah Islam.
[6]
Namun, perlu
diingat, yang dimaksud dengan "khalwat" di sini sama sekali bukanlah
seperti yang dimaksud orang-orang yang menyimpang, yaitu meninggalkan semua
yang berbau kehidupan dunia, seperti memilih tinggal di gua, di hutan, atau
gunung-gunung. Sikap menjauhi kehidupan dunia seperti itu jelas bertentangan
dengan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan teladan para sahabat. Cinta khalwat
sebenarnya dimaksudkan untuk menjadi "perenungan" sebagai obat
berbagai kerusakan batin. Sebagaimana yang kita ketahui, obat hanya boleh
dikonsumsi sesuai dosis. Jika berlebihan, ia akan berubah menjadi racun bagi
tubuh. [7]
Demikian juga
khalwat di dalam gua ini dilakukan oleh Rasulullah sebelum diangkat menjadi
Nabi. Adapun setelah beliau diangkat menjadi Nabi, maka berubahlah format
khalwat tersebut menjadi ibadah shalat tahajjud, menghidupkan malam dengan
shalat di saat kebanyakan manusia tertidur.
Allah subhanahu
wata’ala berfirman,
“Hai orang yang berselimut, bangunlah untuk salat di malam hari, kecuali sedikit (darinya). Yaitu seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih khusyuk dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” (Al Muzammil: 1-6)يَاأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (1) قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2) نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا (3) أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا (4) إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا (5) إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا (6)
Demikian juga beliau bersabda,
“Rabb kita tabaaraka wa ta'ala turun pada setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, 'Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku berikan. Siapa yang minta ampun kepada-Ku akan Aku ampuni." (HR. Al Bukhari dan Muslim)ينزل رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
Awalnya, berkhalwat
dengan tahajjud ini adalah kewajiban bagi Rasulullah dan ummatnya. Akan tetapi
kemudian hukumnya menjadi mustahab bagi kaum muslimin, namun tetap wajib bagi
Rasulullah sampai beliau meninggal.[8]
Wallahu a’lam
bisshawab.
**********
CATATAN KAKI
[1] Shafiyyurrahman
Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, (Riyadh: Dar Ibnil Jauzi, 1435 H),
hlm. 84.
[2] Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul
Bari, (Beirut: Darul Ma’rifah, 1379 H), Jil. 1, hlm. 23
[3] Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, Fiqhus
Sirah An Nabawiyah, (Beirut: Darul Fikr, 1999), hlm. 92.
[4] Ibid., hlm. 93.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm. 94.
[7] Ibid., hlm. 95
[8] Zaid bin Abdul Karim Az Zaid, Fiqhus Sirah,
(Riyadh: Darut Tadmuriyyah, 1424 H) hlm. 119-120.
Artikel Sebelumnya:
#19 | PENDAHULUAN KENABIAN
#18 | PENJAGAAN ALLAH TERHADAP RASULULLAH SEBELUM MASA KENABIAN
#16 | PERNIKAHAN DENGAN KHADIJAH RADHIYALLAHU ANHA
#15 MASA REMAJA RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM # 2
#14 MASA REMAJA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM #1
#13 PEMBELAHAN DADA RASULULLAH ﷺ DAN WAFATNYA SANG IBU
#12 HIDUP DI TENGAH BANI SA’AD
#11 PENYUSUAN RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM
#10 AYAH DAN IBU RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
#9 NASAB DAN KELUARGA BESAR RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM
#8 KELAHIRAN NABI SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM
#7 KISAH PASUKAN GAJAH #2
#6 KISAH PASUKAN GAJAH #1
#5 SEJARAH KOTA MAKKAH
#4 MENGAPA NABI SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM DITURUNKAN DI ARAB
#3 MENGENAL BANGSA ARAB JAHILIYAH (Bagian #2)
#2 MENGENAL BANGSA ARAB JAHILIYAH (Bagian #1)
#1 SIRAH NABAWIYAH DAN KEUTAMAAN MEMPELAJARINYA
#19 | PENDAHULUAN KENABIAN
#18 | PENJAGAAN ALLAH TERHADAP RASULULLAH SEBELUM MASA KENABIAN
#16 | PERNIKAHAN DENGAN KHADIJAH RADHIYALLAHU ANHA
#15 MASA REMAJA RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM # 2
#14 MASA REMAJA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM #1
#13 PEMBELAHAN DADA RASULULLAH ﷺ DAN WAFATNYA SANG IBU
#12 HIDUP DI TENGAH BANI SA’AD
#11 PENYUSUAN RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM
#10 AYAH DAN IBU RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
#9 NASAB DAN KELUARGA BESAR RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM
#8 KELAHIRAN NABI SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM
#7 KISAH PASUKAN GAJAH #2
#6 KISAH PASUKAN GAJAH #1
#5 SEJARAH KOTA MAKKAH
#4 MENGAPA NABI SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM DITURUNKAN DI ARAB
#3 MENGENAL BANGSA ARAB JAHILIYAH (Bagian #2)
#2 MENGENAL BANGSA ARAB JAHILIYAH (Bagian #1)
#1 SIRAH NABAWIYAH DAN KEUTAMAAN MEMPELAJARINYA
------------------------------------------------
Ditulis Oleh Ustadz Wira Bachrun Al Bankawy