Para pembaca yang
budiman, pada artikel yang lalu, kita telah paparkan bagaimana pelecehan,
penindasan dan bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh kaum musyrikin Quraisy
terhadap kaum muslimin. Kita pun telah sebutkan hikmah-hikmah yang ada di balik
itu semua. Lantas bagaimana sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
terhadap perlakuan itu?
Karena
penindasan-penindasan tersebut, Rasulullah kemudian melarang kaum Muslimin
untuk menampakkan keislaman mereka baik dalam bentuk perkataan maupun
perbuatan. Rasulullah juga tidak mengizinkan mereka untuk menemui beliau
kecuali dengan cara diam-diam. Sebab apabila mereka bertemu dengan beliau
secara terbuka maka tidak diragukan lagi kaum musyrikin akan semakin membatasi gerak
beliau sehingga keinginan beliau untuk menyucikan diri kaum Muslimin dan
mengajarkan Al Quran dan As Sunnah kepada mereka akan terhalangi. [1]
Benturan pertama
antara musyrikin
Quraisy terjadi pada tahun keempat kenabian. Ketika itu di bulan Sya’ban, para
sahabat Rasulullah sedang berkumpul dan menegakkan shalat berjamaah secara
rahasia di lereng perbukitan. Kemudian aktivitas mereka ini dilihat oleh
beberapa orang kafir Quraisy. Orang kafir ini pun kemudian mencela bahkan
menyerang kaum muslimin. Kaum muslimin tidak tinggal diam, mereka melakukan
perlawanan, bahkan sampai Saad bin Abi Waqqash melukai salah seorang penyerang
tersebut. Para ulama menyebutkan inilah darah musuh yang tertumpah pertama kali
dalam sejarah Islam. [2]
Benturan-benturan semacam ini, kalau terus
menerus berulang, maka tentunya akan menimbulkan dampak yang tidak baik bagi
kaum muslimin. Ketika itu mereka masih lemah. Bisa jadi kalau terus menerus
terjadi benturan, kaum musyrikin akan membinasakan dan memusnahkan kaum
muslimin. Oleh karena itulah Rasulullah membatasi aktivitas Islam dan
melakukannya secara diam-diam.
Kaum muslimin kemudian memilih untuk melakukan
aktivitas mereka secara diam-diam di sebuah rumah milik seorang sahabat yang
bernama Al Arqam bin Abil Arqam. Al Arqam bin Abil Arqam AL Makhzumi ini
termasuk salah seorang sahabat yang pertama-tama masuk Islam. Beliau termasuk orang yang pertama memeluk Islam melalui tangan Abu Bakr
radhiyallahu ‘anhu. Dahulu Al Arqam memiliki sebuah
rumah yang berada di dekat bukit Shofa. Rumah inilah yang kemudian dijadikan tempat bagi kaum muslimin untuk
berkumpul dan melakukan aktivitas mereka. Rumah ini dikenal dengan nama Darul
Arqam (rumahnya Al Arqam).
Dengan melakukan aktivitas di Darul Arqam yang berada di atas Bukit Shafa dan terpencil, kaum muslimin pun bias luput dari intaian dan pembicaraan gembong-gembong
Quraisy. Rumah inilah yang kemudian dijadikan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam sebagai pusat dakwah dan berkumpulnya kaum Muslimin
sejak tahun kelima kenabian.
Dari usaha Rasulullah mengumpulkan kaum
muslimin di satu tempat, yaitu Darul Arqam ini ada beberapa pelajaran yang bisa
kita ambil:
Pertama, pentingnya shalat
berjama'ah di masjid. Karena sangat jauh perbedaan antara shalat sendirian di rumah dan
shalat bersama umat Islam.
Ketika seseorang shalat bersama saudara-saudaranya di masjid dia bisa mempelajari secara langsung tentang praktik shalat. Selain itu dia bisa belajar bagaimana berinteraksi dengan yang lain dengan adab dan akhlak.
Dahulu, bisa saja Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam membiarkan para sahabatnya menunaikan ibadah dengan
sendiri-sendiri. Tapi tentunya ibadah yang dilakukan sendiri-sendiri ini tidak
akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tegaknya masyarakat muslim
yang diidam-idamkan. Perhatian dan kesungguh-sungguhan Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam ini menunjukkan wajibnya shalat berjamaah di masjid bersama
umat Islam.[4]
Apalagi di balik shalat berjamaah terdapat
keutamaan yang demikian besar, sebagaimana yang dikhabarkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى
صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ وَصَلاَتِهِ فِى سُوقِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
وَذَلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ
لاَ يَنْهَزُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ لاَ يُرِيدُ إِلاَّ الصَّلاَةَ فَلَمْ يَخْطُ
خَطْوَةً إِلاَّ رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ
حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِى الصَّلاَةِ مَا
كَانَتِ الصَّلاَةُ هِىَ تَحْبِسُهُ وَالْمَلاَئِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ
مَا دَامَ فِى مَجْلِسِهِ الَّذِى صَلَّى فِيهِ يَقُولُونَ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ مَا لَمْ
يُحْدِثْ فِيهِ
“Shalat seseorang dengan berjama’ah akan menambah pahalanya daripada shalat sendirian di pasar atau di rumahnya, bertambah duapuluh sekian derajat. Yang demikian itu karena seseorang yang telah menyempurnakan wudhunya kemudian pergi ke masjid dengan tujuan untuk shalat, tiap ia melangkah satu langkah maka diangkatkan baginya satu derajat dan dihapuskan satu dosanya, sampai ia masuk masjid.
Apabila ia berada dalam masjid, ia dianggap
mengerjakan shalat selama ia menunggu hingga shalat dilaksanakan. Para malaikat
lalu mendo’akan orang yang senantiasa di tempat ia shalat, “Ya Allah,
kasihanilah dia, ampunilah dosa-dosanya, terimalah taubatnya.” Hal itu selama
ia tidak berbuat kejelekan dan tidak berhadats.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Kemudian pelajaran yang kedua, apa yang dilakukan
oleh Rasulullah ini menunjukkan pentingnya memiliki
sahabat yang baik dalam kehidupan seorang muslim. Seorang muslim
harus memilki teman baik yang bisa mengingatkannya apabila dia khilaf,
mengajarkannya apabila dia lupa, dan menasihatinya apabila dia lalai.
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam sendiri
bersaba,
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ
الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ،
وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ،
وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا
خَبِيثَة
“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Muslim)[5]
Kemudian pelajaran yang ketiga adalah pentingnya sebuah ikatan dan hubungan yang terus menerus antara sesama
muslim. Dan hukum
membuat ikatan ini akan menjadi semakin urgen apabila
mereka berada negeri yang asing dan di kalangan masyarakat yang sama sekali tidak
mengindahkan aturan Islam. Oleh karena itu, bagi mereka yang seperti ini wajib
mengadakan perkumpulan untuk bisa bekerja sama dalam kebaikan dan agar tetap
berada dalam kebenaran, agar ikatan persaudaraan semakin kuat, dan agar iman
yang ada di dalam dada tetap terjaga tidak luntur dan tidak lemah. Hal ini
dikarenakan mayoritas masyarakat yang mengelilingi kelompok kecil muslim ini
adalah dari kalangan orang-orang kafir. [6]
Pelajaran penting lainnya dari kisah Darul
Arqam ini berkaitan dengan pendidikan. Kisah ini menunjukkan pentingnya proses
tarbiyah (pendidikan) dan konsistensi yang terus menerus dalam
masalah perbaikan dan pengarahan.
Tarbiyah sangat penting posisinya dalam usaha perbaikan masyarakat. Tarbiyah yang baik tidak akan bisa diraih dengan mudah dan dengan jalan pintas karena dia bukanlah sebuah kalimat yang cukup sekadar disampaikan dan setelah itu, selesailah tugas seorang pendidik, seorang murabbi, dan seorang da'i. Bahkan yang wajib dilakukan bagi setiap da'i, murabbi, dan setiap guru adalah bagaimana mengambil pelajaran penting dari rumah Al Arqam, yaitu ketika Rasulullah Shallaliaihu alaihi wasallam berupaya keras dan konsisten untuk mengumpulkan sahabatnya sesaat demi sesaat, sehari demi sehari,untuk mentarbiyah mereka, memberikan pengarahan tentang agama. Ini adalah sebuah pelajaran penting bagi setiap yang bertindak sebagai penanggung jawab, atau sebagai ayah, atau sebagai seorang muslim, atau sebagai seorang da'i yang mengajak kepada Allah Ta'ala. [7]
Tarbiyah sangat penting posisinya dalam usaha perbaikan masyarakat. Tarbiyah yang baik tidak akan bisa diraih dengan mudah dan dengan jalan pintas karena dia bukanlah sebuah kalimat yang cukup sekadar disampaikan dan setelah itu, selesailah tugas seorang pendidik, seorang murabbi, dan seorang da'i. Bahkan yang wajib dilakukan bagi setiap da'i, murabbi, dan setiap guru adalah bagaimana mengambil pelajaran penting dari rumah Al Arqam, yaitu ketika Rasulullah Shallaliaihu alaihi wasallam berupaya keras dan konsisten untuk mengumpulkan sahabatnya sesaat demi sesaat, sehari demi sehari,untuk mentarbiyah mereka, memberikan pengarahan tentang agama. Ini adalah sebuah pelajaran penting bagi setiap yang bertindak sebagai penanggung jawab, atau sebagai ayah, atau sebagai seorang muslim, atau sebagai seorang da'i yang mengajak kepada Allah Ta'ala. [7]
Wallahu a’lam bisshawab.
**********
CATATAN KAKI:
[1] Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul
Makhtum, (Beirut: Darul Hilal, t.t), hlm. 80
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Zaid bin Abdul Karim Az Zaid, Fiqhus
Sirah, (Riyadh: Darut Tadmuriyyah, 1424 H) hlm. 187.
[5] Ibid, hlm. 188.
-----------
Ditulis Oleh Ustadz Wira Bachrun Al Bankawy
-----------
Artikel Sebelumnya: