Kira-kira dua atau tiga bulan setelah Abu Thalib meninggal dunia, Ummul Mukminin Khadijah radhiyallahu ‘anha pun meninggal dunia pula. Wafatnya beliau ini bertepatan dengan bulan Ramadhan pada tahun kesepuluh dari kenabian.
Khadijah termasuk salah satu anugerah Allah kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau telah mendampingi Rasulullah selama seperempat abad, menyayangi beliau di kala resah, melindungi beliau di saat-saat kritis, menolong beliau dalam menyebarkan risalah, serta mendampingi beliau dalam menjalankan jihad yang berat, rela menyerahkan diri dan hartanya kepada Rasulullah. [1]
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang diri Khadijah,
آمنت بي حين كفر بي الناس، وصدقتني حين كذبني الناس، وأشركتني في مالها حين حرمني الناس، ورزقني الله ولدها، وحرم ولد غيرها
"Dia beriman kepadaku ketika semua orang mengingkariku, membenarkan aku ketika semua orang mendustakanku, menyerahkan hartanya kepadaku selagi semua orang tidak mau memberikannya, dan Allah menganugerahiku anak darinya selagi wanita selainnya tidak memberikannya kepadaku." (HR. Ahmad).
Demikian juga keutamaan Khadijah disebutkan di dalam Shahih Al Bukhari, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anha, dia berkata,
أتى جبريل النبي صلى الله عليه وسلم، فقال: يا رسول الله صلى الله عليه وسلم هذه خديجة، قد أتت، معها إناء فيه إدام أو طعام أو شراب، فإذا هي أتتك فاقرأ عليها السلام من ربها، وبشرها ببيت في الجنة من قصب لا صخب فيه ولا نصب
"Jibril mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam seraya berkata, "Wahai Rasulullah, inilah Khadijah yang datang sambil membawa bejana yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika dia datang, sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar kepadanya tentang sebuah rumah di surga, yang di dalamnya tidak ada suara hiruk pikuk dan keletihan."[2]
MENIKAH DENGAN SAUDAH
Setelah wafatnya Khadijah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menikah dengan Saudah bintu Zam’ah. Nama lengkap beliau Saudah binti Zam'ah bin Qais bin Abdus Syams Al Quraisyiah Al Amiriyah.
Awalnya Saudah menikah dengan Sakran bin Amr saudara laki-laki Suhail bin Amr Al Amiry, yang menanggung kebutuhan delapan orang Bani Amir (keluarga Sakran bin Amr) yang juga berhijrah, keluar dari kampung halaman mereka beserta harta bendanya. Mereka berhijrah ke negeri Habasyah, pergi menyeberangi lautan yang penuh dengan ketakutan dan kengerian, rela menghadapi kematian yang sangat keras dalam rangka menyelamatkan agama mereka. Mereka telah disiksa dan dipaksa agar kembali kepada kesesatan dan kesyirikan. Saudah binti Zam'ah belum selesai menghadapi ujian keterasingan di negeri Habasyah namun dia harus merelakan kehilangan sang suami yang berhijrah bersamanya. Kiní ia menjalani ujian sebagai seorang janda setelah menghadapi ujian keterasingan di negeri orang.[3]
Perasaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tergugah dengan keadaan wanita yang berhijrah dan mu’minah ini. Oleh karena itu belum selesai Khaulah binti Hakim As-Sulamiyah menyebutkan Saudah kepada beliau (kecuali) beliau segera mengulurkan tangannya yang penyayang kepadanya untuk berdiri di sisinya dan meringankan beban kehidupan keras yang dia rasakan. Terlebih lagi sesungguhnya dia telah memasuki usia tua yang sangat membutuhkan seseorang untuk menjaga dan mendampinginya.
Buku-buku sirah meriwayatkan bahwa tidak ada seorangpun dari kalangan sahabat yang berani membicarakan pernikahan di hadapan Rasulullah setelah wafatnya Ummul Mukminin Khadijah, yang telah beriman kepada beliau di saat manusia mengkufurinya, yang membantu dengan hartanya di saat manusia enggan menolongnya dan Allah mengkaruniakan anak keturunan kepada beliau melaluinya. [4] Ibid.
Akan tetapi tidak berselang terlalu lama masa kesedihan, datanglah Khaulah binti Hakim kepada Rasulullah dengan penuh keramahan dan kelembutan. Ia mengatakan, "Tidakkah engkau mempunyai keinginan untuk menikah lagi, ya Rasulullah?" Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjawab, "Wahai Khaulah, siapakah gerangan orangnya setelah Khadijah?"
Khaulah berkata, "Engkau ingin gadis atau janda?"
Beliau berkata, "Siapa dari kalangan gadis?"
Dia berkata, "Anak perempuan dari makhluk Allah yang paling engkau cintai, yaitu ‘Aisyah binti Abu Bakar."
Setelah diam beberapa saat, beliau berkata, "Siapa dari kalangan janda?"
Khaulah berkata, "Dia adalah Saudah binti Zam'ah yang telah beriman kepada engkau dan mengikuti apa-apa yang telah diturunkan kepada engkau."
Nabi shallallahu alaihi wasallam pun kemudian menikahi Saudah. [5]
Orang-orang merasa heran dengan pernikahan Nabi dengan Saudah binti Zam'ah. Mereka saling bertanya dengan diiringi keraguan, "Janda tua yang tidak rupawan menggantikan seorang sayyidah Quraisy yang selalu menjadi perhatian pandangan mata para pemimpin Quraisy."
Kenyataan yang ada menyatakan, bahwa Saudah dan yang lainnya tidak akan bisa menggantikan posisi Khadijah di mata Nabi. Tetapi hal itu merupakan kebaikan, kasih sayang dan hiburan dari seorang Nabi yang penyayang. Saudah mampu menegakkan kewajiban di rumah kenabian Dia melayani anak-anak perempuan Nabi, menyenangkan serta menggembirakan hati Nabi dengan jiwa yang ringan dan penuh dengan kegembiraan.
Setelah tiga tahun atau lebih berumah tangga dengan beliau, Aisyah datang ke rumah kenabian. Kemudian menyusullah isteri-isteri yang lain juga berdatangan ke rumah tersebut, seperti Hafshah, Zainab, Ummu Salamah dan lain-lainnya.[6]
Saudah mengetahui bahwa Nabi tidak menikahinya kecuali karena kasih sayang beliau terhadapnya setelah kematian suaminya. Yang demikian itu menjadi jelas baginya tatkala Nabi hendak menceraikannya dengan cara yang baik. Tetapi beliau merasakan bahwa hal ini akan melukai hatinya. Tatkala beliau mengabarkan tentang keinginan untuk men-talak-nya, dia merasa ada tekanan yang menghimpit dadanya. Sehingga dia membisikkan permohonan yang sangat dengan merendahkan diri, "Tahanlah saya wahai Rasulullah, demi Allah, saya tidak memiliki keinginan untuk menikah (lagi), kecuali saya berharap agar Allah membangkitkan saya di hari kiamat sebagai isterimu."
Seperti inilah dia mengutamakan keridhaan suami yang mulia. Sehingga Saudah pun memberikan waktu gilirannya kepada Aisyah dalam rangka menjaga hati Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan dia mengabaikan dirinya sendiri.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memenuhi keinginan wanita yang memiliki perasaan mulia ini. Dalam permasalahan ini Allah menurunkan firmanNya yang berbunyi,
فَلا جُناحَ عَلَيْهِما أَنْ يُصْلِحا بَيْنَهُما صُلْحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
Tinggallah Saudah di rumah kenabian dengan penuh keridhaan, tenang dan bersyukur kepada Allah yang telah mengilhamkan jalan keluar yang tepat supaya dia tetap bersama makhluk Allah yang terbaik di dunia (dan) sebagai ibu kaum mu’minin serta menjadi isterinya di surga. Saudah pun akhirnya wafat di akhir masa pemerintahan Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu. [7].“Maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” [An Nisa: 128]
*****
CATATAN KAKI:
[1] Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, (Riyadh: Dar Ibnil Jauzi, 1435 H), hlm. 135
[2] Ibid.
[3] Mahmud Mahdi Al Istanbuli et al., Nisa’ haula Ar Rasul (Damaskus, Dar Ibnu Katsir, 2008), hlm. 49
[4] Ibid.
[5] Ibid., hlm 50.
[6] Ibid.
[7] Ibid., hlm. 51
Ditulis Oleh Ustadz Wira Bachrun Al Bankawy
--------------
Artikel Sebelumnya:
#46 | WAFATNYA ABU THALIB & PELAJARAN DI BALIKNYA
#45 | MEMBUJUK ABU THALIB
#44 | PEMBOIKOTAN KEPADA BANI HASYIM
#43 | USAHA NEGOSIASI PEMUKA QURAISY (BAG. 1)
#42 | HIKMAH DI BALIK MASUK ISLAMNYA HAMZAH DAN UMAR
#41 | MASUK ISLAMNYA UMAR DAN HAMZAH (BAG. 2)
#40 | MASUKNYA UMAR DAN HAMZAH (BAG.1)