artikel pilihan


KEWAJIBAN UNTUK BERTAUHID

KEWAJIBAN UNTUK BERTAUHID


Merupakan suatu perkara yang tidak bisa disangkal, bahwa alam semesta ini pasti ada yang menciptakan. Yang mengingkari hal tersebut hanyalah segelintir orang. Itu pun karena mereka tidak menggunakan akal sesuai dengan fungsinya. Sebab akal yang sehat akan mengetahui bahwa setiap yang tampak di alam ini pasti ada yang mewujudkan. Alam yang demikian teratur dengan sangat rapi tentu memiliki pencipta, penguasa, dan pengatur. Tidak ada yang mengingkari perkara ini kecuali orang yang tidak berakal atau sombong dan tidak mau menggunakan pikiran sehat. Mereka tidaklah bisa dijadikan tempat berpijak dalam menilai.

Dzat yang menciptakan, menguasai, dan mengatur alam semesta ini adalah Allah subhanahu wa ta`ala. Inilah yang disebut dengan rububiyyah Allah. Tauhid rububiyyah adalah sebuah keyakinan yang diakui bahkan oleh kaum musyrikin. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah: Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah: Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” [Yunus:31]
Oleh sebab itu, selayaknya manusia hanya menyembah kepada Allah subhanahu wa ta`ala saja. Allah subhanahu wa ta`ala telah menciptakan untuk manusia berbagai prasarana berupa alam semesta ini. Semua itu untuk mewujudkan peribadatan kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta`ala juga membantu mereka untuk mewujudkan peribadahan tersebut dengan limpahan rezeki. Sedangkan Allah tidak membutuhkan imbalan apa pun dari para makhluk-Nya.
Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالاِنسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ ﴿٥٧﴾ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ ٥٨
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” [Adz-Dzaariyaat:56-58]
Sesungguhnya tauhid tertanam pada jiwa manusia secara fitrah. Namun asal fitroh ini dirusak oleh bujuk rayu syaithan yang memalingkan dari tauhid dan menjerumuskan ke dalam syirik. Para syaithan baik dari kalangan jin dan manusia bahu-membahu untuk menyesatkan umat dengan ucapan-ucapan yang indah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaithan-syaithan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-pekataan yang indah-indah untuk menipu manusia” [Al-An’aam:112]
Tauhid adalah asal yang terdapat pada fitrah manusia sejak dilahirkan. Sedangkan kesyirikan adalah sesuatu yang mendatang dan merasuk ke dalam pikiran manusia. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:


فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah di atas) fitroh Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” [Ar-Ruum:30]
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap anak yang lahir, dilahirkan atas fitroh, maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nashroni, atau Majusi” [HR.Al-Bukhari]
Berarti asal yang tertanam pada diri manusia secara fitrah adalah bertauhid kepada Allah subhanahu wa ta`ala.


Kesyirikan adalah Sebab Perselisihan Manusia

Mulai masa Nabi Adam `alaihis-salam sampai kurun waktu yang cukup panjang setelahnya, manusia senantiasa berada di atas Islam sebagai agama tauhid. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ
“Dahulu manusia itu adalah ummat yang satu. maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.” [Al-Baqarah: 213]
Kesyirikan berawal pada masa kaum Nabi Nuh `alaihis-salam. Maka Allah mengutus Nabi Nuh `alaihis-salam sebagai rasul yang pertama. Allah ta`ala berfirman,

 إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَىٰ نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ 
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya.” [An-Nisaa`: 163]

Jarak antara Nabi Adam dan Nabi Nuh `alaihimas-salam adalah sepuluh generasi yang seluruhnya berada di atas Islam. Sebagaimana penjelasan Ibnu `Abbas radhiyallahu ta`ala `anhu.

Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa ini merupakan pendapat yang benar. (Al-MuntaQao min Ighootsatil Lahafaan hal. 440).

Ubay bin Ka`ab radiyallahu ‘anhu membaca firman Allah ta`ala dalam surat Al-Baqarah ayat ke-213 dengan bacaan sebagai berikut,
“Dahulu manusia itu adalah ummat yang satu, lalu mereka berselisih, maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.”
Bacaan Ubay bin Ka`ab di atas dikuatkan oleh firman Allah ta`ala:

وَمَا كَانَ النَّاسُ إِلَّا أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا
“Dahulu manusia hanyalah ummat yang satu, kemudian mereka berselisih.” [Yuunus: 19]
Maksud pernyataan Ibnul Qayyim yang terdahulu bahwa para nabi diutus karena perselisihan manusia. Mereka telah keluar dari agama yang benar sebagaimana yang mereka pegangi sebelumnya.
Dahulu bangsa Arab juga berada di atas agama Nabi Ibrahim `alaihis salam yaitu at-tauhid. hingga datang `Amr bin Luhai Al-Khuza`i lalu merubah agama Nabi Ibrahim `alaihis-salam. Melalui orang ini tersebar penyembahan terhadap berhala di bumi Arab, terlebih khusus wilayah Hijaz. Maka Allah subhanahu wa ta`ala mengutus Nabi kita Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam menjadi nabi yang terakhir.

Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyeru manusia kepada agama tauhid dan mengikuti ajaran Nabi Ibrahim `alaihis-salam. Beliau berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya. Sampai tegak kembali agama tauhid dan runtuh segala penyembahan terhadap berhala. Saat itulah Allah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi alam semesta.

Selanjutnya generasi yang terbaik dari umat ini berjalan di atas ajaran tauhid. Namun setelah masa mereka berlalu umat ini kembali didominasi oleh berbagai kebodohan. Mereka terkungkung dengan berbagai pemikiran baru yang mengembalikan kepada syirik. Bahkan pengaruh dari agama-agama lain cukup kuat mewarnai semangat keagamaan yang mereka miliki.

Sejarah penyebaran syirik terulang pada umat ini disebabkan para penyeru kesesatan. Sebab lain yang tak kalah penting adalah pembangunan kuburan-kuburan dalam rangka pengagungan terhadap para wali dan orang-orang shalih secara berlebihan.

Dengan demikian maka kuburan menjadi tempat pengagungan lantas menjadi berhala yang disembah selain Allah. Berbagai amalan diperuntukkan bagi kuburan baik berupa doa, penyembelihan, nadzar dan yang selainnya. [lihat Kitabut-tauhid karya DR.As- Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 6-7].

Itulah fenomena sejarah perjalanan agama umat manusia sampai zaman ini. Hari-hari belakangan kesyirikan telah sedemikian dahsyat melanda kaum muslimin. Sedikit sekali di antara mereka orang yang mengerti tentang tauhid dan bersih dari syirik. As-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu As-Syaikh pernah berkata: “Di awal umat ini jumlah orang yang bertauhid cukup banyak sedangkan di masa belakangan jumlah mereka sedikit”. [Qurratul-`Uyuun hal.24]

Kita mendapatkan perkara tauhid sebagai barang langka di kehidupan sebagian masyarakat muslimin. Tidak dengan mudah kita menemuinya walaupun mereka mengaku sebagai muslimin. Maka perlu untuk membangkitkan kembali semangat bertauhid di tengah umat ini. Karena tauhid adalah hak Allah yang paling wajib untuk ditunaikan oleh manusia.


Tauhid, Hak Allah atas Segenap Manusia

Sesungguhnya tauhid adalah hak Allah yang paling wajib untuk ditunaikan oleh manusia. Allah tidaklah menciptakan manusia kecuali untuk bertauhid. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” [Ad-Dzaariyaat: 56]
Sebagian ulama menafsirkan kalimat “supaya menyembah-Ku” dengan makna: “supaya mentauhidkan-Ku” [Lihat Al-Qaulul Mufiid karya Syaikh Ibnu `Utsaimin jilid 1 hal. 20]

Jika peribadahan kepada Allah tidak disertai dengan bertauhid maka tidak akan bermanfaat. Amalan mana pun akan tertolak dan batal bila dicampuri oleh syirik. Bahkan bisa menggugurkan seluruh amalan yang lain bila perbuatan syirik yang dilakukan dalam kategori syirik besar. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. [Al-An`aam: 88]
 لَىِٕنْ اَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ
“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” [Az-Zumar: 65]
Dua ayat ini merupakan peringatan Allah ta`ala kepada para nabi-Nya. Lalu bagaimana dengan yang selain mereka? Tentu setiap amalan yang mereka lakukan adalah sia-sia bila tanpa tauhid dan bersih dari syirik.

Tauhid adalah hak Allah subhanahu wa ta`ala sebagai Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta ini. Langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalam keduanya terwujud karena penciptaan Allah subhanahu wa ta`ala.

Allah menciptakan seluruhnya dengan hikmah yang sangat besar dan keadilan. Maka layak bagi Allah subhanahu wa ta`ala untuk mendapatkan hak peribadatan dari para makhluk-Nya tanpa disekutukan dengan sesuatu apa pun.

Allah telah menciptakan manusia setelah sebelumnya mereka bukan sesuatu yang dapat disebut. Keberadaan mereka di alam ini merupakan kekuasaan Allah yang disertai dengan berbagai curahan nikmat dan karunia-Nya.

Allah telah melimpahkan sekian kenikmatan sejak manusia masih berada di dalam perut ibunya, melewati proses kehidupan di dalam tiga kegelapan. Pada fase ini tidak ada seorang pun yang bisa menyampaikan makanan serta menjaga kehidupannya melainkan Allah subhanahu wa ta`ala. Ibunya sebagai penghubung untuk mendapatkan rezeki dari Allah ta`ala.

Tatkala lahir ke dunia, Allah ta`ala telah mentakdirkan baginya kedua orang tua yang mengasuhnya sampai dewasa dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab.

Itu semua adalah rahmat dan keutamaan Allah ta`ala terhadap segenap makhluk yang dikenal dengan nama manusia. Jika seorang anak manusia lepas dari rahmat dan keutamaan Allah walaupun sekejap maka dia akan binasa. Demikian pula jika Allah ta`ala mencegah rahmat dan keutamaan-Nya dari manusia walaupun sedetik, niscaya mereka tidak akan bisa hidup di dunia ini.

Rahmat dan keutamaan Allah yang sedemikian rupa menuntut kita untuk mewujudkan hak Allah yang paling besar yaitu beribadah kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta`ala tidak pernah meminta dari kita balasan apa pun kecuali hanya beribadah kepada-Nya semata.

Peribadatan kepada Allah bukanlah sebagai balasan setimpal atas segala limpahan rahmat dan keutamaan Allah bagi kita. Sebab perbandingannya tidak seimbang. Dalam setiap hitungan nafas yang kita hembuskan maka di sana ada sekian rahmat dan keutamaan Allah yang tak terhingga dan ternilai.

Oleh karenanya nilai ibadah yang kita lakukan kepada Allah tenggelam tanpa meninggalkan bilangan di dalam lautan rahmat dan keutamaan-Nya yang tak terkejar oleh hitungan angka. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:


لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ
“Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” [Thaha: 132]
Ketika manusia beribadah kepada Allah tanpa berbuat syirik maka kemaslahatannya kembali kepada dirinya sendiri. Allah akan membalas seluruh amal kebaikan manusia dengan kebaikan yang berlipat ganda dan seluruh amal keburukan mereka dengan yang setimpal.

Peribadatan manusia tidaklah akan menguntungkan Allah dan bila mereka tidak beribadah tidak pula akan merugikan-Nya.

Manusia yang sadar tentang kemaslahatan dirinya akan beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Itulah tauhid yang harus dibersihkan dari berbagai noda syirik. Kesyirikan hanya menjanjikan kesengsaraan hidup di alam akhirat.

Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:

اِنَّهٗ مَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوٰىهُ النَّارُ ۗوَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempat kembalinya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolong pun.” [Al-Maaidah: 72]
Sementara mentauhidkan Allah dalam beribadah menghantarkan kepada keutamaan yang besar di dunia dan akhirat.

Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kedzaliman, bagi mereka keamanan dan mereka mendapatkan petunjuk.” [Al-An`aam: 82]
Kedzaliman yang dimaksud dalam ayat ini ialah kesyirikan sebagaimana yang ditafsirkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Mas`ud. [HR. Bukhari]

Sebagai penutup kami mengajak kepada segenap kaum muslimin untuk beramai-ramai menyambut keberuntungan ini. Jangan kita lalai sehingga jatuh ke dalam lubang kebinasaan yang mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

قُلْ اِنَّ الْخٰسِرِيْنَ الَّذِيْنَ خَسِرُوْٓا اَنْفُسَهُمْ وَاَهْلِيْهِمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِۗ اَلَا ذٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِيْنُ
“Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat”. Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” [Az-Zumar: 15]

Wallahu a`lam bish-shawaab.


____________________


Ditulis Oleh Ustadz Abdul Mu'thi Al-Maedani

Merupakan suatu perkara yang tidak bisa disangkal, bahwa alam semesta ini pasti ada yang menciptakan. Yang mengingkari hal tersebut hanyalah segelintir orang. Itu pun karena mereka tidak menggunakan akal sesuai dengan fungsinya. Sebab akal yang sehat akan mengetahui bahwa setiap yang tampak di alam ini pasti ada yang mewujudkan. Alam yang demikian teratur dengan sangat rapi tentu memiliki pencipta, penguasa, dan pengatur. Tidak ada yang mengingkari perkara ini kecuali orang yang tidak berakal atau sombong dan tidak mau menggunakan pikiran sehat. Mereka tidaklah bisa dijadikan tempat berpijak dalam menilai.

Dzat yang menciptakan, menguasai, dan mengatur alam semesta ini adalah Allah subhanahu wa ta`ala. Inilah yang disebut dengan rububiyyah Allah. Tauhid rububiyyah adalah sebuah keyakinan yang diakui bahkan oleh kaum musyrikin. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah: Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah: Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” [Yunus:31]
Oleh sebab itu, selayaknya manusia hanya menyembah kepada Allah subhanahu wa ta`ala saja. Allah subhanahu wa ta`ala telah menciptakan untuk manusia berbagai prasarana berupa alam semesta ini. Semua itu untuk mewujudkan peribadatan kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta`ala juga membantu mereka untuk mewujudkan peribadahan tersebut dengan limpahan rezeki. Sedangkan Allah tidak membutuhkan imbalan apa pun dari para makhluk-Nya.
Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالاِنسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ ﴿٥٧﴾ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ ٥٨
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” [Adz-Dzaariyaat:56-58]
Sesungguhnya tauhid tertanam pada jiwa manusia secara fitrah. Namun asal fitroh ini dirusak oleh bujuk rayu syaithan yang memalingkan dari tauhid dan menjerumuskan ke dalam syirik. Para syaithan baik dari kalangan jin dan manusia bahu-membahu untuk menyesatkan umat dengan ucapan-ucapan yang indah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaithan-syaithan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-pekataan yang indah-indah untuk menipu manusia” [Al-An’aam:112]
Tauhid adalah asal yang terdapat pada fitrah manusia sejak dilahirkan. Sedangkan kesyirikan adalah sesuatu yang mendatang dan merasuk ke dalam pikiran manusia. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:


فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah di atas) fitroh Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” [Ar-Ruum:30]
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap anak yang lahir, dilahirkan atas fitroh, maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nashroni, atau Majusi” [HR.Al-Bukhari]
Berarti asal yang tertanam pada diri manusia secara fitrah adalah bertauhid kepada Allah subhanahu wa ta`ala.


Kesyirikan adalah Sebab Perselisihan Manusia

Mulai masa Nabi Adam `alaihis-salam sampai kurun waktu yang cukup panjang setelahnya, manusia senantiasa berada di atas Islam sebagai agama tauhid. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ
“Dahulu manusia itu adalah ummat yang satu. maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.” [Al-Baqarah: 213]
Kesyirikan berawal pada masa kaum Nabi Nuh `alaihis-salam. Maka Allah mengutus Nabi Nuh `alaihis-salam sebagai rasul yang pertama. Allah ta`ala berfirman,

 إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَىٰ نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ 
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya.” [An-Nisaa`: 163]

Jarak antara Nabi Adam dan Nabi Nuh `alaihimas-salam adalah sepuluh generasi yang seluruhnya berada di atas Islam. Sebagaimana penjelasan Ibnu `Abbas radhiyallahu ta`ala `anhu.

Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa ini merupakan pendapat yang benar. (Al-MuntaQao min Ighootsatil Lahafaan hal. 440).

Ubay bin Ka`ab radiyallahu ‘anhu membaca firman Allah ta`ala dalam surat Al-Baqarah ayat ke-213 dengan bacaan sebagai berikut,
“Dahulu manusia itu adalah ummat yang satu, lalu mereka berselisih, maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.”
Bacaan Ubay bin Ka`ab di atas dikuatkan oleh firman Allah ta`ala:

وَمَا كَانَ النَّاسُ إِلَّا أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا
“Dahulu manusia hanyalah ummat yang satu, kemudian mereka berselisih.” [Yuunus: 19]
Maksud pernyataan Ibnul Qayyim yang terdahulu bahwa para nabi diutus karena perselisihan manusia. Mereka telah keluar dari agama yang benar sebagaimana yang mereka pegangi sebelumnya.
Dahulu bangsa Arab juga berada di atas agama Nabi Ibrahim `alaihis salam yaitu at-tauhid. hingga datang `Amr bin Luhai Al-Khuza`i lalu merubah agama Nabi Ibrahim `alaihis-salam. Melalui orang ini tersebar penyembahan terhadap berhala di bumi Arab, terlebih khusus wilayah Hijaz. Maka Allah subhanahu wa ta`ala mengutus Nabi kita Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam menjadi nabi yang terakhir.

Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyeru manusia kepada agama tauhid dan mengikuti ajaran Nabi Ibrahim `alaihis-salam. Beliau berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya. Sampai tegak kembali agama tauhid dan runtuh segala penyembahan terhadap berhala. Saat itulah Allah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi alam semesta.

Selanjutnya generasi yang terbaik dari umat ini berjalan di atas ajaran tauhid. Namun setelah masa mereka berlalu umat ini kembali didominasi oleh berbagai kebodohan. Mereka terkungkung dengan berbagai pemikiran baru yang mengembalikan kepada syirik. Bahkan pengaruh dari agama-agama lain cukup kuat mewarnai semangat keagamaan yang mereka miliki.

Sejarah penyebaran syirik terulang pada umat ini disebabkan para penyeru kesesatan. Sebab lain yang tak kalah penting adalah pembangunan kuburan-kuburan dalam rangka pengagungan terhadap para wali dan orang-orang shalih secara berlebihan.

Dengan demikian maka kuburan menjadi tempat pengagungan lantas menjadi berhala yang disembah selain Allah. Berbagai amalan diperuntukkan bagi kuburan baik berupa doa, penyembelihan, nadzar dan yang selainnya. [lihat Kitabut-tauhid karya DR.As- Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 6-7].

Itulah fenomena sejarah perjalanan agama umat manusia sampai zaman ini. Hari-hari belakangan kesyirikan telah sedemikian dahsyat melanda kaum muslimin. Sedikit sekali di antara mereka orang yang mengerti tentang tauhid dan bersih dari syirik. As-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu As-Syaikh pernah berkata: “Di awal umat ini jumlah orang yang bertauhid cukup banyak sedangkan di masa belakangan jumlah mereka sedikit”. [Qurratul-`Uyuun hal.24]

Kita mendapatkan perkara tauhid sebagai barang langka di kehidupan sebagian masyarakat muslimin. Tidak dengan mudah kita menemuinya walaupun mereka mengaku sebagai muslimin. Maka perlu untuk membangkitkan kembali semangat bertauhid di tengah umat ini. Karena tauhid adalah hak Allah yang paling wajib untuk ditunaikan oleh manusia.


Tauhid, Hak Allah atas Segenap Manusia

Sesungguhnya tauhid adalah hak Allah yang paling wajib untuk ditunaikan oleh manusia. Allah tidaklah menciptakan manusia kecuali untuk bertauhid. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” [Ad-Dzaariyaat: 56]
Sebagian ulama menafsirkan kalimat “supaya menyembah-Ku” dengan makna: “supaya mentauhidkan-Ku” [Lihat Al-Qaulul Mufiid karya Syaikh Ibnu `Utsaimin jilid 1 hal. 20]

Jika peribadahan kepada Allah tidak disertai dengan bertauhid maka tidak akan bermanfaat. Amalan mana pun akan tertolak dan batal bila dicampuri oleh syirik. Bahkan bisa menggugurkan seluruh amalan yang lain bila perbuatan syirik yang dilakukan dalam kategori syirik besar. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. [Al-An`aam: 88]
 لَىِٕنْ اَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ
“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” [Az-Zumar: 65]
Dua ayat ini merupakan peringatan Allah ta`ala kepada para nabi-Nya. Lalu bagaimana dengan yang selain mereka? Tentu setiap amalan yang mereka lakukan adalah sia-sia bila tanpa tauhid dan bersih dari syirik.

Tauhid adalah hak Allah subhanahu wa ta`ala sebagai Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta ini. Langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalam keduanya terwujud karena penciptaan Allah subhanahu wa ta`ala.

Allah menciptakan seluruhnya dengan hikmah yang sangat besar dan keadilan. Maka layak bagi Allah subhanahu wa ta`ala untuk mendapatkan hak peribadatan dari para makhluk-Nya tanpa disekutukan dengan sesuatu apa pun.

Allah telah menciptakan manusia setelah sebelumnya mereka bukan sesuatu yang dapat disebut. Keberadaan mereka di alam ini merupakan kekuasaan Allah yang disertai dengan berbagai curahan nikmat dan karunia-Nya.

Allah telah melimpahkan sekian kenikmatan sejak manusia masih berada di dalam perut ibunya, melewati proses kehidupan di dalam tiga kegelapan. Pada fase ini tidak ada seorang pun yang bisa menyampaikan makanan serta menjaga kehidupannya melainkan Allah subhanahu wa ta`ala. Ibunya sebagai penghubung untuk mendapatkan rezeki dari Allah ta`ala.

Tatkala lahir ke dunia, Allah ta`ala telah mentakdirkan baginya kedua orang tua yang mengasuhnya sampai dewasa dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab.

Itu semua adalah rahmat dan keutamaan Allah ta`ala terhadap segenap makhluk yang dikenal dengan nama manusia. Jika seorang anak manusia lepas dari rahmat dan keutamaan Allah walaupun sekejap maka dia akan binasa. Demikian pula jika Allah ta`ala mencegah rahmat dan keutamaan-Nya dari manusia walaupun sedetik, niscaya mereka tidak akan bisa hidup di dunia ini.

Rahmat dan keutamaan Allah yang sedemikian rupa menuntut kita untuk mewujudkan hak Allah yang paling besar yaitu beribadah kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta`ala tidak pernah meminta dari kita balasan apa pun kecuali hanya beribadah kepada-Nya semata.

Peribadatan kepada Allah bukanlah sebagai balasan setimpal atas segala limpahan rahmat dan keutamaan Allah bagi kita. Sebab perbandingannya tidak seimbang. Dalam setiap hitungan nafas yang kita hembuskan maka di sana ada sekian rahmat dan keutamaan Allah yang tak terhingga dan ternilai.

Oleh karenanya nilai ibadah yang kita lakukan kepada Allah tenggelam tanpa meninggalkan bilangan di dalam lautan rahmat dan keutamaan-Nya yang tak terkejar oleh hitungan angka. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:


لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ
“Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” [Thaha: 132]
Ketika manusia beribadah kepada Allah tanpa berbuat syirik maka kemaslahatannya kembali kepada dirinya sendiri. Allah akan membalas seluruh amal kebaikan manusia dengan kebaikan yang berlipat ganda dan seluruh amal keburukan mereka dengan yang setimpal.

Peribadatan manusia tidaklah akan menguntungkan Allah dan bila mereka tidak beribadah tidak pula akan merugikan-Nya.

Manusia yang sadar tentang kemaslahatan dirinya akan beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Itulah tauhid yang harus dibersihkan dari berbagai noda syirik. Kesyirikan hanya menjanjikan kesengsaraan hidup di alam akhirat.

Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:

اِنَّهٗ مَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوٰىهُ النَّارُ ۗوَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempat kembalinya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolong pun.” [Al-Maaidah: 72]
Sementara mentauhidkan Allah dalam beribadah menghantarkan kepada keutamaan yang besar di dunia dan akhirat.

Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kedzaliman, bagi mereka keamanan dan mereka mendapatkan petunjuk.” [Al-An`aam: 82]
Kedzaliman yang dimaksud dalam ayat ini ialah kesyirikan sebagaimana yang ditafsirkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Mas`ud. [HR. Bukhari]

Sebagai penutup kami mengajak kepada segenap kaum muslimin untuk beramai-ramai menyambut keberuntungan ini. Jangan kita lalai sehingga jatuh ke dalam lubang kebinasaan yang mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

قُلْ اِنَّ الْخٰسِرِيْنَ الَّذِيْنَ خَسِرُوْٓا اَنْفُسَهُمْ وَاَهْلِيْهِمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِۗ اَلَا ذٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِيْنُ
“Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat”. Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” [Az-Zumar: 15]

Wallahu a`lam bish-shawaab.


____________________


Ditulis Oleh Ustadz Abdul Mu'thi Al-Maedani

#26 | PERINTAH UNTUK SHALAT

#26 | PERINTAH UNTUK SHALAT


Pembaca yang budiman, pada pertemuan yang terakhir kita telah paparkan tentang masuk Islamnya beberapa orang sahabat baik yang berasal dari Quraisy maupun yang di luar mereka. Setelah mereka masuk Islam, mereka pun diperintahkan untuk menegakkan shalat.

Shalat merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Dari sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ ” رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ “
“Islam itu dibangun di atas lima perkara: Persaksian bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, menunaikan shalat, menunaikan zakat, menunaikan haji ke Baitullah, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Disebutkan oleh Ibnu Hisyam dalam Sirahnya,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إلَى شِعَابِ مَكَّةَ، وَخَرَجَ مَعَهُ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ مُسْتَخْفِيًا مِنْ أَبِيهِ أَبِي طَالِبٍ. وَمِنْ جَمِيعِ أَعْمَامِهِ وَسَائِرِ قَوْمِهِ، فَيُصَلِّيَانِ الصَّلَوَاتِ فِيهَا، إِذَا أَمْسَيَا رَجَعَا. فَمَكَثَا كَذَلِكَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَمْكُثَا.
Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika masuk waktu shalat berangkat ke Perbukitan Makkah. Ali bin Abi Thalib ikut bersamanya dengan sembunyi-sembunyi dari ayahnya (yaitu Abu Thalib), paman-pamannya dan seluruh kaumnya. Kemudian keduanya mengerjakan shalat dan ketika petang keduanya pulang. Mereka tetap seperti ini sesuai dengan kehendak Allah.

Kemudian dituturkan oleh Ibnu Hisyam,
ثُمَّ إنَّ أَبَا طَالِبٍ عَثَرَ عَلَيْهِمَا يَوْمًا وَهُمَا يُصَلِّيَانِ، فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا بن أَخِي! مَا هَذَا الدِّينُ الَّذِي أَرَاكَ تَدِينُ بِهِ؟ قَالَ: أَيْ عَمِّ، هَذَا دِينُ اللَّهِ، وَدِينُ مَلَائِكَتِهِ، وَدِينُ رُسُلِهِ، وَدِينُ أَبِينَا إبْرَاهِيمَ- أَوْ كَمَا قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ رَسُولًا إلَى الْعِبَادِ، وَأَنْتَ أَيْ عَمِّ، أَحَقُّ مَنْ بَذَلْتُ لَهُ النَّصِيحَةَ، وَدَعَوْتُهُ إلَى الْهُدَى، وَأَحَقُّ مَنْ أَجَابَنِي إلَيْهِ وَأَعَانَنِي عَلَيْهِ، أَوْ كَمَا قَالَ، فَقَالَ أَبُو طَالِبٍ: أَيْ ابْنَ أَخِي، إنِّي لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أُفَارِقَ دِينَ آبَائِي وَمَا كَانُوا عَلَيْهِ، وَلَكِنْ وَاَللَّهِ لَا يَخْلُصُ إلَيْكَ بِشَيْءٍ تَكْرَهُهُ مَا بَقِيتُ
Suatu hari, ketika Abu Thalib mendapati keduanya sedang shalat, maka berkatalah dia kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai anak saudaraku, apa agama yang engkau anut ini?

Rasulullah menjawab, “Wahai pamanku, ini adalah agama Allah, para malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya dan agama bapak kita Ibrahim (atau sebagaimana yang dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam). Allah telah mengutus aku sebagai Rasul-Nya membawa agama ini kepada para hamba. Dan engkau wahai pamanku, yang paling berhak untuk aku beri nasihat dan aku ajak kepada petunjuk. Engkaulah yang paling wajib untuk mengikutiku dan menolongku atas dakwah ini (atau sebagaimana yang dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam).”

Abu Thalib lalu berkata, “Wahai anak saudaraku, aku tidak bisa meninggalkan agama nenek moyangku dan adat yang mereka ada di atasnya. Tetapi, demi Allah! Tidak akan kubiarkan sesuatu yang tidak kau sukai mengenai/menimpa kamu selama aku hidup!”[1]

Dalam riwayat yang lain yang dibawakan oleh Al Imam Ahmad rahimahullah di dalam Musnad beliau juga disebutkan dari sahabat Afif Al Kindi radhiyallahu ‘anhu,

كنت امرأ تاجرا فقدمت الحج فأتيت العباس بن عبد المطلب لابتاع منه بعض التجارة وكان امرأ تاجرا فوالله انى لعنده بمنى إذ خرج رجل من خباء قريب منه فنظر إلى الشمس فلما رآها مالت يعنى قام يصلي قال ثم خرجت امرأة من ذلك الخباء الذي خرج منه ذلك الرجل فقامت خلفه تصلى ثم خرج غلام حين راهق الحلم من ذلك الخباء فقام معه يصلي
“Dahulu aku adalah seorang pedagang. Aku pernah datang ke kota Makkah untuk berhaji. Aku menemui Abbas bin Abdul Muthalib untuk membeli barang dagangan darinya. Dia juga seorang pedagang. Demi Allah aku pernah berada di dekatnya di Mina. Tiba-tiba keluarlah seorang laki-laki dari dalam tenda yang tidak jauh darinya. Laki-laki itu melihat ke arah matahari. Ketika dia melihat matahari telah condong dia pun berdiri untuk shalat.
Kemudian keluarlah seorang perempuan dari dalam tenda yang sama. Perempuan itu berdiri di belakang laki-laki tesebut untuk shalat.
Setelah itu keluarlah seorang anak yang telah menginjak usia baligh dari tenda tersebut. Dia juga berdiri bersama laki-laki itu untuk shalat.

قال فقلت للعباس من هذا يا عباس قال هذا محمد بن عبد الله بن عبد المطلب بن أخي قال فقلت من هذه المرأة قال هذه امرأته خديجة ابنة خويلد قال قلت من هذا الفتى قال هذا علي بن أبى طالب بن عمه قال فقلت فما هذا الذي يصنع قال يصلي وهو يزعم انه نبي ولم يتبعه على أمره الا امرأته وبن عمه هذا الفتى وهو يزعم انه سيفتح عليه كنوز كسرى وقيصر قال فكان عفيف وهو بن عم الأشعث بن قيس يقول وأسلم بعد ذلك فحسن إسلامه لو كان الله رزقني الإسلام يومئذ فاكون ثالثا مع علي بن أبى طالب رضي الله عنه
Aku pun bertanya kepada Abbas, ‘Siapa laki-laki itu wahai Abbas?’
Dia menjawab, ‘Itu adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, dia adalah putra dari saudara laki-lakiku’.
Aku bertanya lagi, ‘Siapa perempuan itu?’
Dia menjawab, ‘Itu adalah istrinya, Khadijah binti Khuwailid.’
Aku bertanya lagi, ‘Lalu siapa anak muda itu?’
Dia menjawab, ‘Itu adalah Ali bin Abi Thalib, sepupunya.’
Aku bertanya, ‘Apa yang sedang dia lakukan?’
Abbas menjawab, ‘Dia sedang mengerjakan shalat. Dia mengaku bahwa dirinya seorang Nabi. Belum ada yang mengikuti ajarannya kecuali istrinya dan anak laki-laki pamannya yaitu anak muda tersebut. Dia mengatakan bahwa akan dibukakan untuknya perbendaharaan raja Kisra dan Kaisar.’
Afif kemudian berkata, “Setelah itu Abbas pun masuk Islam dan keislamannya menjadi bagus. Seandainya pada saat itu Allah menganugerahkan islam kepadaku niscaya aku akan menjadi orang ketiga setelah Ali bin Abi Thalib...” (HR. Ahmad) [2]



BAGAIMANA SHALAT BELIAU KETIKA ITU?

Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan bahwa terdapat banyak hadits yang menyebutkan bahwa sebelum Isra’ Mi’raj, Rasulullah dan para sahabat telah melaksanakan shalat.

إنه كان قد فرض عليه ركعتان في أول النهار وركعتان في آخره فقط، ثم افترضت عليه الصلوات الخمس ليلة الإسراء -: قاله مقاتل وغيره.
وقال قتادة: كان بدء الصلاة ركعتين بالغداة، وركعتين بالعشي
Kemudian beliau menjelaskan, “Shalat yang difardhukan ketika itu adalah dua rakaat di awal siang dan dua rakaat di akhir siang. Kemudian barulah diwajibkan kepada beliau shalat yang lima waktu di malam Isra’. Demikian yang disebutkan oleh Muqatil dan yang selain beliau. Adapun Qatadah rahimahullah mengatakan bahwa shalat pertama kali adalah dua raka’at di pagi hari dan dua raka’at di waktu isya’.” [3]


Wallahu a’lam bisshawab.


CATATAN KAKI:
[1] Ibnu Hisyam, As Sirah An Nabawiyah (Mesir: Mushtafa Al Baabi Al Halabi, 1995) jilid 1 hlm. 246.
[2] Ibrahim Al ‘Ali, Shahih As Sirah An Nabawiyyah, (Amman: Daarun Nafaais, 2010), hlm. 72-73.
[3] Ibnu Rajab Al Hambali, Fathul Bari, (Madinah: Maktabah Al Ghuraba’, 1996), jil. 2, hlm. 304.






------------------------------------------------

Ditulis Oleh Ustadz Wira Bachrun Al Bankawy


Pembaca yang budiman, pada pertemuan yang terakhir kita telah paparkan tentang masuk Islamnya beberapa orang sahabat baik yang berasal dari Quraisy maupun yang di luar mereka. Setelah mereka masuk Islam, mereka pun diperintahkan untuk menegakkan shalat.

Shalat merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Dari sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ ” رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ “
“Islam itu dibangun di atas lima perkara: Persaksian bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, menunaikan shalat, menunaikan zakat, menunaikan haji ke Baitullah, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Disebutkan oleh Ibnu Hisyam dalam Sirahnya,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إلَى شِعَابِ مَكَّةَ، وَخَرَجَ مَعَهُ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ مُسْتَخْفِيًا مِنْ أَبِيهِ أَبِي طَالِبٍ. وَمِنْ جَمِيعِ أَعْمَامِهِ وَسَائِرِ قَوْمِهِ، فَيُصَلِّيَانِ الصَّلَوَاتِ فِيهَا، إِذَا أَمْسَيَا رَجَعَا. فَمَكَثَا كَذَلِكَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَمْكُثَا.
Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika masuk waktu shalat berangkat ke Perbukitan Makkah. Ali bin Abi Thalib ikut bersamanya dengan sembunyi-sembunyi dari ayahnya (yaitu Abu Thalib), paman-pamannya dan seluruh kaumnya. Kemudian keduanya mengerjakan shalat dan ketika petang keduanya pulang. Mereka tetap seperti ini sesuai dengan kehendak Allah.

Kemudian dituturkan oleh Ibnu Hisyam,
ثُمَّ إنَّ أَبَا طَالِبٍ عَثَرَ عَلَيْهِمَا يَوْمًا وَهُمَا يُصَلِّيَانِ، فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا بن أَخِي! مَا هَذَا الدِّينُ الَّذِي أَرَاكَ تَدِينُ بِهِ؟ قَالَ: أَيْ عَمِّ، هَذَا دِينُ اللَّهِ، وَدِينُ مَلَائِكَتِهِ، وَدِينُ رُسُلِهِ، وَدِينُ أَبِينَا إبْرَاهِيمَ- أَوْ كَمَا قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ رَسُولًا إلَى الْعِبَادِ، وَأَنْتَ أَيْ عَمِّ، أَحَقُّ مَنْ بَذَلْتُ لَهُ النَّصِيحَةَ، وَدَعَوْتُهُ إلَى الْهُدَى، وَأَحَقُّ مَنْ أَجَابَنِي إلَيْهِ وَأَعَانَنِي عَلَيْهِ، أَوْ كَمَا قَالَ، فَقَالَ أَبُو طَالِبٍ: أَيْ ابْنَ أَخِي، إنِّي لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أُفَارِقَ دِينَ آبَائِي وَمَا كَانُوا عَلَيْهِ، وَلَكِنْ وَاَللَّهِ لَا يَخْلُصُ إلَيْكَ بِشَيْءٍ تَكْرَهُهُ مَا بَقِيتُ
Suatu hari, ketika Abu Thalib mendapati keduanya sedang shalat, maka berkatalah dia kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai anak saudaraku, apa agama yang engkau anut ini?

Rasulullah menjawab, “Wahai pamanku, ini adalah agama Allah, para malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya dan agama bapak kita Ibrahim (atau sebagaimana yang dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam). Allah telah mengutus aku sebagai Rasul-Nya membawa agama ini kepada para hamba. Dan engkau wahai pamanku, yang paling berhak untuk aku beri nasihat dan aku ajak kepada petunjuk. Engkaulah yang paling wajib untuk mengikutiku dan menolongku atas dakwah ini (atau sebagaimana yang dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam).”

Abu Thalib lalu berkata, “Wahai anak saudaraku, aku tidak bisa meninggalkan agama nenek moyangku dan adat yang mereka ada di atasnya. Tetapi, demi Allah! Tidak akan kubiarkan sesuatu yang tidak kau sukai mengenai/menimpa kamu selama aku hidup!”[1]

Dalam riwayat yang lain yang dibawakan oleh Al Imam Ahmad rahimahullah di dalam Musnad beliau juga disebutkan dari sahabat Afif Al Kindi radhiyallahu ‘anhu,

كنت امرأ تاجرا فقدمت الحج فأتيت العباس بن عبد المطلب لابتاع منه بعض التجارة وكان امرأ تاجرا فوالله انى لعنده بمنى إذ خرج رجل من خباء قريب منه فنظر إلى الشمس فلما رآها مالت يعنى قام يصلي قال ثم خرجت امرأة من ذلك الخباء الذي خرج منه ذلك الرجل فقامت خلفه تصلى ثم خرج غلام حين راهق الحلم من ذلك الخباء فقام معه يصلي
“Dahulu aku adalah seorang pedagang. Aku pernah datang ke kota Makkah untuk berhaji. Aku menemui Abbas bin Abdul Muthalib untuk membeli barang dagangan darinya. Dia juga seorang pedagang. Demi Allah aku pernah berada di dekatnya di Mina. Tiba-tiba keluarlah seorang laki-laki dari dalam tenda yang tidak jauh darinya. Laki-laki itu melihat ke arah matahari. Ketika dia melihat matahari telah condong dia pun berdiri untuk shalat.
Kemudian keluarlah seorang perempuan dari dalam tenda yang sama. Perempuan itu berdiri di belakang laki-laki tesebut untuk shalat.
Setelah itu keluarlah seorang anak yang telah menginjak usia baligh dari tenda tersebut. Dia juga berdiri bersama laki-laki itu untuk shalat.

قال فقلت للعباس من هذا يا عباس قال هذا محمد بن عبد الله بن عبد المطلب بن أخي قال فقلت من هذه المرأة قال هذه امرأته خديجة ابنة خويلد قال قلت من هذا الفتى قال هذا علي بن أبى طالب بن عمه قال فقلت فما هذا الذي يصنع قال يصلي وهو يزعم انه نبي ولم يتبعه على أمره الا امرأته وبن عمه هذا الفتى وهو يزعم انه سيفتح عليه كنوز كسرى وقيصر قال فكان عفيف وهو بن عم الأشعث بن قيس يقول وأسلم بعد ذلك فحسن إسلامه لو كان الله رزقني الإسلام يومئذ فاكون ثالثا مع علي بن أبى طالب رضي الله عنه
Aku pun bertanya kepada Abbas, ‘Siapa laki-laki itu wahai Abbas?’
Dia menjawab, ‘Itu adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, dia adalah putra dari saudara laki-lakiku’.
Aku bertanya lagi, ‘Siapa perempuan itu?’
Dia menjawab, ‘Itu adalah istrinya, Khadijah binti Khuwailid.’
Aku bertanya lagi, ‘Lalu siapa anak muda itu?’
Dia menjawab, ‘Itu adalah Ali bin Abi Thalib, sepupunya.’
Aku bertanya, ‘Apa yang sedang dia lakukan?’
Abbas menjawab, ‘Dia sedang mengerjakan shalat. Dia mengaku bahwa dirinya seorang Nabi. Belum ada yang mengikuti ajarannya kecuali istrinya dan anak laki-laki pamannya yaitu anak muda tersebut. Dia mengatakan bahwa akan dibukakan untuknya perbendaharaan raja Kisra dan Kaisar.’
Afif kemudian berkata, “Setelah itu Abbas pun masuk Islam dan keislamannya menjadi bagus. Seandainya pada saat itu Allah menganugerahkan islam kepadaku niscaya aku akan menjadi orang ketiga setelah Ali bin Abi Thalib...” (HR. Ahmad) [2]



BAGAIMANA SHALAT BELIAU KETIKA ITU?

Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan bahwa terdapat banyak hadits yang menyebutkan bahwa sebelum Isra’ Mi’raj, Rasulullah dan para sahabat telah melaksanakan shalat.

إنه كان قد فرض عليه ركعتان في أول النهار وركعتان في آخره فقط، ثم افترضت عليه الصلوات الخمس ليلة الإسراء -: قاله مقاتل وغيره.
وقال قتادة: كان بدء الصلاة ركعتين بالغداة، وركعتين بالعشي
Kemudian beliau menjelaskan, “Shalat yang difardhukan ketika itu adalah dua rakaat di awal siang dan dua rakaat di akhir siang. Kemudian barulah diwajibkan kepada beliau shalat yang lima waktu di malam Isra’. Demikian yang disebutkan oleh Muqatil dan yang selain beliau. Adapun Qatadah rahimahullah mengatakan bahwa shalat pertama kali adalah dua raka’at di pagi hari dan dua raka’at di waktu isya’.” [3]


Wallahu a’lam bisshawab.


CATATAN KAKI:
[1] Ibnu Hisyam, As Sirah An Nabawiyah (Mesir: Mushtafa Al Baabi Al Halabi, 1995) jilid 1 hlm. 246.
[2] Ibrahim Al ‘Ali, Shahih As Sirah An Nabawiyyah, (Amman: Daarun Nafaais, 2010), hlm. 72-73.
[3] Ibnu Rajab Al Hambali, Fathul Bari, (Madinah: Maktabah Al Ghuraba’, 1996), jil. 2, hlm. 304.






------------------------------------------------

Ditulis Oleh Ustadz Wira Bachrun Al Bankawy

#25 | DAKWAH SIRRIYAH DAN ORANG-ORANG YANG PERTAMA KALI MASUK ISLAM

#25 | DAKWAH SIRRIYAH DAN ORANG-ORANG YANG PERTAMA KALI MASUK ISLAM


Setelah wahyu sempat terputus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian mendapatkan perintah untuk berdakwah kepada manusia, mengajak mereka untuk mentauhidkan Allah subhanahu wata’ala dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan kepada-Nya. Mulai lah beliau mendakwahi manusia untuk masuk ke dalam Islam. Dakwah beliau ini dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, sehingga dikenal dengan nama dakwah sirriyyah.


MENAWARKAN ISLAM KEPADA ORANG-ORANG TERDEKAT

Yang pertama-tama dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah menawarkan Islam kepada orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan beliau. Keluarga terdekat dan sahabat-sahabat yang sudah beliau kenal dengan baik berusaha beliau dakwahi sehingga mereka pun menerima Islam sebagai ajaran agama yang benar.
Di antara orang yang pertama masuk islam tentunya adalah:
  1. Isteri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid. 
  2. Maula (mantan budak) beliau, Zaid bin Haritsah bin Syarahil alKalbi. 
  3. Keponakan beliau 'Ali bin Abi Thalib 
  4. Sahabat beliau yang paling dekat yaitu Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. 
Mereka semua memeluk Islam pada permulaan dakwah.
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan,

“Abu Bakr adalah laki-laki pertama yang memeluk Islam. Ada pun Ali, maka beliau adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak kecil. Sedangkan Khadijah, beliau adalah orang yang pertama masuk Islam dari kalangan wanita. Dan Zaid bin Haritsah, beliau adalah orang yang pertama masuk Islam dari kalangan maula (mantan budak). Dan ini adalah pendapat Al Imam Abu Hanifah rahimahullah.” [1] 


DAKWAH ABU BAKR RADHIYALLAHU ANHU

Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu adalah sahabat Rasulullah yang memiliki keutamaan yang besar. Ketika banyak orang mendustakan apa yang beliau bawa, Abu Bakr adalah orang yang paling kuat pembenaran dan dukungannya kepada beliau.
إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي إِلَيْكُمْ فَقُلْتُمْ كَذَبْتَ، وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ صَدَقَ، وَوَاسَانِي بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ 
“Sesungguhnya mengutusku kepada kalian. Kalian mengatakan, ‘Engkau dusta!’. Adapun Abu Bakr mengatakan, ‘Dia benar’. Ia telah mengorbankan jiwa dan hartanya demi aku.” (HR. Al Bukhari)

Abu Bakr pun sangat bersemangat dalam dakwah. Beliau adalah sosok laki-laki yang luwes dalam bergaul, disenangi, berakhlak mulia dan dikenal kebaikannya. Para tokoh kaumnya selalu mengunjunginya dan sudah tidak asing dengan kepribadiannya karena wawasan, kesuksesan dalam perdagangan dan pergaulannya yang baik. Abu Bakr pun berusaha berdakwah kepada orang-orang dari kaumnya yang sering berinteraksi dengan beliau.
Dengan keutamaan dari Allah dan kerja keras Abu Bakr dalam berdakwah, maka masuk Islamlah para sahabat yang mulia yaitu: 
  1. Utsman bin Affan Al Umawi
  2. Az Zubair bin Awam Al Asadi
  3. Abdurrahman bin 'Auf
  4. Sa'ad bin Abi Waqqash 
  5. Thalhah bin 'Ubaidillah [2] 
Kelima orang yang masuk Islam melalui tangan Abu Bakr ini, bersama Abu Bakr sendiri termasuk ke dalam sepuluh sahabat yang diberikan janji surga oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ وَسَعْدٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَعِيدٌ فِي الْجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ
“Abu Bakr di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, Zubair di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, Sa’ad di surga, Sa’id di surga, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah di surga”. (HR. At Tirmidzi)
Semoga Allah meridhai Abu Bakr Ash Shiddiq dan para sahabat Rasulullah lainnya.


BERBONDONG-BONDONG MASUK ISLAM

Kemudian setelah itu masuk Islamlah para sahabat yang mulia lainnya, di antaranya
  1. Abu 'Ubaidah; 'Amir bin Al Jarrah 
  2. Abu Salamah bin 'Abdul Asad
  3. Al Arqam bin Abil Arqam 
  4. Utsman bin Mazh'un 
  5. Qudamah bin Mazh’un
  6. Abdullah bin Mazh’un
  7. Ubaidah bin Al Harits bin Al Muththalib bin 'Abdu Manaf
  8. Sa'id bin Zaid Al 'Adawy 
  9. Fathimah binti Al Khaththab Al 'Adawiyyah (saudara perempuan Umar bin Al Khaththab dan istri dari Said bin Zaid)
  10. Khabbab bin Al Arts
  11. Ja’far bin Abi Thalib
  12. Asma’ bin Umais
  13. Khalid bin Sa’id Al Umawi
  14. Aminah binti Khalaf
  15. Amr bin Sa’id Al Umawi
  16. Hathib bin Al Harits Al Jumahi
  17. Fathimah bin Al Mujallil
  18. Al Khattab bin Al Harits
  19. Fukaihah binti Yasar
  20. Ma’mar bin Al Harits
  21. Al Muthallib bin Azhar Az Zuhri
  22. Ramlah binti Abu Auf
  23. Nu’aim bin Abdullah Al Adawi
Mereka semua berasal dari semua suku Quraisy.
Adapun yang berasal dari selain Quraisy, di antaranya:

  1. Abdullah bin Mas’ud Al Hudzali
  2. Mas’ud bin Rabi’ah Al Qari
  3. Abdullah bin Jahsy Al Asadi
  4. Abu Ahmad bin Jahsy
  5. Bilal bin Rabah Al Habasy
  6. Suhaib bin Sinaan Ar Ruumi
  7. Ammar bin Yasir Al Anasi
  8. Yasir Al Anasi
  9. Sumayyah (istri Yasir, ibu dari Ammar)
  10. Amir bin Fuhairah
Selain itu dari kalangan wanita terdapatlah nama-nama:
  1. Ummu Ayman Barakah Al Habasyiyah
  2. Ummu Fadhl, istri dari Abbas (paman Rasulullah)
  3. Asma’ binti Abu Bakr [3] 
Kalau kita perhatikan banyak juga dari mereka yang berasal dari kalangan budak atau mantan budak. Di antaranya sebagaimana yang kita sebutkan sebelumnya yaitu Zaid bin Haritsah. Adapun budak-budak lainnya adalah Bilal bin Rabah Al Habasyi, Aamir bin Fuhairah, Abu Fakihah, dan Yasir.
Ammar radhiyallahu ‘anhu berkata,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا مَعَهُ، إِلَّا خَمْسَةُ أَعْبُدٍ، وَامْرَأَتَانِ وَأَبُو بَكْرٍ
"Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak ada orang yang bersama beliau kecuali lima orang budak, dua orang wanita, dan Abu Bakr". (HR. Al Bukhari)
Disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar bahwa kelima budak itu adalah:
  1. Bilal bin Rabah
  2. Zaid bin Haritsah
  3. Aamir bin Fahiirah, budaknya Abu Bakr.
  4. Abu Fakihah, budaknya Shofwan bin Umayyah.
  5. Yasir, ayah dari Ammar, suami Sumayyah
Sedangkan dua orang wanita adalah Khadiijah dan Sumayyah. Atau bisa jadi Khadijah dan Ummu Aiman. [4]
Para sahabat yang mulia inilah yang disebut sebagai assabiqunal awwalun, yaitu orang-orang yang pertama masuk Islam sebagaimana yang dipuji oleh Allah di dalam Al Qur’an…
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At Taubah: 100).


Wallahu a’lam bisshawab.


**********


CATATAN KAKI
[1] Ibrahim Al ‘Ali, Shahih As Sirah An Nabawiyyah, (Amman: Daarun Nafaais, 2010), hlm. 74.
[2] Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, (Riyadh: Dar Ibnil Jauzi, 1435 H), hlm. 91-92.
[3] Ibid., hlm. 92
[4] Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Darul Ma’rifah, 1379 H), Jil. 1, hlm. 300.


Artikel Sebelumnya:




------------------------------------------------

Ditulis Oleh Ustadz Wira Bachrun Al Bankawy

Setelah wahyu sempat terputus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian mendapatkan perintah untuk berdakwah kepada manusia, mengajak mereka untuk mentauhidkan Allah subhanahu wata’ala dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan kepada-Nya. Mulai lah beliau mendakwahi manusia untuk masuk ke dalam Islam. Dakwah beliau ini dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, sehingga dikenal dengan nama dakwah sirriyyah.


MENAWARKAN ISLAM KEPADA ORANG-ORANG TERDEKAT

Yang pertama-tama dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah menawarkan Islam kepada orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan beliau. Keluarga terdekat dan sahabat-sahabat yang sudah beliau kenal dengan baik berusaha beliau dakwahi sehingga mereka pun menerima Islam sebagai ajaran agama yang benar.
Di antara orang yang pertama masuk islam tentunya adalah:
  1. Isteri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid. 
  2. Maula (mantan budak) beliau, Zaid bin Haritsah bin Syarahil alKalbi. 
  3. Keponakan beliau 'Ali bin Abi Thalib 
  4. Sahabat beliau yang paling dekat yaitu Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. 
Mereka semua memeluk Islam pada permulaan dakwah.
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan,

“Abu Bakr adalah laki-laki pertama yang memeluk Islam. Ada pun Ali, maka beliau adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak kecil. Sedangkan Khadijah, beliau adalah orang yang pertama masuk Islam dari kalangan wanita. Dan Zaid bin Haritsah, beliau adalah orang yang pertama masuk Islam dari kalangan maula (mantan budak). Dan ini adalah pendapat Al Imam Abu Hanifah rahimahullah.” [1] 


DAKWAH ABU BAKR RADHIYALLAHU ANHU

Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu adalah sahabat Rasulullah yang memiliki keutamaan yang besar. Ketika banyak orang mendustakan apa yang beliau bawa, Abu Bakr adalah orang yang paling kuat pembenaran dan dukungannya kepada beliau.
إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي إِلَيْكُمْ فَقُلْتُمْ كَذَبْتَ، وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ صَدَقَ، وَوَاسَانِي بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ 
“Sesungguhnya mengutusku kepada kalian. Kalian mengatakan, ‘Engkau dusta!’. Adapun Abu Bakr mengatakan, ‘Dia benar’. Ia telah mengorbankan jiwa dan hartanya demi aku.” (HR. Al Bukhari)

Abu Bakr pun sangat bersemangat dalam dakwah. Beliau adalah sosok laki-laki yang luwes dalam bergaul, disenangi, berakhlak mulia dan dikenal kebaikannya. Para tokoh kaumnya selalu mengunjunginya dan sudah tidak asing dengan kepribadiannya karena wawasan, kesuksesan dalam perdagangan dan pergaulannya yang baik. Abu Bakr pun berusaha berdakwah kepada orang-orang dari kaumnya yang sering berinteraksi dengan beliau.
Dengan keutamaan dari Allah dan kerja keras Abu Bakr dalam berdakwah, maka masuk Islamlah para sahabat yang mulia yaitu: 
  1. Utsman bin Affan Al Umawi
  2. Az Zubair bin Awam Al Asadi
  3. Abdurrahman bin 'Auf
  4. Sa'ad bin Abi Waqqash 
  5. Thalhah bin 'Ubaidillah [2] 
Kelima orang yang masuk Islam melalui tangan Abu Bakr ini, bersama Abu Bakr sendiri termasuk ke dalam sepuluh sahabat yang diberikan janji surga oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ وَسَعْدٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَعِيدٌ فِي الْجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ
“Abu Bakr di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, Zubair di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, Sa’ad di surga, Sa’id di surga, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah di surga”. (HR. At Tirmidzi)
Semoga Allah meridhai Abu Bakr Ash Shiddiq dan para sahabat Rasulullah lainnya.


BERBONDONG-BONDONG MASUK ISLAM

Kemudian setelah itu masuk Islamlah para sahabat yang mulia lainnya, di antaranya
  1. Abu 'Ubaidah; 'Amir bin Al Jarrah 
  2. Abu Salamah bin 'Abdul Asad
  3. Al Arqam bin Abil Arqam 
  4. Utsman bin Mazh'un 
  5. Qudamah bin Mazh’un
  6. Abdullah bin Mazh’un
  7. Ubaidah bin Al Harits bin Al Muththalib bin 'Abdu Manaf
  8. Sa'id bin Zaid Al 'Adawy 
  9. Fathimah binti Al Khaththab Al 'Adawiyyah (saudara perempuan Umar bin Al Khaththab dan istri dari Said bin Zaid)
  10. Khabbab bin Al Arts
  11. Ja’far bin Abi Thalib
  12. Asma’ bin Umais
  13. Khalid bin Sa’id Al Umawi
  14. Aminah binti Khalaf
  15. Amr bin Sa’id Al Umawi
  16. Hathib bin Al Harits Al Jumahi
  17. Fathimah bin Al Mujallil
  18. Al Khattab bin Al Harits
  19. Fukaihah binti Yasar
  20. Ma’mar bin Al Harits
  21. Al Muthallib bin Azhar Az Zuhri
  22. Ramlah binti Abu Auf
  23. Nu’aim bin Abdullah Al Adawi
Mereka semua berasal dari semua suku Quraisy.
Adapun yang berasal dari selain Quraisy, di antaranya:

  1. Abdullah bin Mas’ud Al Hudzali
  2. Mas’ud bin Rabi’ah Al Qari
  3. Abdullah bin Jahsy Al Asadi
  4. Abu Ahmad bin Jahsy
  5. Bilal bin Rabah Al Habasy
  6. Suhaib bin Sinaan Ar Ruumi
  7. Ammar bin Yasir Al Anasi
  8. Yasir Al Anasi
  9. Sumayyah (istri Yasir, ibu dari Ammar)
  10. Amir bin Fuhairah
Selain itu dari kalangan wanita terdapatlah nama-nama:
  1. Ummu Ayman Barakah Al Habasyiyah
  2. Ummu Fadhl, istri dari Abbas (paman Rasulullah)
  3. Asma’ binti Abu Bakr [3] 
Kalau kita perhatikan banyak juga dari mereka yang berasal dari kalangan budak atau mantan budak. Di antaranya sebagaimana yang kita sebutkan sebelumnya yaitu Zaid bin Haritsah. Adapun budak-budak lainnya adalah Bilal bin Rabah Al Habasyi, Aamir bin Fuhairah, Abu Fakihah, dan Yasir.
Ammar radhiyallahu ‘anhu berkata,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا مَعَهُ، إِلَّا خَمْسَةُ أَعْبُدٍ، وَامْرَأَتَانِ وَأَبُو بَكْرٍ
"Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak ada orang yang bersama beliau kecuali lima orang budak, dua orang wanita, dan Abu Bakr". (HR. Al Bukhari)
Disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar bahwa kelima budak itu adalah:
  1. Bilal bin Rabah
  2. Zaid bin Haritsah
  3. Aamir bin Fahiirah, budaknya Abu Bakr.
  4. Abu Fakihah, budaknya Shofwan bin Umayyah.
  5. Yasir, ayah dari Ammar, suami Sumayyah
Sedangkan dua orang wanita adalah Khadiijah dan Sumayyah. Atau bisa jadi Khadijah dan Ummu Aiman. [4]
Para sahabat yang mulia inilah yang disebut sebagai assabiqunal awwalun, yaitu orang-orang yang pertama masuk Islam sebagaimana yang dipuji oleh Allah di dalam Al Qur’an…
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At Taubah: 100).


Wallahu a’lam bisshawab.


**********


CATATAN KAKI
[1] Ibrahim Al ‘Ali, Shahih As Sirah An Nabawiyyah, (Amman: Daarun Nafaais, 2010), hlm. 74.
[2] Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, (Riyadh: Dar Ibnil Jauzi, 1435 H), hlm. 91-92.
[3] Ibid., hlm. 92
[4] Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Darul Ma’rifah, 1379 H), Jil. 1, hlm. 300.


Artikel Sebelumnya:




------------------------------------------------

Ditulis Oleh Ustadz Wira Bachrun Al Bankawy

MEMETIK PELAJARAN DARI KISAH ISRA' DAN MI'RAJ

MEMETIK PELAJARAN DARI KISAH ISRA' DAN MI'RAJ


Di antara peristiwa yang paling penting dalam perjalanan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Isra’ dan Mi’raj, sebuah perjalanan yang menunjukkan tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah subhanahu wata’ala. Ia merupakan mukjizat yang agung yang Allah subhanahu wata’ala khususkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai bentuk pemuliaan dan pertolongan atas permusuhan kaum musyrikin, dan juga sebagai mukjizat yang menguatkan dan mengokohkan jalan dakwah yang beliau emban. Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah subhanahu wata’ala limpahkan kepada beliau, keluarga serta para sahabat dan pengikutnya.


Pengertian Isra’ dan Mi’raj

Al-Isra’ ialah peristiwa ketika Allah subhanahu wata’ala memperjalankan rasul-Nya dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsha, kemudian kembali lagi menuju Makkah pada malam itu juga.

Allah ta’ala telah mengabadikan kisah isra’ Rasul-Nya di dalam Al Quran. Allah ta’ala berfirman: 
[سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ  [الإسراء: 1
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. Al Isra: 1].


Adapun Al-Mi’raj maksudnya adalah naiknya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dari Baitil Maqdis ke atas langit yang ke tujuh kemudian kembali lagi ke bumi pada malam itu juga.

Allah mengisyaratkan dalam firman-Nya di surat An Najm, Allah ta’ala berfirman:
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى (1) مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (2) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4) عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى (5) ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى (6) وَهُوَ بِالْأُفُقِ الْأَعْلَى (7) ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى (8) فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى (9) فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى (10) مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى (11) أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى (12) وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى (13) عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى (14) عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى (15) إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى (16) مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى (17) لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى (18) النجم: 1 - 18
”Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli, sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar ( 18 ).” [QS. An Najm: 1-18]



Banyak sekali hadits-hadits yang menjelaskan kejadian Mi’raj Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Dan hadits-hadits Mi’raj, naiknya Beliau ke atas langit, perintah shalat lima waktu, penglihatan beliau kepada tanda-tanda kebesaran Allah, surga dan neraka, para Nabi yang ditemui di langit, baitul ma’mur, sidratul muntaha, dan selainnya telah diketahui secara mutawatir dalam banyak hadits.”



Waktu terjadinya Isra’ Mi’raj

Para Ulama bersepakat bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi sebelum hijrah, adapun kapan tepatnya maka terdapat banyak pendapat dalam hal ini dan tidak menjadi masalah yang penting untuk diketahui, karena yang terpenting adalah Isra’ Mi’raj itu nyata terjadi dan disebutkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah secara mutawatir dan juga Ijma’.


Isra’ Mi’raj, Perjalanan Jasad dan Ruh Sekaligus

Mayoritas ulama _salaf dan khalaf_ mengatakan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi dalam satu malam, dalam keadaan beliau terjaga dan dengan jasad dan juga ruhnya sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam...” [QS. Al Isra: 1]
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya Isra’ Mi’raj terjadi dalam satu malam, dalam keadaan beliau terjaga dan dengan jasad dan ruhnya, dan inilah pendapat mayoritas ulama ahli hadits, para fuqaha, dan ahli kalam...”.


Kisah Isra’ Mi’raj (Ringkas)

Allah memperjalankan Nabi-Nya pada malam itu bersama Jibril ‘alaihisssalam dengan menaiki Buraq (seekor hewan tunggangan berwarna putih, lebih tinggi dari keledai,lebih rendah daripada bighal) dari Makkah menuju Baitul Maqdis kemudian beliau shalat dua rakaat. Kemudian Jibril ‘alaihisssalam naik bersamanya ke atas langit.

Di langit dunia ada Nabi Adam, di langit ke dua ada Nabi Yahya,kemudian Nabi Yusuf di langit ke tiga, kemudian Nabi Idris di langit ke empat, kemudian Nabi Harun di langit ke lima, kemudian Nabi Musa di langit ke enam, dan kemudian di langit ke tujuh ada Nabi Ibrahim ‘alaihimusssalam. Di setiap (tingkatan) langit Jibril‘alaihisssalam meminta izin maka diberikan izin dan sambutan untuknya.

Kemudian naiklah beliau menuju sidratul muntaha dan Allah wahyukan kepadanya kewajiban shalat 50 kali dalam sehari semalam. Kemudian terus menerus beliau meminta keringanan hingga diringankan menjadi 5 kali shalat dalam sehari semalam. 

Tidak ada satu hadits pun yang secara lengkap dan detail menjelaskan kejadian ini, akan tetapi masing masing riwayat saling melengkapi satu dengan lainnya. Adapun kisahnya secara lengkap bisa dibaca di dalam buku-buku para Ulama dan sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.


Pelajaran dari Kisah Isra’ Mi’raj

Perjalanan Isra’ Mi’raj bukanlah peristiwa biasa yang berlalu kemudian dilupakan, ia merupakan mukjizat agung yang banyak memberikan pelajaran dan renungan kepada kita. Di antara pelajaran dan faedah yang bisa kita petik adalah:


Buah Manis Kesabaran

Sesungguhnya kemenangan itu bagi orang-orang yang bersabar, dan akhir yang baik hanyalah untuk orang-orang yang bertakwa. Setelah apa yang dialami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari permusuhan dan gangguan dari kaum musyrikin di Makkah, datanglah kemuliaaan dengan Isra’ Mi’raj.

Setelah kesedihan yang beliau alami dengan kematian keluarga dan orang-orang terdekatnya, istri dan pamannya yang selalu membela dan menolongnya, datanglah Isra Mi’raj sebagai mukjizat yang menguatkan dan mengokohkan keimanan, melapangkat hati dan mengangkat derajat. Ini adalah pelajaran berharga bagi kita agar selalu yakin dengan janji Allah dan bersabar atas cobaan dan ujian.


Berpegang Teguh pada Prinsip Kebenaran dan Keimanan


Para nabi dan rasul, shiddiqin dan syuhada, mereka adalah teladan dalam memegang prinsip kebenaran, teguh dalam keimanan. Adalah Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallahu ’anhu, sahabat mulia yang selalu terdepan dalam membenarkan dan mengimani apa-apa yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika orang-orang kafir mengingkari dan menertawakan berita tentang isra’ dan mi’raj-nya Rasullullah, Abu Bakar radhiyallahu ’anhu adalah yang terdepan dalam membenarkan dan mengimaninya. Beliau mengajarkan kepada kita bagaimana keteguhan dan keimanan kepada prinsip-prinsip kebenaran.


Tingginya Kedudukan para Nabi dan Kecintaan di antara Mereka


Para nabi dan rasul adalah pembawa jalan hidayah bagi umat manusia. Meskipun syari’at mereka berbeda-beda, akan tetapi agamanya tetap satu, menyeru kepada tauhid. Dalam kisah Isra’ Mi’raj ini nampak bagi kita kecintaan mereka satu dengan yang lainnya, terlihat dari sambutan, doa dan perhatian mereka terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.


Kedudukan Masjid Al Aqsha


Masjid Al-Aqsha merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam. Ia adalah kiblat pertama kaum muslimin, satu dari tiga masjid yang paling utama di dunia. Semoga Allah menyatukan shaf kaum muslimin dan menyegerakan kemenangan atas penjajahan dan musuh-musuh Islam.


Penjelasan beberapa Masalah Aqidah Islam


Dalam kisah Isra’ Mi’raj terdapat beberapa masalah penting terkait aqidah. Di antaranya: 
  1. Penetapan sifat ‘uluw (ketinggian) atas Allah subhanahu wata’ala, di atas langit ke tujuh, di atas ‘arsy-Nya.
  2. Nabi melihat Allah pada peristiwa Mi’raj (ada silang pendapat apakah melihat langsung atau dengan mata hati).
  3. Penetapan sifat kalam bagi Allah subhanahu wata’ala.
  4. Keutamaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam atas seluruh nabi dan rasul.
  5. Tempat keberadaan arwah.
  6. Kehidupan alam barzakh bagi para nabi dan selainnya.
  7. Penetapan nikmat dan siksa kubur.
  8. Keberadaan surga dan neraka.
  9. Tanda-tanda hari kiamat.
  10. Pentingnya ibadah shalat 5 waktu.
  11. Penghambaan adalah kedudukan tertinggi seorang manusia.
  12. Dll.


Apakah Kita Merayakan/Memperingati Isra’ Mi’raj?

Kita ketahui bersama bahwa sebagian kaum muslimin senantiasa memperingati malam Isra’ Mi’raj setiap tahunnya di bulan Rajab tanggal 27.

Pada hari-hari tersebut diadakan acara-acara seperti ibadah, dzikir, doa bersama, pembacaan ‘mi’raj’ yang dinisbatkan kepada ibnu ‘Abbas, dll.

Perlu kita ketahui bersama bahwa setelah kejadian Isra’ Mi’raj sampai wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pernah ada acara peringatan Isra’ Mi’raj. 

Tidak pula diperintahkan oleh Khulafa’ ar Rasyidun dan generasi setelahnya untuk memperingatinya, sedangkan mereka adalah generasi terbaik umat Islam yang menjadi contoh dan panutan baik dalam ibadah maupun mu’amalah. 

Dari sini dapat kita simpulkal bahwa acara perayaan ini tidak ada dasarnya baik dari kitab, sunnah, ijma’, perkataan sahabat, ataupun dari para imam yang diikuti. Bahkan boleh dikatakan bahwa ini merupakan perkara yang diada-adakan setelah sempurnanya syariat Islam.


Ada dua poin yang perlu diperhatikan dalam masalah peringatan Isra’ Mi’raj:
  1. Tidak diketahui secara pasti kapan terjadinya Isra’ Mi’raj. Para ahli ilmu berselisih dengan pendapat yang banyak dan berjauhan, bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Rajab adalah kedustaan. 
  2. Kalaupun toh diketahui secara pasti tanggal terjadinya Isra’ Mi’raj, kaum muslimin tetap tidak diperbolehkan untuk mengadakan peringatan dan perayaan karena Nabi tidak pernah mengkhususkan hal tersebut, begitu juga para sahabat. Seandainya mereka merayakannya, pasti akan ada riwayat yang sampai kepada kita. Hal ini senada dengan penjelasan Syaikh bin Baz rahimahullah ketika menjelaskan masalah ini.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: “adapun apa-apa yang disepakati para salaf untuk ditinggalkan maka tidak boleh untuk diamalkan, karena mereka tidak meninggalkannya kecuali dengan ilmu bahwasanya hal itu tidak (boleh) diamalkan.” 

Maka yang wajib bagi kita adalah mencukupkan diri pada apa yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi awal umat Islam.
Wallahu a’lam.



Disarikan dari:



------------------------------------------------


Di antara peristiwa yang paling penting dalam perjalanan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Isra’ dan Mi’raj, sebuah perjalanan yang menunjukkan tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah subhanahu wata’ala. Ia merupakan mukjizat yang agung yang Allah subhanahu wata’ala khususkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai bentuk pemuliaan dan pertolongan atas permusuhan kaum musyrikin, dan juga sebagai mukjizat yang menguatkan dan mengokohkan jalan dakwah yang beliau emban. Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah subhanahu wata’ala limpahkan kepada beliau, keluarga serta para sahabat dan pengikutnya.


Pengertian Isra’ dan Mi’raj

Al-Isra’ ialah peristiwa ketika Allah subhanahu wata’ala memperjalankan rasul-Nya dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsha, kemudian kembali lagi menuju Makkah pada malam itu juga.

Allah ta’ala telah mengabadikan kisah isra’ Rasul-Nya di dalam Al Quran. Allah ta’ala berfirman: 
[سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ  [الإسراء: 1
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. Al Isra: 1].


Adapun Al-Mi’raj maksudnya adalah naiknya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dari Baitil Maqdis ke atas langit yang ke tujuh kemudian kembali lagi ke bumi pada malam itu juga.

Allah mengisyaratkan dalam firman-Nya di surat An Najm, Allah ta’ala berfirman:
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى (1) مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (2) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4) عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى (5) ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى (6) وَهُوَ بِالْأُفُقِ الْأَعْلَى (7) ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى (8) فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى (9) فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى (10) مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى (11) أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى (12) وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى (13) عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى (14) عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى (15) إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى (16) مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى (17) لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى (18) النجم: 1 - 18
”Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli, sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar ( 18 ).” [QS. An Najm: 1-18]



Banyak sekali hadits-hadits yang menjelaskan kejadian Mi’raj Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Dan hadits-hadits Mi’raj, naiknya Beliau ke atas langit, perintah shalat lima waktu, penglihatan beliau kepada tanda-tanda kebesaran Allah, surga dan neraka, para Nabi yang ditemui di langit, baitul ma’mur, sidratul muntaha, dan selainnya telah diketahui secara mutawatir dalam banyak hadits.”



Waktu terjadinya Isra’ Mi’raj

Para Ulama bersepakat bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi sebelum hijrah, adapun kapan tepatnya maka terdapat banyak pendapat dalam hal ini dan tidak menjadi masalah yang penting untuk diketahui, karena yang terpenting adalah Isra’ Mi’raj itu nyata terjadi dan disebutkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah secara mutawatir dan juga Ijma’.


Isra’ Mi’raj, Perjalanan Jasad dan Ruh Sekaligus

Mayoritas ulama _salaf dan khalaf_ mengatakan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi dalam satu malam, dalam keadaan beliau terjaga dan dengan jasad dan juga ruhnya sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam...” [QS. Al Isra: 1]
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya Isra’ Mi’raj terjadi dalam satu malam, dalam keadaan beliau terjaga dan dengan jasad dan ruhnya, dan inilah pendapat mayoritas ulama ahli hadits, para fuqaha, dan ahli kalam...”.


Kisah Isra’ Mi’raj (Ringkas)

Allah memperjalankan Nabi-Nya pada malam itu bersama Jibril ‘alaihisssalam dengan menaiki Buraq (seekor hewan tunggangan berwarna putih, lebih tinggi dari keledai,lebih rendah daripada bighal) dari Makkah menuju Baitul Maqdis kemudian beliau shalat dua rakaat. Kemudian Jibril ‘alaihisssalam naik bersamanya ke atas langit.

Di langit dunia ada Nabi Adam, di langit ke dua ada Nabi Yahya,kemudian Nabi Yusuf di langit ke tiga, kemudian Nabi Idris di langit ke empat, kemudian Nabi Harun di langit ke lima, kemudian Nabi Musa di langit ke enam, dan kemudian di langit ke tujuh ada Nabi Ibrahim ‘alaihimusssalam. Di setiap (tingkatan) langit Jibril‘alaihisssalam meminta izin maka diberikan izin dan sambutan untuknya.

Kemudian naiklah beliau menuju sidratul muntaha dan Allah wahyukan kepadanya kewajiban shalat 50 kali dalam sehari semalam. Kemudian terus menerus beliau meminta keringanan hingga diringankan menjadi 5 kali shalat dalam sehari semalam. 

Tidak ada satu hadits pun yang secara lengkap dan detail menjelaskan kejadian ini, akan tetapi masing masing riwayat saling melengkapi satu dengan lainnya. Adapun kisahnya secara lengkap bisa dibaca di dalam buku-buku para Ulama dan sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.


Pelajaran dari Kisah Isra’ Mi’raj

Perjalanan Isra’ Mi’raj bukanlah peristiwa biasa yang berlalu kemudian dilupakan, ia merupakan mukjizat agung yang banyak memberikan pelajaran dan renungan kepada kita. Di antara pelajaran dan faedah yang bisa kita petik adalah:


Buah Manis Kesabaran

Sesungguhnya kemenangan itu bagi orang-orang yang bersabar, dan akhir yang baik hanyalah untuk orang-orang yang bertakwa. Setelah apa yang dialami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari permusuhan dan gangguan dari kaum musyrikin di Makkah, datanglah kemuliaaan dengan Isra’ Mi’raj.

Setelah kesedihan yang beliau alami dengan kematian keluarga dan orang-orang terdekatnya, istri dan pamannya yang selalu membela dan menolongnya, datanglah Isra Mi’raj sebagai mukjizat yang menguatkan dan mengokohkan keimanan, melapangkat hati dan mengangkat derajat. Ini adalah pelajaran berharga bagi kita agar selalu yakin dengan janji Allah dan bersabar atas cobaan dan ujian.


Berpegang Teguh pada Prinsip Kebenaran dan Keimanan


Para nabi dan rasul, shiddiqin dan syuhada, mereka adalah teladan dalam memegang prinsip kebenaran, teguh dalam keimanan. Adalah Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallahu ’anhu, sahabat mulia yang selalu terdepan dalam membenarkan dan mengimani apa-apa yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika orang-orang kafir mengingkari dan menertawakan berita tentang isra’ dan mi’raj-nya Rasullullah, Abu Bakar radhiyallahu ’anhu adalah yang terdepan dalam membenarkan dan mengimaninya. Beliau mengajarkan kepada kita bagaimana keteguhan dan keimanan kepada prinsip-prinsip kebenaran.


Tingginya Kedudukan para Nabi dan Kecintaan di antara Mereka


Para nabi dan rasul adalah pembawa jalan hidayah bagi umat manusia. Meskipun syari’at mereka berbeda-beda, akan tetapi agamanya tetap satu, menyeru kepada tauhid. Dalam kisah Isra’ Mi’raj ini nampak bagi kita kecintaan mereka satu dengan yang lainnya, terlihat dari sambutan, doa dan perhatian mereka terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.


Kedudukan Masjid Al Aqsha


Masjid Al-Aqsha merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam. Ia adalah kiblat pertama kaum muslimin, satu dari tiga masjid yang paling utama di dunia. Semoga Allah menyatukan shaf kaum muslimin dan menyegerakan kemenangan atas penjajahan dan musuh-musuh Islam.


Penjelasan beberapa Masalah Aqidah Islam


Dalam kisah Isra’ Mi’raj terdapat beberapa masalah penting terkait aqidah. Di antaranya: 
  1. Penetapan sifat ‘uluw (ketinggian) atas Allah subhanahu wata’ala, di atas langit ke tujuh, di atas ‘arsy-Nya.
  2. Nabi melihat Allah pada peristiwa Mi’raj (ada silang pendapat apakah melihat langsung atau dengan mata hati).
  3. Penetapan sifat kalam bagi Allah subhanahu wata’ala.
  4. Keutamaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam atas seluruh nabi dan rasul.
  5. Tempat keberadaan arwah.
  6. Kehidupan alam barzakh bagi para nabi dan selainnya.
  7. Penetapan nikmat dan siksa kubur.
  8. Keberadaan surga dan neraka.
  9. Tanda-tanda hari kiamat.
  10. Pentingnya ibadah shalat 5 waktu.
  11. Penghambaan adalah kedudukan tertinggi seorang manusia.
  12. Dll.


Apakah Kita Merayakan/Memperingati Isra’ Mi’raj?

Kita ketahui bersama bahwa sebagian kaum muslimin senantiasa memperingati malam Isra’ Mi’raj setiap tahunnya di bulan Rajab tanggal 27.

Pada hari-hari tersebut diadakan acara-acara seperti ibadah, dzikir, doa bersama, pembacaan ‘mi’raj’ yang dinisbatkan kepada ibnu ‘Abbas, dll.

Perlu kita ketahui bersama bahwa setelah kejadian Isra’ Mi’raj sampai wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pernah ada acara peringatan Isra’ Mi’raj. 

Tidak pula diperintahkan oleh Khulafa’ ar Rasyidun dan generasi setelahnya untuk memperingatinya, sedangkan mereka adalah generasi terbaik umat Islam yang menjadi contoh dan panutan baik dalam ibadah maupun mu’amalah. 

Dari sini dapat kita simpulkal bahwa acara perayaan ini tidak ada dasarnya baik dari kitab, sunnah, ijma’, perkataan sahabat, ataupun dari para imam yang diikuti. Bahkan boleh dikatakan bahwa ini merupakan perkara yang diada-adakan setelah sempurnanya syariat Islam.


Ada dua poin yang perlu diperhatikan dalam masalah peringatan Isra’ Mi’raj:
  1. Tidak diketahui secara pasti kapan terjadinya Isra’ Mi’raj. Para ahli ilmu berselisih dengan pendapat yang banyak dan berjauhan, bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Rajab adalah kedustaan. 
  2. Kalaupun toh diketahui secara pasti tanggal terjadinya Isra’ Mi’raj, kaum muslimin tetap tidak diperbolehkan untuk mengadakan peringatan dan perayaan karena Nabi tidak pernah mengkhususkan hal tersebut, begitu juga para sahabat. Seandainya mereka merayakannya, pasti akan ada riwayat yang sampai kepada kita. Hal ini senada dengan penjelasan Syaikh bin Baz rahimahullah ketika menjelaskan masalah ini.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: “adapun apa-apa yang disepakati para salaf untuk ditinggalkan maka tidak boleh untuk diamalkan, karena mereka tidak meninggalkannya kecuali dengan ilmu bahwasanya hal itu tidak (boleh) diamalkan.” 

Maka yang wajib bagi kita adalah mencukupkan diri pada apa yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi awal umat Islam.
Wallahu a’lam.



Disarikan dari:



------------------------------------------------

adv/http://halaqah.tauhid.or.id/|

Artikel Pilihan

artikel pilihan/carousel

Arsip Artikel Per Bulan



Facebook

fb/https://www.facebook.com/Tauhid.or.id



Kids

Konten khusus anak & download e-book




Course