artikel pilihan


#41 | MASUK ISLAMNYA UMAR DAN HAMZAH (BAG. 2)


Pembaca yang budiman, pada artikel sebelumnya kita telah paparkan bagaimana masuknya Hamzah ke dalam Islam. Demikian juga kita telah sebutkan interaksi awal Umar dengan ayat-ayat yang dibacakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Sebelum benar-benar masuk Islam pun, sesungguhnya telah tampak kelemah-lembutan Umar kepada kaum mukminin. Disebutkan dalam sebuah riwayat dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah, bahwa ibu beliau yang bernama Laila menyebutkan,

“Dahulu Umar bin Al Khattab adalah orang yang paling keras sikapnya terhadap keislaman kami. Namun ketika kami sedang bersiap-siap untuk hijrah ke Habasyah, Umar mendatangi kami. Ketika itu aku sudah berada di atas hewan tungganganku, siap untuk berangkat.

Umar lantas berkata kepadaku, “Kemana engkau akan pergi wahai Ummu Abdillah[1]?”

Laila menjawab, “Kalian telah menyakiti kami karena agama kami, maka kami akan pergi menuju bumi Allah yang bebas dari gangguan kalian...”
Umar kemudian menjawab,


صحبكم الله
“Semoga Allah menyertai kalian...”
Lalu dia pun pergi.

Kemudian suamiku, Amir bin Rabi’ah pun datang, dan kuceritakan padanya bahwa Umar menunjukkan kelembutannya.

Suamiku pun menanggapinya, “Engkau berharap dia masuk Islam? Demi Allah, dia tidak akan masuk Islam sampai keledai bapaknya masuk Islam terlebih dahulu.” [2]

Maksud dari ucapan Amir di sini bahwa dia merasa kecil sekali harapan Umar masuk ke dalam Islam, karena sikap keras dan kasarnya selama ini kepada kaum muslimin. [3]


INGIN MEMBUNUH RASULULLAH

Apa yang diucapkan oleh Amir ketika itu mungkin ada benarnya. Fanatisme terhadap agama nenek moyang masih mendominasi Umar sampai kemudian memuncaklah kemarahan Umar kepada Rasulullah yang membuat dia ingin segera menghabisi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Suatu hari, Umar sudah menguatkan niatnya untuk membunuh Rasulullah. Dengan pedang terhunus, dia pun mencari di mana sosok Rasulullah.

Di tengah perjalanan, dia bertemu dengan Nu'aim bin 'Abdullah An Nuhaam Al Adawiy dan juga seseorang dari Bani Zahrah atau Bani Makhzum.

Orang tersebut berkata, “Hendak kemana engkau, wahai Umar?"

Dia menjawab, “Aku ingin membunuh Muhammad".

Orang tersebut berkata lagi, “Bagaimana mungkin engkau merasa aman dari pembalasan Bani Hasyim dan Bani Zahrah kalau engkau jadi membunuh Muhammad ?"

Mendengar itu, Umar mengatakan, “Tidak aku melihat dirimu melainkan engkau telah ikut-ikutan ajaran Muhammad dan keluar dari agamamu!”

Orang itu berkata kepadanya, “Wahai Umar, maukah aku tunjukkan kepadamu yang lebih mengherankan lagi, wahai Umar? Sesungguhnya saudara perempuan dan iparmu juga telah menjadi penganut ajaran Muhammad dan meninggalkan agama mereka berdua yang sekarang ini!".

Mendengar hal itu, Umar dengan segera berangkat mencari keduanya.

Ketika itu di rumah adiknya, sedang ada Khabbab bin Al Arat yang membawa lembaran Al Qur'an yang di dalamnya bertuliskan, “Thaha" dan membacakannya untuk Fatimah binti Al Khattab (adik beliau) dan suaminya,.

Tatkala Khabbab mendengar kedatangan Umar, dia pun menyelinap ke bagian belakang rumah sedangkan saudara perempuan Umar menutupi lembaran tersebut.

Sebelumnya, Umar telah mendengar bacaan Khabbab terhadap mereka berdua, karenanya saat dia masuk langsung bertanya, “Apa gerangan suara bisik-bisik yang aku dengar dari kalian?".

Keduanya menjawab, “Tidak, ini hanya sekedar obrolan biasa di antara kami".

Dia berkata lagi, “Nampaknya, kalian berdua sudah menjadi penganut Ash Shabiah[3]".

Suami Fatimah berkata, “Wahai Umar ! Bagaimana pendapatmu jika kebenaran itu berada pada selain agamamu?"

Mendengar itu, Umar langsung melompat ke arah iparnya tersebut lalu membantingnya dengan keras. Lantas saudara perempuannya datang dan mengangkat suaminya menjauh darinya namun dia justru ditampar oleh Umar sehingga darah mengalir dari wajahnya. Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Umar memukulnya sehingga memar.

Maka Fatimah berkata sambil marah, “Wahai Umar! Jika kebenaran ada pada selain agamamu, maka aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang hak selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah…"

Manakala Umar merasa putus asa dan melihat saudarinya yang berdarah, Umar pun menyesal dan merasa malu. Lalu ia pun berkata, “Berikan kitab yang pada kalian ini kepadaku biar aku baca!"

Fatimah mengatakan,
“Sesungguhnya engkau itu najis, dan tidak ada yang boleh menyentuhnya melainkan orang-orang yang suci. Berdiri dan mandilah terlebih dahulu!"
Umar kemudian berdiri dan mandi, lalu mengambil kitab tersebut dan membaca:


بسم الله الرحمن الرحيم
“Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang…”

Umar mengatakan, “Sungguh ini adalah nama-nama yang baik dan suci.”

Kemudian dia melanjutkan membaca,


إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada sesembahan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaha: 14).
Dia lalu mengatakan, “Alangkah indah dan mulianya ucapan ini! Tunjukkan aku ke hadapan Muhammad!”

Saat Khabbab mendengar ucapan Umar, dia segera keluar dari persembunyiannya sembari berkata, “Wahai Umar, bergembiralah karena sesungguhnya aku berharap engkaulah yang dimaksud dalam doa Rasulullah pada malam Kamis,


اللهم أعز الإسلام بأحب الرجلين إليك: بعمر بن الخطاب أو بأبي جهل بن هشام
“Ya Allah! Kokohkanlah Islam ini dengan salah seorang dari dua orang yang paling Engkau cintai: Umar bin Al Khaththab atau Abu Jahal bin Hisyam.”
Ketika itu Rasulullah berada di sebuah rumah yang terletak di kaki Bukit Shafa.

Umar kemudian menyarungkan pedangnya, lalu pergi ke rumah yang ditunjuk.

Umar mengetuk pintu, lalu seorang mengintip dari celah-celah pintu tersebut dan melihatnya dengan pedang yang tersarung. Orang tersebut kemudian melaporkan hal itu kepada Rasulullah. Para sahabat yang berjaga bersiaga penuh mengantisipasinya. Hamzah yang juga berada di rumah tersebut berkata,

“Ada apa dengan kalian?"

Mereka menjawab, “Ada Umar!”

Hamzah mengataan, “Umar? Bukakan pintu untuknya! Jika dia datang dengan niat baik, kita akan membantunya akan tetapi jika dia datang dengan niat jahat, kita akan membunuhnya dengan pedangnya sendiri.”

Rasulullah ketika itu masih berada di dalam rumah dan turun wahyu kepada beliau.

Rasulullah kemudian menyambut Umar di dalam rumah. Beliau memegang baju dan gagang pedang Umar, lalu berkata,



أما أنت منتهيا يا عمر حتى ينزل الله بك من الخزي والنكال ما نزل بالوليد بن المغيرة؟ اللهم! هذا عمر بن الخطاب، 
“Kapan engkau akan berhenti dari kekafiranmu wahai Umar? Apakah harus menunggu Allah turunkan kehinaan dan bencana kepadamu sebagaimana yang terjadi terhadap Al Walid bin Al Mughirah?Ya Allah! Inilah Umar, putra Al Khatthab!Ya Allah! Kokohkanlah Islam dengan Umar, putra Al Khatthab!”
Umar kemudian berkata,


أشهد ألاإله إلا الله، وأنك رسول الله
“Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang hak selain Allah, dan engkau adalah Rasulullah".
Umar pun masuk Islam. Maka seluruh orang yang berada di rumah tersebut bertakbir sampai-sampai suara mereka terdengar ke Masjidil Haram.[4]

Masuknya Umar ke dalam Islam benar-benar menaikkan keberanian kaum muslimin. Hal ini diungkapkan oleh beberapa orang sahabat.

Shuhaib bin Sinan Ar Rumi radhiyallaahu 'anhu berkata,

لما أسلم عمر ظهر الإسلام، ودعى إليه علانية، وجلسنا حول البيت حلقا، وطفنا بالبيت، وانتصفنا ممن غلظ علينا، ورددنا عليه بعض ما يأتي به
“Ketika Umar masuk Islam, Islam pun terangkat. Umar pun secara terang-terangan mengajak manusia masuk ke dalamnya. Kami juga berani duduk-duduk secara melingkar di sekitar Baitullah, melakukan thawaf. Kami pun berani memita agar orang-orang yang berbuat kasar menghentikan kezhaliman bahkan membalas perbuatan mereka…”[5]
Demikian juga disembutkan oleh Abdullah bin Mas'ud,


ما زلنا أعزة منذ أسلم عمر
“Kami senantiasa merasakan 'izzah sejak Umar masuk Islam". [6].

Wallahu a’lam.


Catatan Kaki:
[1] Ummu Abdillah adalah kun-yah (panggilan) bagi Laila.
[2] Ibrahim Al ‘Ali, Shahih As Sirah An Nabawiyyah, (Amman: Daarun Nafaais, 2010), hlm. 101.
[3] Zaid bin Abdul Karim Az Zaid, Fiqhus Sirah, (Riyadh: Darut Tadmuriyyah, 1424 H) hlm. 203-204.
[4] Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, (Riyadh: Dar Ibnil Jauzi, 1435 H), hlm. 120-121.
[5] Ibid., hlm. 123.
[6] Ibid.


Ditulis Oleh Ustadz Wira Bachrun Al Bankawy


--------------

Artikel Sebelumnya:

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar

adv/http://halaqah.tauhid.or.id/|

Artikel Pilihan

artikel pilihan/carousel

Arsip Artikel Per Bulan



Facebook

fb/https://www.facebook.com/Tauhid.or.id



Kids

Konten khusus anak & download e-book




Course